Ahlan Wasahlan Sugeng Rawuh ....

"SELURUH DUNIA ADALAH PESANTRENKU" demikian fatwa Sunan Kalijaga, 600 tahun yang lalu. Sabda pangandika ini mengisyaratkan bahwa tugas dakwah adalah ke seluruh alam tanpa batas. Maka Pesantren Khusnul Khatimah, nyendikani dawuh ini dengan mengirim ratusan santri, kyai, ulama, ustadz ke seluruh penjuru dunia untuk terus mengabarkan ketauhidan Allah SWT.

Zakat Mal, Sumbangan, Infak dan Sedekah Anda
akan kami salurkan untuk membantu program dakwah ke pelosok-pelosok nusantara.

Rabu, 16 Juni 2010

SUNAN BUNGKUL DI AMPEL


Mbah Bungkul yang makamnya berada di komplek Taman Bungkul menyimpan misteri kesejarahan yang tak mudah diungkap. Sebuah hikayat menyebutkan Mbah Bungkul atau Sunan Bungkul adalah Empu Supa, seorang tokoh masyarakat dan agama pada masa kerajaan Majapahit di abad 15.

Ia adalah tetua desa Bungkul, yang sekitar 600 tahun silam pernah disinggahi Raden Rahmat atau Sunan Ampel kala menempuh perjalanan dari Trowulan Majapahit menuju Kalimas di Ampel Denta. Ki Supa kemudian memeluk agama Islam dan berganti julukan menjadi Ki Ageng Mahmudin. Karena menghuni desa Bungkul, Ki Supa akhirnya lebih dikenal dengan Sunan Bungkul.

Ikatan kedua sunan itu pun berlanjut hingga kemudian Sunan Bungkul menjadi mertua Raden Rahmat. Karena ikatan itu pula, upaya Sunan Ampel menyebarkan agama Islam menjadi lebih cepat berkembang, terutama di wilayah Surabaya Selatan.

Mbah Bungkul pun kini diyakini sebagai salah satu wali besar di Surabaya. Peziarah yang berkunjung ke makam Ampel pasti akan berkunjung pula ke komplek makam yang berada di Jalan Progo ini.

Anggapan lain meyakini bahwa Mbah Bungkul dapat dikategorikan sebagai wali lokal, seperti konsep sejarawan Sartono Kartodirdjo dengan sebutan tokoh Islamisasi tingkat lokal. Keberadaan Mbah Bungkul sejajar dengan Syeh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Tembayat (Klaten), Ki Ageng Gribig (Klaten), Sunan Panggung (Tegal), Sunan Prapen (Gresik), dan wali lokal lainnya yang banyak tersebar di berbagai kota. Makam Mbah Bungkul pun terasa sunyi di antara ingar-bingar warga kota yang terus meramaikan taman Bungkul setiap saatnya.

[Dikerek dari Dinding Sebelah]

Jika Kamu ke Surabaya jangan lupa mampir ke Taman Bungkul Surabaya yaitu tempat makam mbah bungkul mertua dari sunan Ampel ………………………

Di tengah giatnya Pemerintah Kota Surabaya melaksanakan program penghijauan kota terdapat berita tentang rencana membangun Taman Bungkul menjadi sebuah taman kota. Mencermati rencana itu, ada sedikit catatan yang perlu diperhatikan mengingat Taman Bungkul adalah salah satu ruang terbuka hijau dan artefak cagar budaya.

Keberadaan pepohonan rindang dan rerumputan yang menghijau di tengah kota, termasuk Taman Bungkul, memiliki manfaat besar, baik bagi lingkungan alam maupun lingkungan sosial di sekitarnya. ruang terbuka hijau (RTH) adalah paru-paru kota yang bisa mereduksi polusi udara dan menjadi peresapan air hujan (Ecoton, 2003).

Menurut Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemkot Surabaya Tri Rismaharani, rencananya taman kota itu akan dilengkapi fasilitas untuk skateboard, jogging track, dan air mancur (Berita Kota, 8/5). Berdasarkan itu, ada kemungkinan pepohonan rindang dan hamparan rumput yang kini menghijau di Taman Bungkul akan tinggal kenangan. Hal itu bisa memperparah ketidakseimbangan lingkungan dan menghilangkan fungsi pereduksi polusi udara dan penyerap air. Oleh karena itu akan lebih arif bila rencana pembangunan taman kota tetap mempertimbangkan fakta minimnya RTH Kota Surabaya.

