Ahlan Wasahlan Sugeng Rawuh ....

"SELURUH DUNIA ADALAH PESANTRENKU" demikian fatwa Sunan Kalijaga, 600 tahun yang lalu. Sabda pangandika ini mengisyaratkan bahwa tugas dakwah adalah ke seluruh alam tanpa batas. Maka Pesantren Khusnul Khatimah, nyendikani dawuh ini dengan mengirim ratusan santri, kyai, ulama, ustadz ke seluruh penjuru dunia untuk terus mengabarkan ketauhidan Allah SWT.

Zakat Mal, Sumbangan, Infak dan Sedekah Anda
akan kami salurkan untuk membantu program dakwah ke pelosok-pelosok nusantara.

Kamis, 01 Juli 2010

SYEKH JUMADIL KUBRO DI MAKAM TROWULAN MAJAPAHIT

Seorang ulama yang dicintai rakyat, yang memiliki banyak jasa perjuangan, seringkali memiliki banyak makam. Riwayat hidup mereka mendapat pengakuan yang lekat di hati rakyatnya. Salah satunya adalah Syekh Jumadil Kubro. Beliau tercatat memiliki 4 nisan peristirahatan, di Turgo Merapi, Trowulan Majapahit, Semarang dan Gunungkidul Yogyakarta.





Kali ini, kita akan menyusuri Makam Trowulan, di mana di sana terdapat nisan kubur Sang Syekh yang mungkin kala itu beliau menjadi ulama kerajaan, sebelum di masa tuanya yang menepi ke Bukit Turgo Merapi Yogyakarta. Di kompleks makam yang sangat ramai di bekas ibukota kerajaan Majapahit ini, juga terdapat petilasan simbolik 9 wali anggota wali sanga.

Minggu, 27 Juni 2010

Ziarah Syekh Merapi

Ziarah merapi adalah perjalanan yang sangat melelahkan. Namun begitu menjelang sampai di puncak gunung, kelelahan itu terbayar lunas. Apalagi saat wajah kita disapu embun dan awan tipis berkabut kiriman dari hutan beludru yang indah. Hawa dingin dijalin dengan hangatnya mentari, seolah menjadi selimut paling nyaman anyaman malaikat Tuhan.

Lebih mesra lagi ketika merangkul nisan Sang Maulana Jumadil Kubro yang sederhana, bersih dan sejuk. Tak terasa seribu kali tasbih dan tahlil menyentuh hingga ke relung hati. Seperti terhanyut di pintu surga. Puncak Merapi di sisi Timur terus menyapa dengan salam taqwa.




Allahu akbar, allahu akbar walilahil hamd.



Betapa Islam telah memuliakan negeri ini.



Rombongan dari Pesantren Khusnul Khatimah menguji fisik, mental dan spiritualitas diri. Semoga khusnul khatimah.

Rabu, 16 Juni 2010

SUNAN GESENG DAN SYEKH TEGAL ARUM




Jika RADEN ADIPATI ARYO COKRONAGORO I berjiwa seperti kiai, sunan atau ulama besar tidak lain karena di dalam darahnya mengalir nilai-nilai Islam para kiai atau sunan yang menjadi pendahulunya. Misalnya seperti Kiai Nosingo (Wonosingo) yang merupakan kakeknya atau bahkan dengan Sunan Geseng.

Sunan Geseng adalah murid dari ulama besar Jawa, yakni Sunan Kalijogo. Sebutan Sunan Geseng diberikan Sunan Kalijaga kepada Kiai Cokrojoyo I karena begitu setia terhadap perintahnya sehingga merelakan badannya menjadi hangus (geseng).

Alkisah, setelah ditinggal ibundanya (yakni Nyai Ageng Bagelen atau Raden Rara Rengganis), Bagus Gentho melanjutkan hidupnya di desa Bagelen. Pekerjaan sehari-hari dilakukan menjadi petani seperti kebiasaan para leluhur. Setelah dewasa ia menikah dan memperoleh putra yang diberi nama Raden Damarmoyo.

Raden Damarmoyo mempunyai putri bernama Raden Rara Rengganis II yang setelah dewasa menikah dengan Kiai Pakotesan. Pernikahan mereka menghasilkan keturunan, yakni Pangeran Semono atau sering disebut Pangeran Muryo. Dari hasil pernikahan Pangeran Semono inilah Kiai Cokrojoyo I lahir untuk mencicipi kehidupan di dunia dan kemudian dikenal sebagai Sunan Geseng

Saat Kiai Cokrojoyo I beranjak dewasa, Islam sedang mengalir deras ke Tanah Jawa. Penyebabnya tak lain karena sepak terjang para wali yang sangat gigih menyebarkan Islam di Tanah Jawa (baca: Pusat Pengembangan Peradaban Islam Madani). Di tengah fanatisme masyarakat penganut Hindu, Budha maupun Dinamisme, Sembilan Wali menyebarkan Islam ke Tanah Jawa mulai penghujung abad 14 sampai pertengahan abad 16. Para Wali Allah tersebut tinggal di tiga wilayah strategis pantai utara Jawa, yakni Jawa Timur (Surabaya-Gresik-Lamongan), Jawa Tengah (Demak-Kudus-Muria) dan Jawa Barat (Cirebon).

Di Jawa Tengah yang menjadi pemimpin wali Allah dalam menyebarkan Islam termasuk Sunan Kalijogo. Ia sering berkelana keliling menyiarkan Islam sampai di pelosok desa maupun hutan .

Pada suatu hari Sunan Kalijogo singgah di kediaman Kiai Cokrojoyo I karena mendengar kiprah anak Pangeran Semono ini dalam menyebarkan Islam di daerahnya. Sewaktu tiba, Cokrojoyo sedang mencetak aren sambil bernyanyi dengan santai (Jawa: uro-uro).

Setelah mengucapkan salam, Sunan Kalijaga bertanya; "Berapa hasilnya setelah menjadi gula?" Cokrojoyo menjawab seketika; ”hanya cukup untuk menghidupi orang melarat”. Sunan Kalijaga lalu berkata; ”Coba gantikanlah uran-uran-mu dengan Surat Kalimah Syahadat. "Kemarilah biar aku ajarkan membacanya dan nanti jika gulanya telah tercetak bawalah kemari, aku akan melihatnya," ujar Kalijaga lebih lanjut.

Setelah mengucapkan Surat Kalimah Syahadat, Cokrojoyo meneruskan kerjanya, dan sesudah gulanya dicetak ia tutupi dengan tampi. Kemudian cetakan gula itu diserahkan ke Sunan Kalijaga. Namun betapa takjubnya ketika tutup gula itu diangkat oleh Sunan Kalijaga, dilihatnya gula aren yang baru dibuat telah berubah menjadi emas. Ia pun langsung diam terpaku hingga beberapa saat.

Sewaktu sadar, Sunan Kalijaga sudah tak di tempat. Dengan bergegas (Jawa: guralawan) Cokrojoyo mengejar dan setelah berhasil menyusul ia langsung bersimpuh pada lutut Kalijaga. Sambil berlutut ia memohon agar diperkenankan menjadi muridnya. Dikisahkan Sunan Kalijaga mengatakan; ”Anakku (Jawa: jebeng) jika sungguh-sungguh ingin menjadi murid, maka kau harus bertapa sujud di tempat ini dan jangan pergi sebelum aku datang.” Setelah berkata demikian, Kalijaga sirna dari pandangan dalam sekejap.

Syahdan, Kalijaga baru teringat dengan peristiwa itu ketika lewat di desa Bagelen dalam rangka syiar Islam keliling. Kemudian para pengikutnya diperintahkan untuk mencari tempat bertapa Kiai Cokrojoyo I. Namun karena sudah dipenuhi alang-alang dan tumbuhan liar setinggi manusia, maka tak seorangpun berhasil menemukan.

Sunan Kalijogo kemudian memerintahkan untuk membabat seluruh tumbuh-tumbuhan yang menutupi tempat itu. Tapi sekali lagi, upaya itu sia-sia. Akhirnya tak ada jalan lain kecuali membakar seluruh alang-alang dan semua tumbuhan yang telah dibabat. Dikisahkan walaupun alang-alang dan dahan-dahan tumbuhan masih basah, ketika didoakan oleh Sunan Kalijaga, api langsung menyala berkobar-kobar seperti kebakaran hutan besar. Peristiwa itu membuat penduduk di sekitarnya menjadi cemas dan ketakutan.

Setelah api reda dan semua tumbuh-tumbuhan rata dengan tanah, terlihatlah tubuh Kiai Cokrojoyo I masih dalam posisi sujud namun telah hitam hangus. Walaupun seperti tak bernyawa, namun denyut jantungnya masih berdetak dengan sangat lemah.

Sunan Kalijaga mendekati tubuh hangus itu sambil berkata; ”Hai Cokrojoyo bangunlah. Jangan enak-enak tidur, aku datang”. Seketika Cokrojoyo tersentak dan begitu melihat sang guru ia langsung bersimpuh.

Kiai Cokrojoyo I kemudian mendapat wisik ”manunggalnya kawulo dengan gusti”, yang berarti dirinya telah mencapai tingkat kesempurnaan tertentu. Setelah menerima berkah Sunan Kalijaga, hatinya merasa semakin terang (dalam istilah Jawa: kadyo mendung ingkang kabuncang ing samirono, narawang lir pendah saged muluk ing ngawiyat).

Sunan Kalijogo meneruskan wejangan kepada Cokrojoyo. Dikatakan, atas kemurahan Allah Yang Maha Kuasa, Cokrojoyo telah terbuka (Jawa: tinarbuko) memperoleh Wahyu Wali. Kalijogo meneruskan ucapannya; "Karena badanmu hangus (geseng), pakailah nama Sunan Geseng dan mulailah bermukim (Jawa: tetruko) di hutan Loano. Hutan ini kelak akan menjadi desa ramai dan akan menjadi tempat tinggal para keturunan raja."

Sunan Geseng mengembara menyebarkan agama Islam sampai ke desa Jatinom, sekitar 10 kilometer arah utara kota Klaten. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribig, karena ia senang tinggal di rumah beratap gribig (anyaman daun nyiur).

Menurut legenda, ketika Ki Ageng Gribig pulang menunaikan ibadah haji, dilihatnya penduduk Jatinom sedang kelaparan. Ia kemudian membagikan sepotong kue apem kepada ratusan orang yang kelaparan. Kepada semua orang yang menerima secuil kue itu disuruhnya makan sambil berzikir: Ya-Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Anehnya, seketika semuanya merasa kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom masih menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” setiap bulan Syafar.

Upacara itu dimulai masyarakat dengan membuat kue apem lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul hingga 40 ton itu berjumlah sekitar ratusan ribu potong. Puncak upacara berlangsung usai shalat Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan oleh para santri sambil berzikir; "Ya Qowiyyu..." Ribuan orang yang menghadiri upacara itu kemudian memperebutkan apem ”gotong royong” yang disebut apem ”Jokowiyu”.
Dikisahkan setelah 40 tahun kemudian, yang bertahta di kerajaan Mataram adalah Kangjeng Sinuwun Anyokrowati (1612-1621). Istri prameswarinya adalah Kanjeng Ratu Mas Hadi, putri dari Pangeran Adipati Benowo di Pajang. Pangeran Adipati Benowo ini adalah putra dari Joko Tingkir (Kangjeng Sinuwun Hadiwijoyo).

Kangjeng Sinuwun Anyokrowati mempunyai kakak laki-laki bernama Pangeran Wiromenggolo yang berambisi menjadi raja. Karena obsesi itu ia bertapa siang dan malam dan berguru pada Sunan Geseng di Tegal Bekung untuk mencapai kesempurnaan hidup. Karena bertapa melebihi batas kemampuan, Pangeran Wiromenggolo menemui ajalnya. Dikisahkan sukmanya merasuk ke dalam ikan tombro bersisik kencana (ikan mas).

Pada saat bersamaan, sang prameswari Kangjeng Ratu Mas Hadi sedang mengandung dan ngidam ikan tombro bersisik emas. Keinginannya itu disampaikan berkali-kali kepada suaminya Kangjeng Sinuwun.

Dalam pada itu Kangjeng Sinuwun mendengar kabar bahwa Sunan Geseng memiliki sebuah jala sutra dengan biji pemberat dari emas, yang khusus hanya untuk menjala ikan tombro. Oleh karenanya, sang Prabu mengirim utusan untuk minta bantuan Sunan Geseng menangkap ikan tombro bersisik kencana seperti yang diinginkan sang Ratu.
Akhirnya keinginan sang Ratu Ratu terpenuhi dan lahirlah bayi laki-laki yang diberi nama Raden Mas Jatmiko (atau Raden Mas Rangsang). Setelah Sinuwun Anyokrowati wafat, kedudukannya diganti oleh putranya Raden Mas Jatmiko, dengan gelar Kangjeng Sinuwun Sultan Agung Anyokrokusumo (1621-1636).

Sang Prabu juga berguru ilmu kesempurnaan pada Sunan Geseng, sampai pada tingkat penguasaan yang tinggi (Jawa: widagdo waskitho ing samudayanipun). Atas jasanya, Sunan Geseng dianugerahi sebidang tanah jabatan (siti lenggah) dengan nama Kiai Ageng Jolosutro.

Kini makam Sunan Geseng di Kabupaten Bantul, Yogyakarta dikenal Makam Jolosutro dan dikeramatkan orang untuk diziarahi terutama pada Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.

Perkawinan Sunan Geseng melahirkan anak perempuan bernama Nyai Tumenggung Kertisara yang pada saat dewasa bersuamikan Bupati Jenar. Bupati Kertisara memiliki anak bernama Wiratantana yang memiliki anak perempuan bernama Raden Rara Sragu. Dari hasil perkawinannya, Raden Rara Sragu memiliki dua orang putera, yakni Kertamanggolo (kemudian bergelar Adipati Nilasrobo I atau Cokrojoyo II) dan Raden Bumi.

Dikisahkan Kertamanggolo memiliki perawakan yang agak aneh sehingga sering disebut Joko Bedug. Karena itu ayahnya memerintahkan untuk tapa brata secara ”gentur”, mengurangi tidur serta makan, dengan tekad agar segera diampuni oleh Yang Maha Kuasa. Setelah beberapa waktu, dikisahkan ia mendapat ampun dari Tuhan YME dan kembalilah wujudnya seperti sediakala, yaitu sebagai manusia.

Konon ”genturnya” Joko Bedug didengar Sang Raja Mataram. Karena itu ia diangkat menjadi Bupati di Bedug dengan nama, Raden Adipati Nilosrobo I. Setelah wafat ia dimakamkan dekat dengan Petilasan Nyai Ageng Bagelen.

Raden Adipati Nilosrobo I mempunyai putra, Raden Cokrojoyo III (Tumenggung Rogowongso atau Raden Adipati Danurejo). Setelah ditinggal wafat ayahnya, Raden Cokrojoyo III diperkenan oleh Sinuwun di Mataram untuk menggantikan kedudukan ayahanda sebagai Bupati di Bedug.
Semasa hidupnya, Raden Cokrojoyo III mengalami berbagai peristiwa huru-hara. Tidak jelas berapa lama perang itu berlangsung, tetapi yang jelas ketika Sinuwun Pakubuwono I mangkat dan kemudian digantikan oleh putranya (bergelar Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung), Kia Patih Cokrojoyo III masih di Surabaya.

Pengabdian Kiai Patih Cokrojoyo III di segala bidang sangat luar biasa. Akibatnya Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung menganugerahkan pangkat Adipati. Dengan gelar Adipati Danurejo, beliau meneruskan pengabdiannya sebagai Patih Kerajaan. Pengabdian itu berlangsung setelah Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sinuwun Paku Buwono II.

Saat pergantian tampuk pimpinan kepada Raja yang masih muda itu, Kyai Patih diberhentikan dari jabatannya, dan bahkan dikisahkan dibuang ke Jakarta. Sesungguhnya Kyai Patih sudah mengabdi pada tiga Raja, yaitu Sinuwun Paku Buwono I, Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung dan Paku Buwono II. Kalau dihitung, jumlah pengabdiannya semasa jaman Pangeran Puger sudah berlangsung selama 45 tahun.
Cerita kembalinya Adipati Danurejo ke Bagelen memang masih misteri. Namun setelah ia dan istrinya wafat, jasadnya dimakamkan di pegunungan Gemulung di desa Bagelen, tidak jauh dari petilasan Nyai Ageng Bagelen.

Saat ini, makam Kiai Cokrojoyo III atau Tumenggung Rogowongso atau Raden Adipati Danurejo sudah dicungkup dengan dinding tembok. Makam itu dikenal nama Makam Rogowangsan, terletak di desa Bagelen Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.

Kembali pada kisah Raden Adipati Danurejo, ia beristrikan adik dari Sinuwun Paku Buwono II yang merupakan keturunan dari Sinuwun Mangkurat Jawa/Agung. Istrinya bernama Bandoro Raden Ayu Tungle yang sehari-harinya disebut (Jawa: apeparab) Kleting Dadu.
Sebelum menikahi Raden Adipati Danurejo, BRA. Tungle sudah kawin dengan Raden Nosuto yang disebut juga Wirosuto. Raden Nosuto masih bersaudara sepupu dari Raden Adipati Danurejo, yaitu putra dari Joko Bumi, kakak laki-laki (Jawa:roko) dari Joko Bedug alias Raden Nilosrobo I.

Perkawinan BRA. Tungle dengan Raden Nosuto menurunkan tiga orang anak laki-laki, yakni:

1. Raden Tumenggung Cokrojoyo I yang dikenal dengan nama Cokrojoyo Mbalik. Selama perang Giyanti ia menjadi pendamping Tumenggung Arung Binang;
2. Raden Kertoyudo;
3. Raden Hudosoro atau Yudosoro;

Perkawinan dengan Raden Adipati Danurejo, BRA. Tungle mempunyai 6 orang anak;

1. Raden Ayu Lebe (kemudian menikah dengan Syeh Baulowi);
2. Raden Ayu Notoyudo III (yakni istri Raden Tumenggung Notoyudo III, Bupati Kedu);
3. Raden Nilosrobo (tidak memiliki keturunan);
4. Raden Tumenggung Kartomenggolo (dimakamkan di Bedug);
5. Raden Rogoyudo (dimakamkan di Bagelen);
6. Raden Ayu Nosingo (menjadi istri Kiai Nosingo di Bragolan);

Perkawinan Raden Ayu Nosingo (Wonosingo) dengan Kiai Nosingo (Wonosingo) melahirkan keturunan dua anak laki-laki, yakni:

1. Raden Mas Singowijoyo;
2. Raden Mas Singogati

Setelah menikah, Raden Mas Singowijoyo (Raden Bei Singawijaya) memiliki tiga orang putera yang salah satunya kemudian menjadi Bupati pertama Purworejo):

1. Raden Rekso Diwiryo (RAA Cokronagoro I, Bupati Purworejo);
2. Raden Nganten Citrowikromo;
3. Raden Prawironagoro (Raden Tumenggung Prawironagoro, Wedana Bragolan);

Dari Raden Adipati Aryo Cokronagoro I lahir bupati-bupati Purworejo penerusnya sampai Raden Mas Tumenggung Cokronagoro IV. Adik bungsu RAA Cokronagoro I, yakni Raden Tumenggung Prawironagoro mempunyai anak bernama Raden Ayu Cokroatmojo yang menjadi istri Raden Adipati Cokroatmojo, Bupati Temanggung. Raden Adipati Cokroatmojo sendiri adalah putra Raden Gagak Handoko dari Loano.

Sementara Raden Mas Singogati di Jenar mempunyai putra Raden Singodrio dari Bakungan, cucu dari Raden Singowijoyo di Bragolan atau cicit Raden Singodiwongso (Kiai Singodiwongso) dan terus mengalir sampai kini. FitriWeningtyas&GitaIndrawanti

SUNAN BUNGKUL DI AMPEL


Mbah Bungkul yang makamnya berada di komplek Taman Bungkul menyimpan misteri kesejarahan yang tak mudah diungkap. Sebuah hikayat menyebutkan Mbah Bungkul atau Sunan Bungkul adalah Empu Supa, seorang tokoh masyarakat dan agama pada masa kerajaan Majapahit di abad 15.

Ia adalah tetua desa Bungkul, yang sekitar 600 tahun silam pernah disinggahi Raden Rahmat atau Sunan Ampel kala menempuh perjalanan dari Trowulan Majapahit menuju Kalimas di Ampel Denta. Ki Supa kemudian memeluk agama Islam dan berganti julukan menjadi Ki Ageng Mahmudin. Karena menghuni desa Bungkul, Ki Supa akhirnya lebih dikenal dengan Sunan Bungkul.

Ikatan kedua sunan itu pun berlanjut hingga kemudian Sunan Bungkul menjadi mertua Raden Rahmat. Karena ikatan itu pula, upaya Sunan Ampel menyebarkan agama Islam menjadi lebih cepat berkembang, terutama di wilayah Surabaya Selatan.

Mbah Bungkul pun kini diyakini sebagai salah satu wali besar di Surabaya. Peziarah yang berkunjung ke makam Ampel pasti akan berkunjung pula ke komplek makam yang berada di Jalan Progo ini.

Anggapan lain meyakini bahwa Mbah Bungkul dapat dikategorikan sebagai wali lokal, seperti konsep sejarawan Sartono Kartodirdjo dengan sebutan tokoh Islamisasi tingkat lokal. Keberadaan Mbah Bungkul sejajar dengan Syeh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Tembayat (Klaten), Ki Ageng Gribig (Klaten), Sunan Panggung (Tegal), Sunan Prapen (Gresik), dan wali lokal lainnya yang banyak tersebar di berbagai kota. Makam Mbah Bungkul pun terasa sunyi di antara ingar-bingar warga kota yang terus meramaikan taman Bungkul setiap saatnya.

[Dikerek dari Dinding Sebelah]

Jika Kamu ke Surabaya jangan lupa mampir ke Taman Bungkul Surabaya yaitu tempat makam mbah bungkul mertua dari sunan Ampel ………………………

Di tengah giatnya Pemerintah Kota Surabaya melaksanakan program penghijauan kota terdapat berita tentang rencana membangun Taman Bungkul menjadi sebuah taman kota. Mencermati rencana itu, ada sedikit catatan yang perlu diperhatikan mengingat Taman Bungkul adalah salah satu ruang terbuka hijau dan artefak cagar budaya.

Keberadaan pepohonan rindang dan rerumputan yang menghijau di tengah kota, termasuk Taman Bungkul, memiliki manfaat besar, baik bagi lingkungan alam maupun lingkungan sosial di sekitarnya. ruang terbuka hijau (RTH) adalah paru-paru kota yang bisa mereduksi polusi udara dan menjadi peresapan air hujan (Ecoton, 2003).

Menurut Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemkot Surabaya Tri Rismaharani, rencananya taman kota itu akan dilengkapi fasilitas untuk skateboard, jogging track, dan air mancur (Berita Kota, 8/5). Berdasarkan itu, ada kemungkinan pepohonan rindang dan hamparan rumput yang kini menghijau di Taman Bungkul akan tinggal kenangan. Hal itu bisa memperparah ketidakseimbangan lingkungan dan menghilangkan fungsi pereduksi polusi udara dan penyerap air. Oleh karena itu akan lebih arif bila rencana pembangunan taman kota tetap mempertimbangkan fakta minimnya RTH Kota Surabaya.

Padahal, sejak zaman kolonial keberadaan Taman Bungkul dipertahankan pemkot. Lokasi Taman Bungkul yang berada di tengah kompleks perumahan warga Belanda bisa dimaknakan sebagai penghormatan para perencana tata kota kala itu terhadap keberadaannya. Kemewahan kawasan Darmo Boulevard tidak sampai menggusur makam dan Taman Bungkul, bahkan lahan hijau itu dinamai Boengkoel Park (Soerabaja 1900-1950, Asia Maior: 2004).

Sebagai ruang publik, Taman Bungkul tidak pernah sepi dari kegiatan yang bersifat duniawi maupun ukhrowi. Banyak peziarah, baik dari Kota Surabaya maupun daerah lain seperti Kediri, Banyuwangi, Gresik, dan Lamongan, yang berkunjung secara berombongan hingga tiga bus – empat bus (Kompas, 24/4/1999). Pada musim kampanye pemilihan umum, taman itu sangat fungsional untuk rapat umum partai-partai politik. Pada hari-hari biasa pun taman tidak pernah sepi dari kegiatan sosial maupun budaya/seni. Banyak penjaja makanan dan pedagang kaki lima di sekitar Taman Bungkul yang diuntungkan para pengunjung.

Melihat besarnya anggaran-menurut Wali Kota Surabaya Bambang DH sebesar Rp 1,3 miliar-dan fasilitas pendukung yang akan dibangun, ada kemungkinan arah pembangunan Taman Bungkul menjadi suatu tempat komersial. Pembangunan demikian hanya memfasilitasi sekelompok masyarakat. Boleh jadi nanti Taman Bungkul hanya dikunjungi mereka punya banyak uang. Adapun pedagang kecil dilarang berjualan di situ.

Ada kemungkinan pula para peziarah terbebani biaya tinggi, mahalnya karcis masuk taman, dan sulitnya mencari kedai makanan murah. Para peziarah akan enggan berkunjung karena kapok dengan biaya tinggi.

Dari pertimbangan aspek kesejarahan Taman Bungkul, awalnya taman ini terbangun karena keberadaan makam tokoh sejarah seperti Ratu Kamboja, Ratu Campa, Tumenggung Jayengrono, dan Ki Ageng Supo atau Empu Supo. Tokoh terakhir adalah tokoh masyarakat/agama pada masa kerajaan Majapahit (abad XV), yang juga mertua Raden Rahmat atau Su-nan Ampel (Kompas, 27/4/ 2002). Berkat hubungan baiknya dengan Ki Supo, upaya Sunan Ampel menyebarkan agama Islam menjadi lebih sukses. Ki Supo mendapat gelar Sunan Bungkul atau Mbah Bungkul. Boleh jadi Mbah Bungkul dapat dikategorikan sebagai wali lokal, suatu konsep sejarawan UGM Sartono Kartodirdjo untuk menyebut tokoh Islamisasi tingkat lokal. Keberadaan dia sejajar dengan Syeh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Tembayat (Klaten), Ki Ageng Gribig (Klaten), Sunan Panggung (Tegal), Sunan Prapen (Gresik), dan wali lokal yang lain. Dalam kaitan dengan desain model taman kota, selayaknya pembangunan Taman Bungkul memerhatikan aspek kemudahan, keamanan, kenyamanan, dan kekhusyukan para peziarah yang berkunjung ke makam Mbah Bungkul. Manakala taman kota yang baru ternyata tidak akomodatif terhadap para peziarah, hal itu bisa dikatakan sebagai pembangunan ahistoris. Ini artinya memutus “benang merah” sejarah Taman Bungkul.

Oleh karena itu, Taman Bungkul diharapkan akan dibangun menjadi taman kota yang ideal. Ini dalam arti tetap memiliki dimensi keseimbangan lingkungan hidup (ekosistem), multifungsi, dan accessible.

Sukaryanto Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga

Minggu, 13 Juni 2010

SYEKH SUBAKIR PASIRAN LUMAJANG


NARA SUMBER :
K.H. MACHIN (PASIRIAN), K.H.M RIDWAN (PASIRIAN), K.H. M TABRANI (TEMPEH), K.H.M MASHRAF (KUNIR), AL USTADZ AL HABIB ALY MUHAMMAD BEN ALWY (LUMAJANG).

TUJUAN :
Mengenang dan menghormati jasa-jasa Ulama’ penyebar Agama Islam sehingga masyarakat terbebas dari kemusyrikan dan kegelapan serta mewarisi nilai – nilai luhur dari beliau serta mewariskannya pada anak cucu sampai hari kiamat mudah-mudahan dapat sawab dan berkah beliau itu dunia akhirat.

Beliau adalah SYEKH TAMBUH ALY BEN SYEKHBAQIR (SYEKH SUBAKIR) bin Abdulloh bin Aly bin Ahmad bin Aly bin Ahmad bin Abdulloh bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Aly bin Abubakar bin Salman bin Hasyim bin Ahmad bin Badrudin bin Barkatulloh bin Syafiq bin Badrudin bin Omar bin Aly bin Salman Alfarisiy Asshohabi Rodliyallohu anhu waanhum ajmain.

Beliau dilahirkan tanggal 20 Romdlon 787 H. di Demak. Wafat 21 Syawal 1021 H. di Condro. Beliau pernah menuntut ilmu agama di Masjidil Haram Mekkah selama 10 tahun. Beliau siang puasa, baca Qur’an malam hari, dzikir malam LA ILAHA ILLALLOH dan membaca sholawat pada siang hari. Asal beliau dari Parsi atau sekarang dikenal dengan nama Iran. Thoriqot beliau thoriqoh MAGHROBIYAH.

Isteri-isteri beliau :
· Cut Nazilah dari Aceh
· Sheikhoh Aisyah Binti Muhammad Al Marbawi dari Aceh
· Signorita Miguela dari Portugis
· Roro Wulandari Bibi dari Minak Koncar Lumajang.
Keturunan-keturunan beliau tersebar di beberapa Bangsa.

Kekeramatan Syeikh Abdurrohman Assyaibani RA adalah :
· Bisa berbicara semua Bahasa, termasuk bahasa Malaikat, jin dan Hewan.
· Segala Hajat yang dinginkan beliau pasti terkabul, karena keramat beliau KUN FAYAKUN.
· Dalam berdakwah tidak membutuhkan kendaraan, kemana-mana asal tujuan dakwah bisa sampai tujuan dalam hitungan Detik.

Fatwa-fatwa Syeikh Abdurrohman Assyaibani RA diantaranya :
· Allah itu Maha Segalanya.
· Taqwa itu Sholat, Tasbih dan Puasa
· Islam itu Damai seluruh Dunia
· Ilmu itu supaya bertambah, harus di Amalkan.
· Makan itu untuk Hidup, kalau tidak terpaksa Tidak Makan
· Hukum dan Pemeritah itu apa Kata Rakyat


Murid-murid Syeikh Abdurrohman Assyaibani RA, diantaranya:
· Syekh Abdullah (dulu makamnya di SDN1 atau BRI Lumajang. Sekarang dipindah ke makam umum Jogoyudan Lumajang)
· Syekh Muhammad Anas dari Demak. (Makamnya di belakang Masjid Jamik Anas Mahfud Lumajang)

Wilayah da’wah beliau Lumajang dan sekitarnya. Perjuangannya menyebarkan agama Islam memberi pencerahan mengatasi kegelapan dan kemusyrikan masyarakat. Dengan keramatnya semua manusia dan hewan tunduk menuruti ajakan beliau dengan senang hati.

Demikian sejarah singkat dan riwayat hidup Syekh Tambu Aly bin Syekh Baqir Alfarisi RA.

BAGAIMANA INDONESIA BERISLAM?


by Mustaqim

Setelah mempelajari modul ini Anda dapat :

1. menguraikan proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia;

dan

2. memberikan contoh wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan kebudayaan

Islam dalam seni bangunan, seni rupa, aksara dan sastra, sistem

pemerintahan dan sistem kalender serta filsafat.

Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan berkembang di Indonesia. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi Anda, karena di mass media mungkin Anda sudah sering mendengar atau membaca bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki penganut agama Islam terbesar di dunia.

Agama Islam masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai, kemudian diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran Islam. Mengenai kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya terdapat beberapa teori yang mendukungnya. Untuk lebih jelasnya silahkan Anda simak uraian materi berikut ini.

Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia

Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia.

Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.

Untuk mengetahui lebih jauh dari teori-teori tersebut, silahkan Anda simak uraian materi berikut ini.

1. Teori Gujarat

Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:

1. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam

penyebaran Islam di Indonesia.

2. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia –

Cambay – Timur Tengah – Eropa.

3. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang

bercorak khas Gujarat.

Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.

Demikianlah penjelasan tentang teori Gujarat. Silahkan Anda simak teori berikutnya.

2. Teori Makkah

Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir).

Dasar teori ini adalah:

1. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat

perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah

mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan

berita Cina.

2.Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab

Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India

adalah penganut mazhab Hanafi.

3. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal

dari Mesir.

Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.

Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah paham simak teori berikutnya.

3. Teori Persia

Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:

1. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.

2. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.

3. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda tanda bunyi Harakat.

4. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.

5. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein

Jayadiningrat.

Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).

Proses masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan jalan damai melalui beberapa jalur/saluran yaitu melalui perdagangan seperti yang dilakukan oleh pedagang Arab, Persia dan Gujarat.

Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya diantara pedagang tersebut ada yang terus menetap, atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan.

Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan ada yang sampai menikah dengan wanita Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang.

Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaliqh yang menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren.

Pondok pesantren adalah tempat para pemuda dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah tammat dari pondok tersebut, maka para pemuda menjadi juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing.

Di samping penyebaran Islam melalui saluran yang telah dijelaskan di atas, Islam juga disebarkan melalui kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah diterima oleh rakyat Indonesia.

Untuk menguji tingkat pemahaman Anda, silahkan Anda diskusikan dengan teman-teman Anda, mencari alasan mengapa Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Selanjutnya dapat Anda simak uraian materi berikutnya.

Di pulau Jawa, peranan mubaligh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan walisongo yang merupakan suatu majelis yang berjumlah sembilan orang. Majelis ini berlangsung dalam beberapa periode secara bersambung, mengganti ulama yang wafat / hijrah ke luar Jawa. Dari penjelasan tersebut apakah Anda sudah paham, kalau sudah paham simak uraian materi berikutnya tentang periode penyebaran islam oleh para ulama/wali tersebut.

1. Periode I :

Penyebaran Islam dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim*, Maulana Ishaq(-), Ahmad Jumadil Qubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil*, Muhammad Al-Akbar*, Maulana Hasannudin, Aliyuddin*, dan Syeikh Subakir (-).

2. Periode II :

Penyebaran Islam digantikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta), Ja’far Shiddiq (Sunan Kudus), Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

3. Periode III :

hijrahnya Maulana Ishaq dan Syeikh Subakir, dan wafatnya Maulana Hassanudin dan Aliyuddin maka penyebar Islam pada periode ini dilakukan oleh Raden Paku (Sunan Giri), Raden Said (Sunan Kalijaga), Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qashim (Sunan Drajat).

4. Periode IV :

Penyebar Islam selanjutnya adalah Jumadil Kubra dan Muhammad Al-Maghribi dan kemudian digantikan oleh Raden Hasan (Raden Patah) dan Fadhilah Khan (Falatehan).

5. Periode V :

Untuk periode ini karena Raden Patah menjadi Sultan Demak maka yang menggantikan posisinya adalah Sunan Muria.

Demikianlah penyebaran tentang periode penyebaran Islam di Indonesia, mudah-mudahan Anda dapat memahami dengan mudah, selanjutnya Anda simak uraian materi berikutnya.

Para wali / ulama yang dikenal dengan sebutan walisongo di Pulau Jawa terdiri dari :

1. Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam

di Jawa Timur.

2. Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah

Ampel Surabaya.

3. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum

Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).

4. Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin

menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.

5. Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri

(Gresik).

6. Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di

daerah Kudus.

7. Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan

ajaran Islam di daerah Demak.

8. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid

menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.

9. Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa

Barat (Cirebon).

Sembilan wali yang sangat terkenal di pulau Jawa, Masyarakat Jawa sebagian memandang para wali memiliki kesempurnaan hidup dan selalu dekat dengan Allah, sehingga dikenal dengan sebutan Waliullah yang artinya orang yang dikasihi Allah.

Wujud Akulturasi Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan Islam

Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang pernah Anda pelajari pada modul sebelumnya.

Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang.

Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.

Untuk lebih memahami wujud budaya yang sudah mengalami proses akulturasi dapat Anda simak dalam uraian materi berikut ini.

1. Seni Bangunan

Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, istana. Untuk lebih jelasnya silahkan Anda simak gambar berikut ini.

Masjid Demak

Wujud akulturasi dari masjid kuno seperti yang tampak pada gambar 1 memiliki ciri sebagai berikut:

1. Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin

kecil dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5.

Dan biasanya ditambah dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan

keruncingannya yang disebut dengan Mustaka.

2.Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di

luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau

bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan

merupakan budaya asli Indonesia.

3. Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah barat alun-alun atau

bahkan didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan

makam.

Mengenai contoh masjid kuno selain seperti yang tampak pada gambar 1 Anda dapat memperhatikan Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya.

Apakah di daerah Anda terdapat bangunan masjid kuno ? Kalau ada, silahkan Anda mengkaji sendiri ciri-cirinya, apakah sesuai dengan uraian dalam modul ini? Selanjutnya silahkan Anda menyimak uraian materi seni bangunan berikutnya.

Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat pada bangunan makam. Untuk itu silahkan Anda simak gambar 2 makam Sendang Duwur berikut ini.

Makam Sendang Duwur

2. Seni Rupa

Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian, misalnya ragam hias pada gambar 3 ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang distilir.

Gambar Kera yang disamarkan

3. Aksara dan Seni Sastra

Tersebarnya agama Islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu atau biasanya dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak menggunakan tanda-tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab.

Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran dan gambar wayang

Sedangkan dalam seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu – Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia.

Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu.

Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:

1. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).

2. Babad adalah kisah rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarah contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Cirebon.

3. Suluk adalah kitab yang membentangkan soal-soal tasawwuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang dan sebagainya.

4. Primbon adalah hasil sastra yang sangat dekat dengan Suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan, keajaiban dan penentuan hari baik/buruk.

Bentuk seni sastra tersebut di atas, banyak berkembang di Melayu dan Pulau Jawa. Dari penjelasan tersebut, apakah Anda sudah memahami, kalau sudah paham silahkan diskusikan dengan teman-teman Anda, untuk mencari contoh bentuk seni sastra, seperti yang tersebut di atas yang terdapat di daerah Anda. Selanjutnya simaklah uraian materi wujud akulturasi berikutnya.

4. Sistem Pemerintahan

Dalam pemerintahan, sebelum Islam masuk Indonesia, sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu ataupun Budha, tetapi setelah Islam masuk, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu/Budha mengalami keruntuhannya dan digantikan peranannya oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Demak, Malaka dan sebagainya.

Sistem pemerintahan yang bercorak Islam, rajanya bergelar Sultan atau Sunan seperti halnya para wali dan apabila rajanya meninggal tidak lagi dimakamkan dicandi/dicandikan tetapi dimakamkan secara Islam.

Demikianlah penjelasan wujud akulturasi dalam salah satu hal sistem pemerintahan. Selanjutnya simak wujud akulturasi berikutnya.

5. Sistem Kalender

Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Apakah sebelumnya Anda pernah mengetahui/mengenal hari-hari pasaran?

Setelah berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam).

Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari pasaran pada kalender saka juga dipergunakan.

Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.

SYEKH ABDUL WAHAB ROKAN




Di Bumi sumatra Utara lebih tepatnya di daerah langkat, terdapat sebuah kampung yang bernama Kampung Basilam.Secara etimologis, "besilam" berarti pintu kesejahteraan. Menurut cerita, kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam.

Beliau adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah.Di Kampung ini terdapat makam beliau yaitu Syekh Abdul Wahab Rokan yang dikenal juga dengan Syekh Basilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah.Tampak sekilas, kampung Basilam mirip dengan sebuah pesantren yang terpencil, teduh, asri,dan damai. terlihat ada Mesjid utama dan sebuah bangunan berkubah lengkung disebelah masjid, sebuah bagunan utama dari kayu hitam yang besar dengan gaya rumah panggung, serta beberapa bangunan tambahan lainnya. Selain terdapat makam beliau, dikampung ini juga merupakan pusat penyebaran Tharikat Naqsybandiah Babussalam yang sekarang dipimpin oleh tuan Guru Syekh H. Hasyim Al-Syarwani, atau lebih dikenal Tuan Guru Hasyim.

Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, "Al Ulama Warosatun An biya", ulama adalah pewaris dari para nabi.Berada di dekat makam orang-orang yang shaleh mempunyai pengaruh yang baik terhadap diri kita,salah satu caranya yaitu dengan menziarahinya.Ziarah kubur memiliki banyak hikmah dan manfaat, diantara yang terpenting adalah:Ia akan mengingatkan akherat dan kematian sehingga dapat memberikan pelajaran dan ibrah bagi orang yang berziarah. Dan itu semua tentu akan memberikan dampak positif dalam kehidupan, mewariskan sikap zuhud terhadap dunia dan materi.

Berikut saya masukkan sejarah Syekh Abdul Wahab Rokan yang saya ambil dari beberapa sumber.Nama lengkap Syeikh Abdul Wahhab bin `Abdul Manaf bin Muhammad Yasin bin Maulana Tuanku Haji Abdullah Tembusai. Lahir 10 Rabiulakhir 1242 H/11 November 1826 M). Wafat di Babussalam, Langkat, pada hari Jumaat, 21 Jamadilawal 1345 H/26 Disember 1926 M. Moyangnya Maulana Tuanku Haji Abdullah Tembusai adalah seorang ulama besar dan golongan raja-raja yang sangat berpengaruh pada zamannya.
Ayahnya bernama Abdul Manaf bin Muhammad Yasin bin Maulana Tuanku Haji Abdullah Tambusei, seorang ulama besar yang 'abid dan cukup terkemuka pada saat itu.14 Sedangkan ibunya bernama Arbaiyah binti Datuk Dagi bin Tengku Perdana Menteri bin Sultan Ibrahim yang memiliki pertalian darah dengan Sultan Langkat.15 Syekh Abdul Wahab meninggal pada usia 115 tahun pada 21 Jumadil Awal 1345 H atau 27 Desember 1926 M.

Masa remaja Syekh Abdul Wahab, lebih banyak dipenuhi dengan mencari dan menambah ilmu pengetahuan. Pada awalnya ia belajar dengan Tuan Baqi di tanah kelahirannya Kampung Danau Runda, Kampar, Riau. Kemudian ia menamatkan pelajaran Alquran pada H.M. Sholeh, seorang ulama besar yang berasal dari Minangkabau.Setelah menamatkan pelajarannya dalam bidang al-Quran, Syekh Abdul Wahab melanjutkan studinya ke daerah Tambusei dan belajar pada Maulana Syekh Abdullah Halim serta Syekh Muhammad Shaleh Tembusei. Dari kedua Syekh inilah, ia mempelajari berbagai ilmu seperti tauhid, tafsir dan fiqh. Disamping itu ia juga mempelajari "ilmu alat" seperti nahwu, sharaf, balaghah, manthiq dan 'arudh. Diantara Kitab yang menjadi rujukan adalah Fathul Qorib, Minhaj al-Thalibin dan Iqna'. Karena kepiawaiannya dalam menyerap serta penguasaannya dalam ilmu-ilmu yang disampaikan oleh guru-gurunya, ia kemudian diberi gelar "Faqih Muhammad", orang yang ahli dalam bidang ilmu fiqh.Syekh Abdul Wahab kemudian melanjutkan pelajarannya ke Semenanjung Melayu dan berguru pada Syekh Muhammad Yusuf Minangkabau. Ia menyerap ilmu pengetahuan dari Syekh Muhammad Yusuf selama kira-kita dua tahun, sambil tetap berdagang di Malaka.16 Hasrat belajarnya yang tinggi, membuat ia tidak puas hanya belajar sampai di Malaka. Ia seterusnya menempuh perjalanan panjang ke Mekah dan menimba ilmu pengetahuan selama enam tahun pada guru-guru ternama pada saat itu. Di sini pulalah ia memperdalam ilmu tasawuf dan tarekat pada Syekh Sulaiman Zuhdi sampai akhirnya ia memperoleh ijazah sebagai "Khalifah Besar Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah".
Syekh Abdul Wahab dalam penelusuran awal yang penulis lakukan, juga memperdalam Tarekat Syaziliyah. Hal ini terbukti dari pencantuman namanya sendiri ketika ia menulis buku 44 Wasiat yakni "Wasiat Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi Naqsyabandi as-Syazali...". Selain itu, pada butir kedua dari 44 Wasiat, ia mengatakan "apabila kamu sudah baligh berakal hendaklah menerima Thariqat Syazaliyah atau Thariqat Naqsyabandiyah supaya sejalan kamu dengan aku".18 Hanya saja sampai saat ini, penulis belum memperoleh data kapan, dimana dan pada siapa Syekh Abdul Wahab mempelajari Tarekat Syaziliyah ini.Pada saat belajar di Mekah, Syekh Abdul Wahab dan murid-murid yang lain pernah diminta untuk membersihkan wc dan kamar mandi guru mereka. Saat itu, kebanyakan dari kawan-kawan seperguruannya melakukan tugas ini dengan ketidakseriusan bahkan ada yang enggan. Lain halnya dengan Syekh Abdul Wahab. Ia melaksanakan perintah gurunya dengan sepenuh hati. Setelah semua rampung, Sang Guru lalu mengumpulkan semua murid-muridnya dan memberikan pujian kepada Syekh Abdul Wahab sambil mendoakan, mudah-mudahan tangan yang telah membersihkan kotoran ini akan dicium dan dihormati oleh termasuk para raja.

Salah satu kekhasan Syekh Abdul Wahab dibanding dengan sufi-sufi lainnya adalah bahwa ia telah meninggalkan lokasi perkampungan bagi anak cucu dan murid-muridnya. Daerah yang bernama "Babussalam" ini di bangun pada 12 Syawal 1300 H (1883 M) yang merupakan wakaf muridnya sendiri Sultan Musa al-Muazzamsyah, Raja Langkat pada masa itu. Disinilah ia menetap, mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah sampai akhir hayatnya.Di sela-sela kesibukannya sebagai pimpinan Tarekat Naqsyabandiyah, Syekh Abdul Wahab masih menyempatkan diri untuk menuliskan pemikiran sufistiknya, baik dalam bentuk khutbah-khutbah, wasiat, maupun syair-syair yang ditulis dalam aksara Arab Melayu. Tercatat ada dua belas khutbah yang ia tulis dan masih terus diajarkan pada jamaah di Babussalam. Sebagian khutbah-khutbah tersebut -enam buah diantaranya- diberi judul dengan nama-nama bulan dalam tahun Hijriyah yakni Khutbah Muharram, Khutbah Rajab, Khutbah Sya'ban, Khutbah Ramadhan, Khutbah Syawal, dan Khutbah Dzulqa'dah. Dua khutbah lain tentang dua hari raya yakni Khutbah Idul Fitri dan Khutbah Idul Adha. Sedangkan empat khutbah lagi masing-masing berjudul Khutbah Kelebihan Jumat, Khutbah Nabi Sulaiman, Khutbah Ular Hitam, dan Khutbah Dosa Sosial.Wasiat atau yang lebih dikenal dengan nama "44 Wasiat Tuan Guru" adalah kumpulan pesan-pesan Syekh Abdul Wahab kepada seluruh jamaah tarekat, khususnya kepada anak cucu / dzuriyat-nya. Wasiat ini ditulisnya pada hari Jumat tanggal 13 Muharram 1300 H pukul 02.00 WIB 20 kira-kira sepuluh bulan sebelum dibangunnya Kampung Babussalam.
Karya tulis Syekh Abdul Wahab dalam bentuk syair, terbagi pada tiga bagian yakni Munajat, Syair Burung Garuda dan Syair Sindiran. Syair Munajat yang berisi pujian dan doa kepada Allah, sampai hari ini masih terus dilantunkan di Madrasah Besar Babussalam oleh setiap muazzin sebelum azan dikumandangkan. Dalam Munajat ini, terlihat bagaimana keindahan syair Syekh Abdul Wahab dalam menyusun secara lengkap silsilah Tarekat Naqsyabandiyah yang diterimanya secara turun temurun yang terus bersambung kepada Rasulullah Saw. Sedangkan Syair Burung Garuda berisi kumpulan petuah dan nasehat yang diperuntukkan khusus bagi anak dan remaja. Sayangnya, sampai saat ini Syair Burung Garuda tidak diperoleh naskahnya lagi. Sementara itu, naskah asli Syair Sindiran telah diedit dan dicetak ulang dalam Aksara Melayu (Indonesia) oleh Syekh Haji Tajudin bin Syekh Muhammad Daud al-Wahab Rokan pada tahun 1986.
Dalam praktiknya, tarekat yang diajarkan oleh Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan mengandung dua sistem, yakni pengikut yang hanya mengambil tarekat dan pengikut yang mengambil tarekat sekaligus melaksanakan suluk (pengasingan diri).Pengikut dari golongan pertama mengambil tarekat dari mursyid (syekh) dan diharuskan melaksanakan zikir qalbi (menyebut nama Allah dalam hati) setiap hari sekurang-kurangnya 5.000 kali. Mereka dibenarkan ikut ber-khatam tawajjuh (menamatkan Al-Quran) di Madrasah Besar Babussalam sewaktu-waktu. Bersamaan dengan itu, ia sudah terikat dengan aturan dan adab tarekat.Pengikut golongan kedua tidak saja melaksanakan zikir qalbi dan ikut ber-khatam tawajjuh, tetapi juga melaksanakan suluk. Suluk hampir sama dengan ber-khalwat, yakni menyepi dan mengasingkan diri dari masyarakat ramai di sebuah bangunan yang dinamai rumah suluk (tempat latihan rohani). Suluk ini ada kalanya dijalani selama 10 hari, 20 hari atau 40 hari. Tujuan suluk adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat membimbangkan dari mengingat Allah. Persulukan dimulai sesudah melaksanakan khatam tawajjuh, selesai shalat Ashar.
Walaupun Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan bukanlah sosok yang terkenal dalam pergerakan melawan imperialisme Belanda, tapi ia aktif dalam mengarahkan strategi perjuangan non fisik sebagai upaya melawan sistem kolonialisme. Beliau mengirim utusan ke Jakarta untuk bertemu dengan H.O.S. Tjokroaminoto dan mendirikan cabang Syarikat Islam di Babussalam di bawah pimpinan H. Idris Kelantan. Nama Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan sendiri tercantum sebagai penasihat organisasi.Beliau juga pernah ikut terlibat langsung dalam peperangan melawan Belanda di Aceh pada tahun 1308 H. Menurut cerita dari pihak Belanda yang pada saat itu sempat mengambil fotonya, Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan mampu terbang di angkasa, menyerang dengan gagah perkasa, dan tidak dapat ditembak dengan senapan atau meriam.Setelah menetap di Langkat, pihak Belanda sendiri memberikan penghargaan kepada Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan atas jasa-jasanya dalam membangun Kampung Besilam (Babussalam) dan menyebarkan kebenaran kepada penduduk.
Terlepas dari motif di belakangnya, pada tanggal 1 Jumadil Akhir 1341 H (1923), Asisten Residen Van Arken bersama Sultan Langkat menghadiahi beliau bintang kehormatan dari emas. Bintang emas itu dilekatkan ke dadanya lewat satu upacara besar yang disaksikan ribuan hadirin.Setelah bintang itu diterimanya, Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan duduk menghadap kiblat dan menyampaikan pesan agar kiranya Ratu Belanda mau masuk agama Islam. Bintang tanda jasa itu sendiri dikembalikannya kepada Sultan Langkat yang memang dikenal sangat dekat dengan Belanda. Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan meminta maaf seraya mengatakan bahwa penghargaan itu tidak cukup menggembirakan karena merupakan cemeti yang keras bagi badannya yang sudah uzur, yang seharusnya dituntut lebih bersungguh-sungguh dalam menjunjung tinggi perintah Tuhan. Kepada khalayak ia berseru: "Orang Belanda saja sudah menghargai kita dalam menjalankan agama Islam, jadi kita sendiri pun harus lebih taat beribadah dan menjauhi larangan-Nya".
Sebagai seorang yang sangat dipuja pengikutnya, Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan cukup dikeramatkan oleh penduduk setempat. Sejumlah cerita keramat tentang beliau yang cukup populer di kalangan masyarakat Langkat bisa dilihat sebagai berikut.Tatkala diadakan gotong-royong membangun anak sungai di Kampung Babussalam, nasi bungkus yang rencananya akan dibagikan kepada peserta gotong-royong kurang jumlahnya. Nasi yang tersedia hanya 40 bungkus, sementara para pekerja berjumlah ratusan. Melihat hal itu, Tuan Syekh menyuruh petugas mengumpulkan kembali nasi yang sudah sempat dibagikan dalam sebuah bakul. Kemudian ia menutupi bakul itu dengan selendangnya dan berdoa. Beberapa saat sesudah itu, disuruhnya para petugas membagikan kembali nasi bungkus itu, dan ternyata jumlahnya berlebih.Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan juga dikenal mampu mendorong perahu-perahu dengan mudah, padahal perahu-perahu itu sangatlah berat dan tak mampu didorong oleh seorang saja.Kisah lain, pada suatu masa pihak Belanda merasa curiga karena ia tidak pernah kekurangan uang. Lantas mereka menuduhnya telah membuat uang palsu.
Beliau merasa sangat tersinggung, sehingga ia meninggalkan Kampung Babussalam dan pindah ke Sumujung, Malaysia. Sebagai informasi, pada saat itulah kesempatan beliau mengembangkan tarekat Naqsabandiyah di Malaysia, di mana sebagian pengikutnya adalah rombongan tour yang sedang kami handle saat ini. Nah, selama kepergiannya itu, konon sumber-sumber minyak BPM Batavsche Petroleum Matschapij (sekarang Pertamina) di Langkat menjadi kering. Kepah dan ikan di lautan sekitar Langkat juga menghilang sehingga menimbulkan kecemasan kepada para penguasa Langkat. Akhirnya ia dijemput dan dimohon untuk menetap kembali di Babussalam. Setelah itu, sumber minyak pun mengalir dan ikan-ikan bertambah banyak di lautan. Kaum buruh dan nelayan senang sekali.
Sesudah beliau wafat, banyak orang yang berziarah dan bernazar ke kuburnya. Konon pula, ada pengunjung yang ingin meminta anak laki-laki setelah ia mempunyai 8 anak perempuan. Tak lama kemudian ia mendapatkan anak laki-laki. Banyak lagi cerita-cerita keramat di seputar sosok Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan dan kuburannya.Setahun sekali, bertepatan dengan hari wafat Tuanku Guru Abdul Wahab Rokan tanggal 27 Desember 1926, diadakan acara haul besar peringatan wafat Tuan Guru Pertama.

Saat inilah datang ribuan murid dan peziarah dari seluruh pelosok Asia dan Indonesia ke Basilam. Di hari pertama dan kedua haul, pada malam hari seusai shalat isya, para khalifah (sebutan pengikutnya) dan peziarah melakukan dzikir di depan makam Tuan Guru pertama Abdul Wahab Rokan. Peziarah datang ke sini selain untuk mengikuti acara dzikir bersama di makam Tuan Guru Pertama, juga bersilaturahmi dengan penerus Tuan Guru Basilam. Di saat inilah, kampung Besilam yang biasanya teduh dan tenang mendadak menjadi sibuk karena datangnya ratusan bis ke mari membawa ribuan wisatawan, khalifah, dan peziarah.

SYEKH YUSUF AFRIKA SELATAN


Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.
Beliau tercantum namanya sebagai seorang pahlawan nasional Indonesia sejak tahun 1995, beliau lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, (dekat Makassar) pada 03 Juli 1626 dari pasangan Abdullah dengan Aminah dengan nama Muhammad Yusuf. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibunda Syekh Yusuf, keluarga Gallarang Monconglo'E adalah keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.
Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalia




n kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang belajar mengaji pertama kali pada Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada syekh terkenal di Makassar saat itu yakni Sayyid Ba-lawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Jalaludin Al-Aydit. Kembali dari Cikoang Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah. Dari Aceh Syekh Yusuf juga berangkat mencari ilmu ke Yaman, dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah tarekat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa'adah Al Ba'laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke se-antero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperolehnya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus). dilanjutkan dengan pendalaman bahasa Arab, ilmu fikih, dan tasawuf.
Setelah sampai di Jeddah, Syekh Yusuf meneruskan perjalanannya ke mekkah dan Syekh Yusuf ingin menuntut ilmu kepada imam-imam dari 4 mazhab, tetapi ke empat imam tersebut mengatakan bahwa ia tidak perlu belajar karena ilmu yang Syekh Yusuf punyai sudah cukup. Tetapi imam-imam tersebut menganjurkan agar Syekh Yusuf belajar kepada Abu Yazid, Dari sini Syekh Yusuf disuruh lagi belajar kepada Syekh Abdul Al-Qadir Al Jailani. Syekh Yusuf juga mengunjungi makam Nabi di madinah. Kemudian Syekh Yusuf kembali ke Banten dan menikah dengan putri sultan Banten yang bernama Syarifah. Setelah raja gowa mendengar bahwa Syekh Yusuf berada di Banten, raja Gowa mengirim utusan agar supaya Syekh Yusuf kembali ke tanah Gowa. Akan tetapi Syekh Yusuf menolak dengan pernyataan bahwa beliau tidak akan kembali ke Gowa apa bila kesufiaannya tidak sempurna (Sufi yang dimaksud yakni akhir kehiduapannya) maka sebelum beliau mati beliau tidak akan pernah kembali ke Gowa. Di Banten Syekh Yusuf mempunyai banyak murid dan murid-murid Syekh Yusuf juga ada dari kalangan istana kerajaan di Jawa Barat. Dari pernikahannya Syekh Yusuf dengan putri Banten diberikan keturunan anak laki-laki. Kemudian Syekh Yusuf menikah juga dengan seorang wanita dari Serang dan Giri yang juga mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan sehingga keturunan Syekh Yusuf di Jawa banyak.
Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, akhirnya beliau pulang ke kampung halamannya di Gowa. Tapi ia sangat kecewa setelah melihat kampung halamannya porak poranda dan maksiat merajalela, saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, beliau kembali merantau pada tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji besert aKompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar. Namun karena kekuatan yang tak sebanding, maka akhirnya pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682. Mualilah babak baru bagi kehidupan Syekh Yusuf, hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini beliau memulai perjuangan baru. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, yang kebanyakan berasal dari India Selatan. Beliau juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf. termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, beliau juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini. Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; beliau diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, ke Afrika Selatan pada bulan Juli 1693. Menekuni jalan dakwah pada bulan-bulan pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya di Afrika selatan. Untuk pertama kalinya mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar). Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam disana adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru.

Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut. Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun. Ia tinggal di Tanjung Harapa nsampai wafat tanggal 23 Mei 1699 di Cape Town Afrika Selatan dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan tugu peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.
[Dinding sebelah bicara]

AL MAGHFURLLAH GUS DUR


Menurut keterangan Kyai Agil siraj (Ketua PBNU) - SCTV dalam acara Mengenang 7 Hari Gus Dur tanggal 6 Januari 2010 jam 10.58

1. Kisah Makam Surya Memesa dan Ziarah Syekh Ali Uraidi bin Imam Ja’far Shadiq

Di sela-sela acara tahlilan hari ke-7 wafatnya Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, Selasa (5/1), Said Agil pernah diajak ziarah ke pedalaman Tasikmalaya, Panjulan. Gus Dur membawanya ke sebuah kuburan yang sepi. Untuk mencapai lokasi saja, harus menyebrang sebuah situ (danau).

Saat tiba, Gus Dur menuju sebuah makam. Saat ditanya Said Agil, siapa jenazah yang telah dikebumikan di tanah ini? Gus Dur tidak langsung menjawab. “Dia orang sakti. Dia mencari musuh agar dia bisa dikalahkan,” ujar Said Agil meniru ucapan Gus Dur.

Orang sakti yang dimaksud Gus Dur, sambung Said Agil, ternyata bernama Surya Mesesa, seorang penyebar agama Islam di pulau Jawa. Gus Dur memberitahukan kepada Said Agil, mengapa Surya Mesesa bisa masuk Islam.

“Untuk mendapatkan musuh, Surya Memesa sampai ke Madinah, dan bertemu Syeikh Ali. Sama Syeikh Ali, Surya Mesesa disuruh mengangkat sebuah tongkat, dan tidak bisa. Karena itu, dia masuk Islam,” ujarnya.

Ceritanya, Gus Dur bersama Said Aqil ingin membacakan surat Al-Fatihah untuk Syekh Ali sebanyak seribu kali. Namun ketika mereka baru membacakan al-Fatihah sebanyak 30 kali tiba-tiba seorang polisi datang mengusir mereka dan mengatakan, “Musyrik, haram!”

Untung saja mereka bukan penduduk setempat, sehingga tidak dihukum berat, karena bagi mereka ziarah kubur adalah larangan berat. Namun Gus Dur sempat marah kepada polisi itu, “Kamu musuh Allah, Wahabi,” kata Gus Dur seperti dikutip Said Aqil saat memberikan testimoninya usai memimpin tahlilal 7 hari di Ciganjur, Selasa (5/1) malam.

Said Aqil bercerita, Gus Dur berziarah ke makam Syekh Ali al-Uraidhi karena Syekh ini konon sempat mengalahkan seorang yang hebat bernama Surya Mesesa. Ia merasa tak terkalahkan. Bahkan untuk mendapatkan musuh, Surya Memesa sampai ke Madinah, dan bertemu Syekh Ali al-Uraidhi.

“Sama Syeikh Ali, Surya Mesesa disuruh mengangkat sebuah tongkat, dan tidak bisa. Karena itu, dia masuk Islam,” ujar Said Aqil. Cerita ini diperolehnya dari Gus Dur saat ia diajak berziarah ke pedalaman Tasikmalaya, Panjulan.

Said Aqil bertanya, “Makam siapa Gus?” Gus Dur menjawab, “Dia orang sakti. Dia mencari musuh agar dia bisa dikalahkan.” Karena itulah Gus Dur berziarah ke makam tersebut dan kemudian ke makam Syekh Ali al-Uraidhi.

Menurut Kang Said, panggilan akrab KH Said Aqil Siradj, Gus Dur memang gemar berziarah ke makam para ulama dan sesepuh. Selain mendoakan mereka, dengan cara itu Gus Dur merangkai sejarah peristiwa yang terjadi beberapa ratus tahun yang lalu, yang bahkan tidak tertulis dalam buku-buku sejarah.

Namun ada yang yang menarik ketika Gus Dur berziarah kesuatu makam, kata Kang Said. ”Kalau ada makam yang diziarahi Gus Dur, pasti kemudian makam itu ramai diziarahi orang. Gus Dur memang tidak hanya memberkahi orang yang hidup, tapi juga orang yang sudah mati,” katanya disambut tawa hadirin. (nam) (sumber 1 , sumber 2)

2. Bertemu dan didoakan wali di madinah

setelah berziarah (point 1) , beliau berdoa di raudah, malamnya gus dur ngajak kyai agil jalan2 ke masjid untuk mencari seorang wali

setelah muter2 dimasjid, kyai agil ketemu sm orang pake surban tinggi, lagi ngajar santrinya banyak, bilang sm gus dur

‘apa ini wali gus ?’
gus dur bilang, ‘bukan’

akhirnya cari lagi,ketemu sm orang yg pake surban dengan jidat hitam , gus dur bilang ‘bukan ini’

kemudian gus dur menghentikan langkah di dekat orang yg pake surban kecil biasa, duduk diatas sajadah, baru gus dur bilang, ‘ini adalah wali’

kemudian kyai agil memperkenalkan pada wali tersebut, dalam bahasa arab, dan terjemahannya seperti ini

‘Syekh, ini sy perkenalkan namanya ustad Abdurrahman Wahid, ketua organisasi islam terbesar di asia’,

tujuan dari mencari wali ini ialah ingin didoakan oleh seorang wali. akhirnya wali ini berdoa untuk gus dur semoga di ridloi, di ampuni , hidupnya sukses. setelah itu wali tersebut pergi sambil menyeret sajadahnya dan mengatakan ‘dosa apa saya? sampai2 maqom/kedudukan saya diketahui oleh orang’…

dalam sebuah atsar (perkataan ulama2) menyatakan bahwa ‘yang mengetahui kedudukan seorang wali adalah sesama wali itu sendiri’

3. Weruh sak durunge wineruh.

Artikel ini sy ambil dari http://tengkuzulkarnain.net/index.php/artikel/index/72/Selamat-Jalan-Gusdur

Kiayi Haji Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI yang ke-4 sudah lama saya kenal melalui siaran televisi, koran-koran dan buku-buku yang memuat pemikiran beliau. Namun yang paling berkesan bagi saya adalah saat kami berdua pernah duduk bersama seharian penuh dari pukul 07.00 pagi hari sampai 19.00 malam hari. Kebersamaan kami berlangsung di Riau, tepatnya di kediaman Gubernur Riau, H. M. Rusli Zainal. Ketika itu Gubernur Riau sendiri yang meminta saya untuk menemani Gusdur sebagai ‘pengganti’ tuan rumah, karena Gubernur Riau tidak dapat terus menerus menemani Gusdur.

Jadilah pertemuan kami itu berlangsung aman, tanpa ada gangguan sedikitpun. Saya masih ingat rombongan Gusdur saat itu lumayan ramai juga, di antaranya adalah Muhaimin Iskandar (sekarang menjadi Menteri Tenaga Kerja RI), dan saudara Lukman Edi (seorang anggota DPR RI). Sepanjang hari itu, kami duduk bersebelahan dan berbicara panjang lebar mulai dari masalah agama, masalah negara, masalah pemimpin-pemimpin Indonesia.

Ketika membicarakan masalah agama kami terlibat dalam pembicaraan sangat serius. Saat itu kami berkesempatan untuk membuktikan secara langsung kata-kata orang yang banyak saya dengar, yang menyatakan bahwa Gusdur menguasai banyak kitab-kitab klasik. Maka kami membuka dialog dengan mencuplik kitab-kitab klasik yang pernah kami baca mulai dari karangan Imam As Syafi’i, Imam Harmaini, Imam Al Ghazali, Imam Ibnu Katsir, dan lain-lain. Apa yang terjadi…? Gusdur ternyata bukan hanya mahir mengimbangi pembicaraan mengenai berbagai permasalahan yang kami kemukakan, namun dengan mahir beliau malah membacakan matan-matan semua persoalan tersebut dalam bahasa Arab yang asli, tepat seperti isi kitab yang asli. Tidak dapat kami pungkiri bahwa saat itu hati kami bergetar, kagum, heran, juga bahagia. Yakinlah kami bahwa Allah benar-benar Maha Kuasa dan telah menciptakan hamba-hambaNya dengan berbagai kelebihan. Subhanallah…

Ketika membahas kepemimpinan nasional, Gusdur dengan disertai humor-humor kocak sana sini menjelaskan dan berdiskusi dengan kami tentang banyak hal. Satu yang sangat kami catat kuat dalam ingatan kami bahwa tidak pernah sekalipun terucap kata-kata jelek yang bersifat mempersalahkan seorangpun dari pemimpin nasional kita. Ketika membahas Pak Harto, nada ucapan beliau berubah menjadi sangat lembut dan serius. Saat itu Gusdur berkata dan kami masih ingat benar, beliau berucap begini: “Pak Harto sebagai seorang pemimpin nasional telah memberikan contoh sebuah pekerjaan yang terencana dan terukur. Program beliau direncanakan rapi dan diukur setelah waktu pelaksanaan berakhir.” Kemudian beliau berdiam berapa saat. Kemudian beliau tertawa kecil seraya berkata sambil tertawa: “laahha kalo saya, kerja kapan inget, terus saya buat saja..”

Kesan saya saat itu muncul, sebagai orang Jawa asli, Gusdur terbiasa dengan sikap dan adab orang Jawa, mikul nduwur yaitu menghormati orang yang lebih tua. Beliau jujur dan humoris. Jujur dalam arti tidak menyembunyikan kelemahan dirinya.

Pertemuan kami berjalan manis. Kami hanya berpisah beberapa menit saat waktu sholat Dzuhur dan Ashar tiba, untuk kemudian duduk kembali di meja yang sama. Ada beberapa keistimewaan Gusdur yang saya yakin muncul dari indera keenam beliau. Ketika beliau bertanya kepada kami: “Sampeyan itu kan orang Medan, kok kata Gubernur tadi, sampeyan orang Riau?” Kemudian kami menjelaskan bahwa ibu kami adalah orang Riau dari Rokan Hilir, Bagan Siapi-api. Namun kemudian beliau berkata: “Rumah sampeyan di Klender, sampeyan buat pengajian malam senin di Klender, terus sampeyan begini…sampeyan begitu..” yang kesemuanya tepat dan benar. Paling aneh adalah saat kami katakan bahwa kami akan pulang pukul 17.00 dengan pesawat Mandala, saat itu beliau berkata kepada saya dengan tegas: “Ndak, sampeyan pulang dengan saya naek Garuda jam 7 (malam).” Menanggapi ucapan itu kami diam saja sebab di tangan kami sudah ada tiket Mandala pukul 5 sore rute Pekanbaru-Jakarta.

Ternyata pesawat Mandala delay sampai pukul 21.00, maka jadilah kami bertukar pesawat naik Garuda Indonesia bersama dengan Gusdur. Ada satu nasehat beliau kepada kami yang akan tetap kami ingat. “Negeri Riau adalah negerinya orang-orang Naqsyabandi. Dan dari sini telah muncul seorang wali besar Syaikh Abdul Wahab Rokan. Sampeyan musti jaga negeri ini, jangan dibiarkan begitu saja apalagi ibunya sampeyan orang asli negeri ini.” Saat itu beliau pegang tangan saya dan saya pun menjawab dengan rasa haru: “Iya Gus, saya pasti akan menjaga negeri saya ini.”

Sekarang Gusdur telah berpulang bertemu dengan Sang Pencipta Yang Maha Tinggi. Setelah sebelumnya memandang dengan bashirah beliau kedatangan sang kakek tercinta, Ulama Besar pendiri NU untuk mendampingi beliau di alam barzakh. Kami berdoa semoga beliau nyaman berdekatan dengan Kakek dan Bapak beliau di tanah Jombang, Pesantren keluarga besar Syaikh Asy’ari.

Selamat jalan Gusdur…Nasehat panjenengan senantiasa akan kami ingat sebagai kenangan manis antara orangtua kepada anaknya. Assalamu’alaika…
[Dikutip dari dinding sebelah li ridoillahi ta'ala ]


Gus Sholah Minta Peziarah Gus Dur Jauhi Syirik
Tak jarang di antara peziarah itu menangis dan menitikkan air mata di depan makam Gus Dur dan para sesepuh NU di komplek pemakaman itu. Di sela-sela mereka membaca surat Yasin dan tahlil.
Namun selain memanjatkan doa, tak jarang di antara peziarah yang mulai berperilaku berlebihan. Misalnya mengambil tanah gundukan di pusara mantan presiden RI ke-4 tersebut. Bukan hanya itu, sejumlah peziarah juga mengambil bunga yang berada di atas makam Gus Dur.
Umayah, satu peziarah mengaku setelah memanjatkan doa di depan makam Gus Dur ia bersama rombongan kembali ke kota asalnya, yakni Gresik.
Namun sebelum beranjak dari makam, ia terlebih dahulu mengambil tanah segenggam. Tanah tersebut akan dibawa pulang dan disimpan di rumahnya.
Umayah bersama rombongan percaya bahwasannya tanah tersebut akan membawa berkah tersendiri. Sebab, mantan ketua PBNU itu merupakan tokoh bangsa dan keturunan kiai. “Insya Allah, dengan menyimpan tanah ini kami akan mendapatkan barokah,” kata perempuan berjilbab ini sembari menunjukkan tanah yang digenggamnya, Jumat (1/1) kemarin.
Pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), yang juga adik kandung Gus Dur sudah memperingatkan agar tidak berlaku berlebihan di makam. “Jika diteruskan hal itu bisa mengarah kepada kemusyrikan,” tegas Gus Sholah.

Gus Solah menjelaskan, ia sudah mendengar laporan dari para santri terkait fenomena tersebut. Ia juga sangat menyayangkan aksi ‘irasional’ yang dilakukan oleh peziarah tersebut.
Syeikh As Sudais Pimpin Shalat Gaib untuk Gus Dur di Istiqlal

Doa khusus untuk almarhum Gus Dur dipanjatkan di Masjid Istiqlal. Ustad yang memimpin doa tersebut sungguh istimewa, Imam Masjidil Haram Syekh Dr H Abdurrahman Bin Abdul Aziz Al Sudais. Abdurrahman juga memimpin shalat gaib.

Sebagaimana dikutip detikcom, Jumat (1/1) doa yang dipanjatkan untuk Gus Dur dilakukan sebelum shalat Jumat digelar. Takmir masjid mengumumkan bahwa akan dipanjatkan doa untuk almarhum Gus Dur yang dipimpin oleh Abdurrahman Sudais. Takmir meminta jamaah bersama-sama ikut mendoakan.

“Kepada para jamaah Masjid Istiqlal, mari bersama-sama kita panjatkan sejenak doa-doa untuk almarhum Gus Dur, semoga selamat dunia akhirat,” kata takmir.

Abdurrahman Sudais yang mengenakan jubah warna putih dan mengenakan sorban bercorak merah dan putih kemudian memanjatkan doa dengan bahasa Arab. Doa dipanjatkan sekitar lima menit. Para jamaah mengirinya dengan ‘amien’.

Jamaah shalat Istiqlal kemudian mendapat siraman rohani dari Abdurrahman Sudais, karena ulama berkacamata itu bertindak sebagai pengkhutbah.

Dalam khutbah berbahasa Arab itu, Abdurrahman menyinggung tentang pentingnya membina keluarga sakinah. Dia menjelaskan perlunya seorang muslim menjadi kepala keluarga dalam membina istri dan anak-anaknya dalam berpakaian, bergaul dan berakhlak islami.

Seusai shalat Jumat, Abdurrahman Sudais juga diminta takmir masjid untuk memimpin shalat gaib untuk Gus Dur. Shalat gaib diikuti sebagian besar jamaah. Di hari libur Tahun Baru ini, masjid Istiqlal tetap dipadati jamaah, meski tidak terlalu penuh.

Salah seorang takmir Masjid Istiqlal, Yanto, saat ditemui detikcom mengatakan Abdurrahman Sudais berada di Istiqlal untuk silaturahmi. “Kebetulan hari ini Istiqlal mendapat tamu kehormatan dari Abdurrahman Sudais dan sejulah tamu dan utusan dari beberapa negara seperti Mesir, Arab Saudi, dan negara-negara Islam lainnya,” kata Yanto.

Abdurrahman Sudais berada di Jakarta sejak beberapa hari lalu. Sebelumnya, Abdurrahman bertemu Presiden SBY di Istana Negara terkait penyelenggaraan Musabaqah Hafalan Alquran dan Hadist Pangeran Sultan Bin Abdul Aziz Al Suud Tingkat ASEAN Tahun 2009

Desakan penetapan Gus Dur sebagai pahlawan Nasional

Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat mendesak pemerintah menetapkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai pahlawan nasional. Gus Dur, menurut politisi yang tergabung dalam Kaukus Parlemen Pancasila ini, adalah figur yang menjaga ide Bhinneka Tunggal Ika tetap relevan.

Anggota Kaukus Parlemen Pancasila ini terdiri dari Eva Kusuma Sundari (PDIP), Rieke Diah Pitaloka (PDIP), Bambang Soesatyo (Golkar), M Romahurmuziy (PPP), Ahmad Muzani (Gerindra) dan
Akbar Faizal (Hanura).

“Pernyataan simpati dan kehilangan atas berpulangnya Gus Dur begitu meluap melintasi batas negara dan sentimen-sentimen primordial berbasis apapun,” kata mereka dalam pernyataan tertulis ke VIVAnews, Jumat 1 Januari 2009.

Gus Dur adalah putra Republik dan tokoh dunia karena pikiran dan tindakannya mencerminkan kepentingan universal. “Demi memberikan penghargaan atas kerja-kerja almarhum dan keberlangsungan ide-ide kebhinnekaan untuk memperkuat NKRI maka Kaukus Parlemen Pancasila mengusulkan kepada DPR dan pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada almarhum Gus Dur,” ujar mereka.

Usul gelar pahlawan nasional juga telah disampaikan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa. Dua partai ini dikenal sebagai partai yang banyak didukung massa Nahdlatul Ulama, yang tiga periode dipimpin Gus Dur.
[dari dinding tetangga]

ALMAGHFULLAH KI AGENG TARUB


Makam Ki Ageng Tarup teletak 10 km sebelah timur kota Purwodadi. Sebagai obyek wisata spiritual, makam Ki Ageng Tarup ini sangat ramai dikunjungi oleh para peziarah dengan tujuan untuk mencari berkah agar permohonannya dikabulkan oleh Tuhan YME. Ki Ageng Tarup sendiri menurut cerita yang berkembang di masyarakat sekitar khususnya atau masyarakat Jawa umumnya, diakui pernah memiliki istri seorang bidadari yang keturunannya akhirnya menjadi orang besar di jawa salah satu keturunannya adalah Ki Ageng Selo.

Ki Ageng Selo adalah cikal bakal yang menurunkan raja - raja di tanah Jawa. Bahkan pemujaan kepada makam ki ageng selo sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja - raja Surakarta dan yogyakarta. Sebelum gerebeg mulud, utusan dari surakarta datang ke makam Ki Ageng Selo untuk mengambil api abadi yang selalu menyala di dalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja - raja Yogyakarta.

AL MUKAROM KI AGENG SELO




MAKAM KI AGENG SELO TELETAK DI DESA SELO, KECAMATAN TAWANG HARJO 10 KM SEBELAH TIMUR KOTA PURWODADI. SEBAGAI OBYEK WISATA SPIRITUAL, MAKAM KI AGENG SELO INI SANGAT RAMAI DIKUNJUNGI OLEH PARA PESIARAH PADA MALAM JUM'AT, DENGAN TUJUAN UNTUK MENCARI BERKAH AGAR PERMOHONANNYA DIKABULKAN OLEH TUHAN YME. KI AGENG SELO SENDIRI MENURUT CERITA YANG BERKEMBANG DI MASYARAKAT SEKITAR KHUSUSNYA ATAU MASYARAKAT JAWA UMUMNYA, DIAKUI MEMILIKI KESAKTIAN YANG SANGAT LUAR BIASA SAMPAI - SAMPAI DENGAN KESAKTIANNYA IA DAPAT MENANGKAP PETIR.

KI AGENG SELO DIPERCAYA OLEH MASYARAKAT JAWA SEBAGAI CIKAL BAKAL YANG MENURUNKAN RAJA - RAJA DI TANAH JAWA. BAHKAN PEMUJAAN KEPADA MAKAM KI AGENG SELO SAMPAI SEKARANG MASIH DITRADISIKAN OLEH RAJA - RAJA SURAKARTA DAN YOGYAKARTA. SEBELUM GEREBEG MULUD, UTUSAN DARI SURAKARTA DATANG KE MAKAM KI AGENG SELA UNTUK MENGAMBIL API ABADI YANG SELALU MENYALA DI DALAM MAKAM TERSEBUT. BEGITU PULA TRADISI YANG DILAKUKAN OLEH RAJA - RAJA YOGYAKARTA. API DARI SELA DIANGGAP SEBAGAI API KERAMAT


Cerita Ki Ageng Selo merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja - raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Selo atau Kyai Ageng Ngabdurahman Selo, dimana sekarang makamnya terdapat di desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Dati II Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).

Menurut cerita dalam babad tanah Jawi (Meinama, 1905; Al - thoff, 1941), Ki Ageng Selo adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki - laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kawin dengan Ki Ageng Ngerang.

Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu : Ki Ageng Selo, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya .

Kesukaan Ki Ageng Selo adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi - bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Selo mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng Selolu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja - raja besar yang menguasai seluruh Jawa .

Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Selo dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. ( Altholif : 35 - 36 ) .

Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Selo untuk dapat menurunkan raja - raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng Selo berkata :

Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ). Suatu ketika Ki Ageng Selo ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Selo dapat membunuh banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya : Selo. Selanjutnya cerita tentang Ki Ageng Selo menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad sebagai berikut :

Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Selo pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Selo tetap enak - enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “ bledheg “ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek - kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.

Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “ Bende “ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “ Bende “ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.

Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Selo sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “ kesrimpet “ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Selo menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .

… Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun - turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).

Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Selo mempunyai putra tujuh orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki - laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kawin dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama - sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka Tingkir ). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. ( M. Atmodarminto, 1955 : 1222 ) .

Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Selo adalah nenek moyang raja - raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Selo sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja - raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum Garabeo Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Selo untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja - raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat .

Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai arak - arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing - masing. Menurut Shrieke ( II : 53), api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar “. Bahkan data - data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja - raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang .

Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa - sisa bekas kraton tua ( Reffles, 1817 : 5 ). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi .

Sebutan “ Selo “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber - sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut .

Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa makam - makam keramat di desa Selo daerah Sukawati, akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk pemeliharaannya. ( Graaf, 3,1985 : II ). Daerah enclave Selo dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam - makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata - rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah.
[dARI DINDING SEBELAH]