Padahal, sejak zaman kolonial keberadaan Taman Bungkul dipertahankan pemkot. Lokasi Taman Bungkul yang berada di tengah kompleks perumahan warga Belanda bisa dimaknakan sebagai penghormatan para perencana tata kota kala itu terhadap keberadaannya. Kemewahan kawasan Darmo Boulevard tidak sampai menggusur makam dan Taman Bungkul, bahkan lahan hijau itu dinamai Boengkoel Park (Soerabaja 1900-1950, Asia Maior: 2004).

Sebagai ruang publik, Taman Bungkul tidak pernah sepi dari kegiatan yang bersifat duniawi maupun ukhrowi. Banyak peziarah, baik dari Kota Surabaya maupun daerah lain seperti Kediri, Banyuwangi, Gresik, dan Lamongan, yang berkunjung secara berombongan hingga tiga bus – empat bus (Kompas, 24/4/1999). Pada musim kampanye pemilihan umum, taman itu sangat fungsional untuk rapat umum partai-partai politik. Pada hari-hari biasa pun taman tidak pernah sepi dari kegiatan sosial maupun budaya/seni. Banyak penjaja makanan dan pedagang kaki lima di sekitar Taman Bungkul yang diuntungkan para pengunjung.

Melihat besarnya anggaran-menurut Wali Kota Surabaya Bambang DH sebesar Rp 1,3 miliar-dan fasilitas pendukung yang akan dibangun, ada kemungkinan arah pembangunan Taman Bungkul menjadi suatu tempat komersial. Pembangunan demikian hanya memfasilitasi sekelompok masyarakat. Boleh jadi nanti Taman Bungkul hanya dikunjungi mereka punya banyak uang. Adapun pedagang kecil dilarang berjualan di situ.

Ada kemungkinan pula para peziarah terbebani biaya tinggi, mahalnya karcis masuk taman, dan sulitnya mencari kedai makanan murah. Para peziarah akan enggan berkunjung karena kapok dengan biaya tinggi.

Dari pertimbangan aspek kesejarahan Taman Bungkul, awalnya taman ini terbangun karena keberadaan makam tokoh sejarah seperti Ratu Kamboja, Ratu Campa, Tumenggung Jayengrono, dan Ki Ageng Supo atau Empu Supo. Tokoh terakhir adalah tokoh masyarakat/agama pada masa kerajaan Majapahit (abad XV), yang juga mertua Raden Rahmat atau Su-nan Ampel (Kompas, 27/4/ 2002). Berkat hubungan baiknya dengan Ki Supo, upaya Sunan Ampel menyebarkan agama Islam menjadi lebih sukses. Ki Supo mendapat gelar Sunan Bungkul atau Mbah Bungkul. Boleh jadi Mbah Bungkul dapat dikategorikan sebagai wali lokal, suatu konsep sejarawan UGM Sartono Kartodirdjo untuk menyebut tokoh Islamisasi tingkat lokal. Keberadaan dia sejajar dengan Syeh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Tembayat (Klaten), Ki Ageng Gribig (Klaten), Sunan Panggung (Tegal), Sunan Prapen (Gresik), dan wali lokal yang lain. Dalam kaitan dengan desain model taman kota, selayaknya pembangunan Taman Bungkul memerhatikan aspek kemudahan, keamanan, kenyamanan, dan kekhusyukan para peziarah yang berkunjung ke makam Mbah Bungkul. Manakala taman kota yang baru ternyata tidak akomodatif terhadap para peziarah, hal itu bisa dikatakan sebagai pembangunan ahistoris. Ini artinya memutus “benang merah” sejarah Taman Bungkul.

Oleh karena itu, Taman Bungkul diharapkan akan dibangun menjadi taman kota yang ideal. Ini dalam arti tetap memiliki dimensi keseimbangan lingkungan hidup (ekosistem), multifungsi, dan accessible.

Sukaryanto Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar