Sambilegi Baru Maguwo Yogyakarta. Dakwah Bil Hikmah ke Seluruh Nusantara, Ziarah & Rihlah, Umroh & Haji, Kajian Kitab Kuning, Pengajian Rutin, Lomba Sedekah.... PENDAFTARAN PROGRAM melalui Telepon 0852 9255 9801 [Kartono Ardyas], 0817 0414 198 [Dadang], 0274-6688342 (Jacky Tambi), 0815 7886 8043 [Sujud Mulia].
Ahlan Wasahlan Sugeng Rawuh ....
"SELURUH DUNIA ADALAH PESANTRENKU" demikian fatwa Sunan Kalijaga, 600 tahun yang lalu. Sabda pangandika ini mengisyaratkan bahwa tugas dakwah adalah ke seluruh alam tanpa batas. Maka Pesantren Khusnul Khatimah, nyendikani dawuh ini dengan mengirim ratusan santri, kyai, ulama, ustadz ke seluruh penjuru dunia untuk terus mengabarkan ketauhidan Allah SWT.
Zakat Mal, Sumbangan, Infak dan Sedekah Anda akan kami salurkan untuk membantu program dakwah ke pelosok-pelosok nusantara.
Zakat Mal, Sumbangan, Infak dan Sedekah Anda akan kami salurkan untuk membantu program dakwah ke pelosok-pelosok nusantara.
Sabtu, 22 Mei 2010
MAKAM SYEKH MAGHRIBI TROWULAN
Makam Troloyo merupakan salah satu Makam Islam kuno yang ada di pulau Jawa. Jika dilihat dari sejarahnya, Makam Troloyo sudah ada sejak abad ke XIV M. Dari Makam Troloyo membuktikan bahwa Islam sudah berkembang sejak masa kerajaan Majapahit. Artinya masyarakat Majapahit ketika itu sudah ada yang menganut agama Islam. Di sinilah keunikannya, bahwa kerajaan Majapahit yang berciri Hindu-Budha ternyata juga memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk memeluk agama yang sesuai dengan keyakinannya.
Dari kaitannya dengan sejarah masa Majapahit. Ternyata Makam Troloyo pun menjadi salah satu bukti awal penyebaran Islam di tanah Jawa. Khususnya daerah di pedalaman Jawa. Bahkan dari beberapa sumber lisan, ada yang menganggap bahwa Makam Troloyo merupakan sumber tertua tentang masuknya Islam. Terlepas dari benar atau tidaknya sumber ini, masih perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam. Serta dibandingkan juga dengan sumber-sumber yang lainnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa Makam Troloyo merupakan sumber sekaligus saksi sejarah tentang perkembangan Islam di tanah Jawa. Mengalami perkembangan sampai saat ini, hingga menjadi destination atau semacam tempat tujuan wisata bagi masyarakat. Terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Dengan pengembangan pariwisata, maka Makam Troloyo akan memberikan manfaat bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar. Yang perlu disadari adalah pengembangan pariwisata juga harus memperhatikan kaidah-kaidah dalam ilmu pengetahuan, khususnya bidang arkeologi dan sejarah. Sehingga pengembangan pariwisata tidak merusak atau menghilangkan keaslian peninggalan sejarah tersebut.
Demikian sejarah akan bermanfaat jika digunakan untuk motivasi membangun dan maju. Wallahua’lam bi as-shawaab
Pesanggrahan Madjapahit, Sabtu, 07 Maret 2009. 01.00 WIB.
Fendy Suhartanto, S.S.
HAJI AHMAD MUTAMAKIN
M. HARIWIJAYA
1. Kisah Haji Mutamakin
Inilah kisah Haji Mutamakin. Sebuah contoh baik kelakuan dan pikiran, terhadap penyanjung kelakuan yang mencederai, pada hati yang bersih yang menjadi sembarangan. Ajaran menuntun pada tindakan yang kurang, diikuti tanpa bukti, yang terbukti dari hati, pengikut-pengikutnya, yang telah menerima dan memuja penipuan.
Sejarah yang berkenaan dengan Haji Mutamakin, dari daerah Tuban yang telah membuka ilmu rahasia, dan menyiarkan rahasia ilmu hak, yang memegang teguh hakikat, sambil menolak Syariah, karena dia menolak hukum, pengetahuannya tentang hakikat menjadi tidak senonoh, membingungkan dan kacau, tabir yang menyembunyikan rhasia-rahasia itu telah dikuakkan, disewakan, dilubangi dan digulung, dan dengan begitu tersebarlah kekerasan di seluruh negeri, kelakuan tidak pantas.
Keberaniannya dalam kepercayaan tanpa kekangan, orang baik kehilangan martabatnya, seperti sihir kekuatan untuk mempengaruhi mereka. Keangkuhan bertambah, waktu ia dengan kasar meninggalkan hidup tapa, hatinya tidak ingat dan terburu-buru, Karena kecongkakannya, ia merasa diri utama dan telah dikuasai celaka. Akhirnya, raja telah diyakinkan dibujuk, untuk mencoba menyelesaikan masalah yang jadi sengketa. Sedangkan setan membawa sesaji, untuk orang terpelajar tanpa watak ini, yang menuntun masyarakatnya kesasar, yang kata-katanya kosong sama sekali, yang, hatinya lemah dan takut. Keahliannya dalam mengemukakan ilmu mistik, meliputi simpati banyak orang, sungguh keinginannya telah menyihir orang banyak. Pada mulanya hanyalah dalih, tapi kemudian telah menimbulkan kejahatan yang nyata, dan begitulah kelanjutannya ada pada setiap bibir, ada sebelas orang dianggap sebagai iblis, yang omongannya sembarangan, dan mereka ada dalam kemalangan terus menerus, demikianlah ada sejarah yang menjadi terkenal, tentang ulama jawa ini, yang hidup dalam zaman, yang mulia Sunan Prabu Mangkurat, Alasan orang-orang pada membicarakannya karena ia membahayakan, seluruh kaum ulama.
Wejangannya tentang ilmu mistik sesat, karena ia menyebut dirinya sama dengan Kekuasaan Kemauan Tuhan, yang menjadi perselisihan, dengan kukuh, keras dan kasar, ia menguraikan keyakinannya tanpa bisa dihentikan, yang berakibat adanya tuduh menuduh, dan ini menjadi sungguh-sungguh dan luar biasa, Pesisir Timur Jawa ada dalam kekacauan, dan di daerah Tuban Haji Mutamakin, menjadi musuh orang banyak.
Karena ia memperlakukan aturan Nabi dengan kasar, di Cebolek, desa Tuban, kelakuannya jadi kacau. Dia diserang dan dilawan, oleh para ulama dari daerah pesisir, yang berkata, “Janganlah merusak hukum, karena merupakan pendurhakaan terhadap raja. Sesungguhnya raja berwenang menghukum, karena ia adalah wakil orang besar di dunia Nabi, siapa membahayakan kekuaasaannya."
Tapi Haji Mutamakin tidak tergoyahkan, mantap dan berani, ia tidak lari dari bahaya, tapi berani menghadapi hukuman, dan banyak ulama datang, memberi nasihat, Malah ia tetap terus menternakkan anjing, dari Kudus sebanyak dua belas, yang terbesar, diberi nama Abdul Qahar.
Ia mempunyai empat anak anjing, pemimpinya, dinamai Qamarudin. Sangatlah angkuh, Haji Mutamakin, Para ulama setuju, bahwa masalah ini harus diteruskan, kepada Kanjeng Sinuwun, karena ia Mutamakin tidak mau dinasihati, ia telah memandang rendah negara.
Semua ulama daerah pesisir, mengirimkan surat edaran, kepada semua ulama, dari Pajang, Mataram, Kedu, Pagelen dan Mancanegara, bersama salinan suratnya, dalam anggapan mereka, kepecayaan yang dipegang teguh Cebolek, terletak pada tuntunanya menjadi yang sejati yaitu Muhammad, dan ia berani menghadapi hukuman. Pada waktu para ulama berangkat menuju ibukota, seluruh daerah pesisir ada dalam kebingungan, semua ulama mengambil bagian, Dari bagian Timur Jawa datang Kyai Busur, Ki Witana dari Suralaya, bersama Mas Sidasrema. Khatib Anom, pemimpin para ulama, dari daerah pesisir tiba di Kartasura, Sebelum pembicaraan mulai, penyakit sekonyong-konyong menimpa raja, Prabu Manrgkurat yang kemudian wafat, yang digantikan oleh puteranya, Ialah Raden Mas Prabayaksa, yang mengambil gelar Pangeran Adipati, dan menempati kedudukan ayahnya, Sejahtera keadaan kerajaan, dari Susuhunan yang dimakamkan di Lawiyan, Segera setelah penobatan, dilakukan, pengajuan perkara kepada raja.
Ulama dari daerah pesisir berkumpul kembali, semua dari mereka, tak ada yang ketiggalan, dan sebagaimana yang dari Pajang, Mataram, Pagelen, Mancanegara dan Kedu. Tak seorangpun yang dapat membaca Quran sedikit, diizinkan berangkat, semua berkumpul bersama, di kediaman Danurejan Rekyana Patih. Mereka membuat persiapan yang disampaikan disampaikan kepada raja, dengan persejuan para wadana.
Para wadana dari daerah pesisir dan Mancanegara, dan wadana Kartasura, yang sepenuhnya sepakat berkata, bahwa layak la dihukum, para ulama semua telah tiba, kayu bakar telah ditimbun dekat alun-alun utara, persembahan sangat melimpah, dan minyak kelapa dalam gentong, Pada saat akan dibakar Haji Mutamakin, di saat itu adalah wadana Jro yang mengetuai pengadilan, namanya Kanjeng Raden Demang Urawan, dan ia sepupu pertama raja, kakak perempuannya telah diambil, sebagai istri oleb raja, namanya Ratu Kencana, Demang Urawan, sangat dihormati oleh raja, Pada kesempatan ini diundang ke keraton, menghadap raja.
Sinuwun bersabda lirih, "Wahai; Bapang apakah, yang telah dikatakan pamanku, Perdana Menteri? Apakah para ulama Jawa berkumpul?", Kanjeng Raden Demang Urawan, segera menundukkan kepala dan berkata, "Benar mereka semua telah datang dan malahan telah diberitahu dengan baik, tentang bagian-bagian pembahasan yangbetul.
Mengenai ilmu mistik, Para ulama Jawa, yang telah berkumpul, jumlahnya adalah seratus dan, empat puluh dua saja, Semuanya telah dinilai, dan dibagi menjadi kelompok-kelompok, dan kelompok golongan rendah, sekelompok golongan unggul, terdiri dari empat puluh empat orang. Pilihan lanjut telah dibuat, empat puluh ditinggalkan, dari padanya, dua puluh dua telah dipilih, Yang terbaik darinya lalu dipilih, dan sekarang hanya tinggal tujuh, hanya lima dari daerah pesisir, empat ulama, datang dari Pajang, satu dari Mancanegara, satu dari Pagelen, yang akan menjadikan pesaan duka.
2. Ulama Mancanegara
Abdimu dari daerah Pajang ialah, seorang dari Majasem, Pengging, Kemasan berturut-turut, dan yang keempat dari Kedung Gede, ulama dari Mancanegara, hanya dari Pranaraga, dan dari Samalangu di Pagelen berturut turut, lima dari Abdimu berasal dari daerah pesisir, dua dari Surapringga, satu dari Gresik, dan dua dating dari Demak dan Kudus, mereka ini telah dipilih dengan hati-hati, dan dibawa keruang terpisah ada empat bupati, lima bersama uwa Danureja.
Kedua bupati pesisir ialah, Adipati Jayaningrat, dan Adipati Citrasoma, Dari daerah ini Wiraguna, dan hamba sendiri, Mereka telah ditempatkan di, tempat tinggal sementara di belakang, oleh uwa Danureja. Lalu semua mereka diberitahu, tentang sifat rahasia dari tekad semacam ini, dan tentang batas-batas mengenai pendapat mereka, Sembilan dari mereka setuju sepenuhnya untuk menerima batas-batas ini, tapi dua orang menentangnya, Mutamakin Kanjeng Sinuwun, kukuh teguh tak mau mundur
Di antara abdi-abdimu dari Pajang, Panjenengan Dalem, salah satu telah dipengaruhi, ulama dari Kedung Gede, telah ikut dengan Mutamakin dan mengajukan dirinya untuk dibakar, menerima hukumanmu, Dia menjadi pengikut Cebolek, dan keduanya sekarang satu tujuan menyatakan menjadi yang Sejati yaitu Mutamakin, Karena itulah pamanku perdana menteri, mengajukan masalahnya ke hadapan kemauan Panjenengan Dalem". Ingkang Sinuwun seraya berkata, "Bapang dari manakah gurunya, Haji Cebolek ini, yang berarti yang berani menghadapi maut?"
Raden Demang berkata hormat, "Panjenengan Dalem waktu utusan-utusanmu, kembali, waktu mereka yang mengundang dan mengawani dia, berjalan tergesa-gesa, mereka adalah Gentong Umos Kanjeng Sinuwun, bersama Ragapita. Benarlah Haji Mutamakin, Panjenengan Dalem, waktu dalam perjalanan, telah dilarang, bahwa ia akan menghadap bencana, dari Paduka Maharaja, tetapi ia tidak mau mundur sedikitpun, ia menerima kemauanmu dengan sepenuh hatinya."
Sinuwun bersabda, "Lalu bagaimana, waktu ia diperjalanan," kata-katanya kepada para utusan, Raden Demang berkata, "Panjenengan Dalem ia berkata begini, "Saya ucapkan terima kasih, kalau Raja menghukumku, putraku Ragapita, aku akan dikerubut para ulama, dan pansti akan dibakar, Mungkin bau asapku, akan menyebar sampai di tanah Arab, tempnt aku belajar, di bawah Syekh Zain dari Yaman."
"Waktu dia bermalam di sebuah pondokan, Panjenengan Dalem, setelah melaksanakan sembahyang Isa, ia tidak tidur, ia terus membaca Kusumawicitra danding, dari Serat Bima Suci, sebuah danding yang ber-pada dua belas setiap barisnya, seperti Maduretna yang juga dapat dimasukkan ke dalam Bramarawilasita, untuk dibuat merdu dan serasi, keduanya mempunyai sebelas pada setiap barisnya, dan dapat diubah menjadi Lebdajiwa, ia lalu membacanaya dengan menunduk dan membengkokkan badannya". Sinuwun bersabda lirih, "Wahai, Bapang, bagaimana ini yang kau bicarakan tentang ilmu rahasia, sepertinya mengikuti cara seorang Budha, Bapang apakah gunanya itu, merupakan penghinaan kepada Tuhan bila orang menjadi sesat.” Raden Demang berkata, "Panjenengan Dalem, ini bukanlah suatu keburukan, menurut ajaran hak, karena itu hanya dibuat lambing, dan bukan sebagai kepercayaan, Lambang ini telah dipergunakan oleh, banyak wali, dan melalui lambangn ini kesejatian telah dibukakan, Ia mulai langsung dengan episode, walau Bima mencebur ke dalam lautan.
Tanpa memperdulikan rasa sakit ia mencari, guru di tengah samudera, siap untuk mati, kalau ia tidak dapat menemukanya, Ia bermaksud mati di lautan, kalau ia tidak memperoleh Kesempurnaan, Waktu tiba di tengah lautan besar, Ia ditemui seorang Dewa kecil, sekecil seekor burung pipit, lalu dewa kecil Dewa Ruci memerintahkan dia, untuk memasuki kupingnya, dan Bima merasa heran sekali, Sejarah inilah yang menjadi, petunjuk untuk perbuatan, Mutamakin dalam pejalanan
Tersenyum Sinuwun bersabda, "Wahai, apa pendapatmu, bahwa Perdana Menteri, dan para wadana, semua setuju Mutamakin supaya langsung dihukum, di alun-alunku. Kebenaran mengntakan padaku, Jangan mau menuruti nasihat pamanku Perdana Menteri. Semua para ulama, dan para wadana, dalam pandanganku, Bapang, dia Mutamakin memaksudkan hanya untuk dirinya, ilmu semacam ini, Kalau ia tidak mengajak orang lain membuat perubahan di sana-sini, orang-orang dari mancapat dan mancalima, dari manca-nem dan mancapitu, dan semua dengan berhasil telah diajak untuk menolak Hukuman, dia tidak dapat dihukum mati, kalau ia hanya berkata, Tirulah ilmu Mistikku.
Dan banyak yang telah menjadi muridnya, dan kalaupun ia tidak bertindak dengan cara ini tapi berbuat lebih buruk lagi, saya tetap harus memaafkannya.” Raden Demang berkata, "Betul sekali Panjenengan Dalem.” Bapang pergilah segera, sampaikan ketidaksenanganku kepada uwaku Perdana Menteri, juga kepada para ulama, bersama semua para wadana, sapaya semua berkumpul di Kepatihan, dan umumkan kepada mereka ketidaksenanganku, Lalu ia mengundurkan diri dengan taat dan hormat, ia meninggalkan istana dan memanggil dua pesuruh, yang taat diperintahnya untuk menyampaikan pesan, ke Kepatihan untuk mengumumkan bahwa, “Besok, aku akan ke tempat Danureja, akan datang pukul delapan, untuk menyampaikan perintah raja.
Para Adipati supaya berkumpul, di dalam Kepatihan, bersama semua ulama, Dengnn segera para pesuruh, menyampaikan seruhan tadi ke Kepatihan, tak disejarahkan tentang malam itu, tapi esok paginya Patih Danureja berkumpul dengan para Adipati, semua menghadap ke barat, Adipati Denureja, menghadap selatan, tapi sedikit miring ke barat menghormati, ulama terhormnt, yang telah duduk di sebelah barat.
Di sebelah timur para Adipati, semua menghadap ke barat, Adipati Danureja, menghadap ke selatan, tapi sedikit miring ke barat, para ulama terhormat, yang telah duduk di sebelah barat. Pada jam delapan waktunya datang; Kanjeng Raden Demang Urawan, semua yang sudah duduk, semuanya berdiri waktu Raden Demang telah mengambil tempatnya, semuanya kembali duduk, Ki Adipati Perdana Menteri juga duduk, sesaat dengan lainnya.
Sedangkan Raden Demang segera, mulai menyampaikan perintah raja, memang matanya begitu nyalang, sehingga semua Adipati menjadi takut, dan juga para ulama, Waktu perintah disampaikan, ketidasenangannya menggelisahkan. Setelah ketidakesenangan raja selesai disaampaikan, Adipati Danureja hanya dapat, berkata dua patah, dan setelah itu seraya berdiam diri, Para wadana menjadi, semua menundukkan kepala, dan bagi para ulama, semua pada mrinding, di bawnh pepengaruh muka raja, Mata Cebolek berkedip¬kedip, seperti orang sedang sekarat, Kini seorang yang berbicara, adalah Khatib Anom dari Kudus, yang menjndi marah laksana menjangan luka
Marahnya jadi memuncak, wataknya yang seperti singa muncul, belekatnya naik turun, laksana burung garuda, mengepak sayap di medan laga, seperti Pragalba si pahlawan, menuruti hatinya yang penuh emosi. Ia memandang ke kanan dan ke kiri, semua telah menundukkan kepalanya, semua rekan ulama-nya, bersama para Adipati, kepalanya pada menunduk, wajahnya pucat semua, Khatib Anom dari Kudus, mulai menunnjukkan marahnya.
Ketetapannya bertambah kuat, ditimpali keberaniannya, ia mengetatkan serbannya, menggulung lengan baju, dan bergerak maju dua langkah, Khatib Anom kini duduk, lebih maju dari lainnya. Tindak tanduknnya nampak angkuh tapi kata-katanya lemah lembut, seperti Raden Baliputra, waktu dia diutus, oleh raja Ramawijaya, untuk menyampaikan perinatan keras kepada Dasamuak, ia menimbulkan ketakjuban orang yang melihatnya, ia memang kelihatan tampan dan belia.
3. Demang Urawan
"Anakku, kuminta maaf, karena berani menyela pembicaraan, tentang ketidasenangan raja, yang ditujukan kepada Perdana Menteri, Semua salah alamat, penyampaian rasa kemarahan raja.” Kanjeng Raden Demang Urawan merasa kaget, dan segera balik memandang, ke wajah Khatib Anom yang sedang berbicara. Ia melihat muka dengan lengan berkecak pinggang, rambutnya berdiri lurus, sangat tebal dan berombak, Ia nampak seperti putera raja Langka, Indrajid, sang perwira, seperti orang yang ditikam dan bertarung, dengan seorang duta yang bernama Baliputra, yang waktu itu datang berperilaku angkuh, Khatib Anom dan Raden Demang bersilang kata-kata untuk sejenak, layaknya mereka sedang bergumul saling menekan, menguji kekuatannya, bertarung dengan gigih untuk, suatu kemenangan terhormat, Mereka menjadi marah menyala, memukul satu lainnya dan balik berputar, seperti bertempur di dalam perang, pembalasan mereka sanat keras dan tajam.
Akibatnya, para ulama, kembali mengangkat kepalanya, begitu juga para Adipati, mengangkat kepalanya tercengan waktu mendengar, Khatib Anom Kudus, yang tidak sepaham dengan Kanjeng Raden Demang Urawan, yang dengan marah berkata, Apakah yang ekngaku anggap tidak tepat sanat ketidaksenangan raja, disampaikan kepada si uwa, Perdanan Mentri?", Khatib Anom berkata, "Benar; anukku, dasar, dan pokok dari perkara tidaklah cukup, Alasan Perdana Menteri telah melaporkan diri, karena para ulama, semua dari mereka, telah melaporkan itu kepadanya si Perdana Menteri yang yang mulia.
Alasan bahwa si uwa, Perdana Menteri yang mulia, berani melaporkan ini, dikarenakan para ulama, berpendirian teguh dalam masalah itu, Seharusnya adalah sumbernya dari laporan, yang mesti dijewer oleh raja, dengan kata lain, sayalah, dan semun para ulama, mesti menerima kemarahan raja." Kanjeng Raden Demang Urawan tertawa terbahak –bahak, mengayun kakinya dan berkata, "Betapa senangnya hatiku, melihat seorang ulama yang melawan dengan gigih, yang berani sungguh-sungguh menghadapi kematian, tangkas dan bisa tegar, untuk berunding dan siap tempur, Kalau ia seekor ayam jantan mestilah ia berbulu merah dengan kaki hitam dengan ekor berbintik putih, yang bertanding laksana garuda.
Biarlah saya menjadi seorang, yang atas nama raja, menegurmu, Mengapakah, bahwa Anda, menyebabkan kekacauan pada negara, dengan membawa masalah ini pada raja, walaupun perkaranya belum sepenuhnya tuntas, dengan melaporkan kepada Perdana Menteri? Apakah menjadi maksudmu membawa ketakberuntungan kepada para ulama, menimbulkan kebingungan di kerajaan, dan membawa aib pada negara? Setelah ketaksenangan raja selesai disampaikan, Khatib Anom berkata lirih, "Saya sangat berterimakasih, dan menghormati, ketidaksenangan raja yang telah Anda sampaikan, tapi sebagaimana diketahui, tak satupun darikami para ulama, bermaksud atau merencanakan untuk mengganggunya Raja, Kalau ini tak sopan, malahan kami ingin, memeliharanya, ruhani dan jasmaniah, Rakyat kecil, sejauh mereka bisa, berkewajiban dalam kehidupan ini, untuk memperhatikan raja, sehingga dalam keadaan bahagian dan rahayu, ia dapat memerintah seluruh Jawa.
Tapi kita mencatat tingkah laku yang salah, bila ia telah mengambil arahnya, pastilah akan mendekat, untuk melanggar sosok dari kerajaan, Pastilah ia akan menyebar kemana –mana, walaupun, telah dilarang walau untuk, Mutamakin sendiri, Rakyat tanah Jawa, kalau mereka mendengar ilmu yang mudah, yang menjauhkan sembahyang Jumat, akan mengerubunginya dengan senang, secepatnya mereka dapat berlari.” Adipati Jayaningrat, tersenyum sambil menegok, kepada Ki Arya Mlayakusuma ia berkata, "Merupakan kejutan anak mantumu, berani bersengketa dan beda, tidak taut berselisih hadap-hadapan, berani menentang Kanjeng Raden Demang Urawan.
Kalau ia orang Jawa biasa, bagaimana ia dapat berucap kata, melihat Raden Demang, seperti malaikat Jibril, demikian pula bila ia merupakan orang dari Istana ia tidak akan berani.” Raden Mlakusuma, tersenyum dan berkata hati-hati, "Saya telah sering bertemuj dengannya Demang Urawan, lebih-¬lebih ia adalah keluarga dan sama-sama Wadana.
Akan- tetapi hatiku, gedebak –gedebuk kalau bertemu dengannya, seperti aku ini sedang memandang seekor macan, Demikianlah juga di pancaniti, pada saat menghadang raja hari Senin dan Hari Kamis, bersama pegawai tinggi, kalau ia Demang Urawan lewat, semua menjadi diam tak ada yang bergerak, juga bburung atau pohon. Rasanya ketakutan itu jatuh, dan semua cabang pohon beringin, Ia bukamn manusia biasa, pangkatnya sangat tinggi, saudaraku Mangkubumi, waktu ia di Purwalulut, dan bekerja di istana, tugas yang dibebankan kepadanya didatangi, dan diperiksa oleh sudaraku Raden Demang.
Walaupun ia hanya berhenti sejenak kalau lemat, kesan yang ditinghga;lkannya menakutkan, dan hati Mangkubumi bergedebug, dan lalu saudariku Mangkubumi, datang padaku dan, mensejarahkan kejadiannya dengan gugup, ketakutannya belum hilang, detak jantungnya tetap terlihat, ia gemetar dan gagap. Saya berkata dengan sendagurau, kepada saudaraku Mangkubumi, "Engkau adalah sama seperti saya, takut kepada adikmu, padahal ia tidak mungkin berani, menghukum seorang kakak.” la Mangkubumi menjawab sambil menakankan tangan pada dadanya, "Tak ada alas an tentang hal ini; adikku, siapa yang tidak takut kepada adikku Demang?
Mlayakusuma adikku, Saya tidak mengharapkan, saya tidak pernah memimpikannya, Walau adikku Demang Urawan memeriksa, pekerjaanku, saya takut, saya kira ra akan marah kepadaku, demikianlah adikku perasaanku, Yang lain ada di Iuar, untungnya ia tidak terhenti lama, tapi hanya lewat." "Saudaraku Mangkubumi, lebih tua darinya Demang Urawan, ia bukan keluarga biasa, betul ia seorang yang penting, namun demikian ia sangat takut, kepada Demang Urawan, Ia, Demang Urawan, pastilah dianugerahi suatu kedudukan yang sangat tinggi, hanyalah orang dari Kudus ini berani menentang dia.
Kalau sekarang ia Demang Urawan tidak menjadi marah, Khatib Anom jelaslah luar biasa, seperti memeluk macan, kalau ia berani membantah Demang Urawan, Mereka telah menyerang satu dengan yang lainnya dengan ganas, mereka saling mendorong untuk memukul, sepertimacan saling bergumul, namun Khatib Anom tetap tidak takut, walaupun terhadap geraman Kanjeng Raden Demang Urawan. Khatib Anom berkata, Putraku jika engkau, punya kritik padaku, karena tidak menegur Haji Mutamakin, silakan Tanya dia ia ada di depanku, Saya sering mendatanginya, mengingtkan putraku tingkah lakunya yang tidak patut
Saya minta jawabmu, hai Mutamakin, mumpung di depan pejabat, saat nyawamu hampir melayang, Kyai Cebolek menjawab, matanya berkedik seperti ngantuk, Betul sekali anakku, Panjenengan datang dan menegurnya hanya walau aku menghadapi maut aku tak akan lari. Karena kebodohanku, tak berniat berguru terus, aku menghadapi maut yang bukan waktunya,. Aku akan mampuberusaha menambah ilmu hatiku terus memperoleh kenyataan ini.” Khatib Anom berkata murka, “ Lha pikiran macam apa itu, membikin sengsara dan menyakitkan ada anjing diberi nama Abdul Kahar?
Anakku, ditujukan kepada Demang Urawan ia punya seekor anjing dinamai Qamarudin dan satu lagi Abdul Kahar. Terbelalak semua yang mendengarkan juga Raden Demang kakinya diayunkan dan tertawa terbahak-bahak. Khatib Anom Kudus berkata lantang. “Kamu ini memangbusuk dengan lancing membuat onar negara”. Kalo kamu mau terkenal tingkah lakumu danbermaksud menjdihebat jangn tanggung-tanggtung bertingkah.Pindahkan GunungMerapi dan juga Prawata tumpangkanlah di atas Gunung Lawu dan genggamlah di tangan kiri. Appaun yangkaulakukan jangan tanggung-tanggung, jangan mengindahkan jiwa ragmu.
Khatib Anom berkata dengan keras dihadapan Mutamakin, “Anjingnya diberinama sama seprti penghulu Tuban, Abdul Kahar, anjing yanglain diberi nama seperti khatib Qamarudin, Panjenengan Dalem. Sesungguhnya Mutamakin itu bukanlah manusia ia telah menghina raja, dan melukai karena sesungguhnya perilakunya Nauzubillah. Anakku, itulah sebabanya aku merasa wajib melapor kepada uwa Patih Adipati Danureja, supaya menjadi perhatiannya dan meneruskan hal itu kepada raja. Karena sesungguhnya yangmenjadi raja kalauia ingkar dari setiap Sunnah Nabi menjadikan sari pati syara tak dihargai dan dirusak.
Wahai ankku diberitakn dalam kitab bernama Akhbaru al-Saltin, Raja digambarkan sebagai pembela iman. Bila seseorangmenyebarkan ajaran mistik dan menyebabkan ganguan untuk memperoleh pengikut dan kalau ini terjadikarenaraj tidak menjagasunnahNabi, pancam kurni awajahnya pasti lenyap. Wahaiputraku apbila seorng raja kurnia pancran wajahnya susut,keharuman kerajaannya pastilenyap yangterjadi hanyalah tengik dan kaku danakibatnya kegelapan akan turun ke bumi dan bau busuk terusmenyebar. Kenapa tidak memasang penjaga dikerajaan Sang Narpati? Sesungguhnyalah anakku, raja adalah hati jagad.
Hati adalah raja di dalam badan karena itu, putraku merupakan perumpamaan. Sesungguhnya setiap mahluk hidup harus menajaga kebaikan dari hatinya. Karena itu, setiap manusia hidup wajaib menjagaraja tentangsemua yang diketahuinya di kerajaan. Karya raja seperti hati menggerakkan badan. Kesalahan raja dipikul oleh orang-orang di bumi karena raja adalah hatinya jagad, badanrusakbila hatinya merana. Dan bila hati yangmerana tidak diobati makarja yang disalahkan.” Raden DemangUrawan merangkap kedua tangannya dan melepaskan kerisnya berkata ke arah Ki Adipati Danurejan.
“Uwa Patih, saya telah kalah, Si Khatib Anom Kudus merupakan lawan yang berat, mamapu mengelak dan pitar menyerang cepat dan tepat. Sekarangmarilah kita mengganti pembicaraan, kemarahan raj atelah disampaikan kepad auwa waktu tadi, telah dicegah oleh Khatib Anom Kudus, ia menempuh perang panji-panjinya dan unggul. Ia gagah tak dapat didesak,cepattanpa banyak bicara, serangannya tidak teledor, ia menang tapi tidak menindas, ia menyenangkan dan langsung. Ia memukul keras tapi tidak buas, kegemilangan dalam siasat perang, ia ahli dalam menjaga emosi dan menjlaskan arti khatib tanpa berbelit-belit.
Ia menembus arti buku,ia membuat tis ngupiyaiti? Kalau tidak bisa, ia terus berusaha tidakmengindahkan orang-orang disekelilingnya. Kalau ditekan keras, iamendekat, kalaudibawah angin, ia akan lari. Sungguh sangat gawat melawan orang Kudus ini, aku telahditundukkannya dn bermandi keringat Raden Mlayakusuma berkatahormat, “KakangMas, bayarlah wang taruhanmu sayalah pemenangnya. Waktu perkelahian mulai pegangannya 2 lawan 1. Sekarang Panjenengan telahkalah pegangnnya menjadi lawan 10 lawan 1. Para Wedana tertawa terbahk-bahak terbebas dari rasa susahnya. Para ulama lambat-lambat mulai berseri sebentuk sinar merah tumbuh sayup-sayup menjadi nyata dalam diri mereka yang menjadi sinar mereka memandang gelisah dan bimang lalu sekonyong-konyong dating pada perasaan mereka, bergerak, mereka menjadi lega dan juga pembesar-pembesar keraton. Sinar terang muncul yang menyorot ke mana-mana hati mereka telah terbebas dari kecemasan.
Rahden Demang Urawan membalik dan berkata, “Dimas Mlayakusuma, akau tak pernahmemimpikan dating ke sisni menemui tentangan pamanku pataih. Saya dating dengan tegak, namun saya akan pulang dengan menunduk uwaku Patih sekarang saya akan melapor Seri Kanjeng Sinuwun dan semua harus menyertaiku.”
4. Khatib Anom Kudus
Mereka bersama-sama kembali dari tempat Danurejo, sedangkan Kanjeng Raden Demang Urawan uatusan raja yang berkuasa tak ada yang disejarahkan mengenai perjalanannya. Setelah ia tiba di istana dan menghadap Sang Prabu, Kanjeng Raden Demang Urawan berkata dengan penuh hormat, mensejarahkan tugasnya sebagai utusan dari wal sampai akhir,” hamba lega seorang telah membela pammanku Patih, dengan mempertaruhkan hidupnya. Khatib Anom Kudus mampu menilai setiap masalah,demikian pula hamba telah ditundukkan dalam mencari putusan yang baik. Ia cepat namun tak menyinggung luas namun tak berbelit-belit. Dia tangguh dan berani, semua yang dilakukannya ia sangat sempurna seperti adu ayam abdi-abdimu para bupati, waktu pertandingan mulai bertaruh 2 lawan 1 terhdap hamba.
Dan seketika mereka menjadikannya 10 lawan 1 hamba tak punya kesempatan memukul ia. Bila hamba menyerang dari kiri ia menggitik ke arah kanan, bila diserang dari kanan, ia menggitik driarah kiri. Pukulannya laksana geledek, kalauia meninju mukaku hamaba jatuh pingsan. Satu pukulandarinya amatlah tepat dan membuat gentar seluruh negeri. Ingkang Sinuwun berkata lirih. Kalau begitu sejarahkanlah tentang hal itu.” Kanjeng Raden Demang Urawan berkata hormat
“Hamba melindungimu, Panjenengan Dalem terhadap Haji mutamakin.Lalu ia Khatib Anom Kudusmemandang dan dengan gagah sedangkan mulutnya bergetar, matanya bersinar dan ia penuh keberanian hamba telah digetarkan oleh pengelihatannya. Ia berkata murka, “ Panjenengan anakku, telah mengahargai kelakuan semacam itu dari Haji mutamakin dan kalau demikian halnya, Panjenengan putraku tlah merusak negara.
Karena menjadi tugas raja, melindungi Sunnah Nabi.Kalau seorang raja menolak Sunnah Nabi,keindahan wajahnya akan lenyap dan dia akan membuat suram negara. pastilah negara akan runtuh. Kalau wajah raj ahilang jelita, semua tindakannya hanyalah berupa kepahitan dan penderitaan.” Ingkang Sinuwun tertawa terbahak-bahak, dan pikirannya pad adirinya si Kudus ini merupakan orang yangberbahaya yang menceroitakan sbelum menyelesaikan sejarahnya tapi rajamenolak dalam tawanya dan berkata, kalau demikian, Bapang marilah kita jalankan ajaran islam. Saya berniat menghadiri sembahyang Jumat,beritahu si uwa Patih.
Persiapanuntukku terancang di dalam masjid. Jumat depan aku akan hadir bila disepakati si uwa Patih. Karena merupakan kebiasaan lama shalat pertama raja haruslah di masjid. Kanjeng Sinuwun terus berkata, “Bapang, ingat aku sekarang biar kurenungkan sebentar, beberapa waktu silam akuingat seseorang berkata kepadaku di hadapanku. Ia menyebut seorang dari Kudus, pada waktu itu ia memanggilAdipati jayaningrat bersama si uwa Putih, ketiga si Cakraningrat, semua mereka di hadapanku. Waktu itu telah kuundang rombongan wayang wong jayaningrat untuk dating beserta si Juru ukir. Begitulah kami undang dia pada waktu itu bersama s I Cakraningrat, waktu masih belum ada penari gambuh.
jayaningrat yangberkata berguyon di hadapanku, “Panjenengan Dalem setiap kali sampean dalam menghendaki penari gambuh dan ringgit-tiyang selalu ada saja yang kurang. Dan itu adalah alat rebana Tuuanku, “ Aku tertawa terbahak-bahak danberkata “hai Adipati, apakah ada rebana dimainkan untukmengiringi pertunjukan wayang? Aku piker tidak bisa.” Adipati berkata, “Sesungguhnyalah Bupati Kudus mempunyai seorang menantu santri yangnamanya Khatib Anom Kudus yang pertama kali tampil dengan terbang Gusti.” Lalu akau jadi tertawa, kukira ia sedang berkelekar.
Malah Adipati Jayaningrat berkata padaku bahwa dia Khatib Anom Kudus selain dalang ia juga pemain wayang dan si Khatib Anom sendiri telah membawa peran Wong Agung Menak Amir hamzah seorang pahlawan dan orang gagah berani di bumi. Jadi akau ingin mengundang dia tapi Cakraningrat mencegahku dengan berkata, “janganlah mengadakan pertunjukan Panjenengan Dalem, yangmembawa kerabat Rasululla karena ini berarti menolak contohmereka.
Benar sebelum nya ayah hamba, abdimu telah dilarang menampilkan rebana bersama lelakon Menak, di Madura tidak diperkenankan, sejarah-sejarah tentangMuhammad dan Mursada, Sapingi dan Asmarasupi. Tidak boleh masuk di dalam lelakon. Karena pertunjukan terbang Madura, Gusti, sejarahnya dibacakan dari buku, yang ini tidak dilarang benar ayah hamba, abdimu, mewarisi kitab itu dari Mataram. Itulah sebabnya kubulatkan undanganku, dan sekarang Khatib Anom Kudus berani menanggung akibatnya. Demang Urawan berkata hormat,”Benar ia bermurah hati.”Berkata Sri Narpati
“Dasar ia itu pemberani, tapi agak busuk, namun sebusuk-busuknya seorang satria, dibanding dengan petugas istana, tetap masih unggul santri, karena wibawa petugas Allah sesungguhnya orang semacam itu hanyalah satu dalam seribu. Apakah penampilannya baik ?” Raden Demangberkata hormat,” Benar bagus, dan gagah. Badannya kuat dan tegap ia pantas menjadi putra dari raja Wirata. Arya Seta sang Senapati. Kalau saja ia bukan dari golongan agama, ia pantas jadi panglima,pemimpin dalam pertempuran dan penghancur musuh yang sakti. Menurut ilmu wirasat ia adalah orang yang mampu. Seperti Pragalba, ia adalah seorang juara. Angkuh diluar angkuh di dalam. Seorang congkak dan suka tega. Ia berani berkelahi berhadap-hadapan ia pantas memerintah tentara di medan perang, itu akan cocok baginya.
Siasatnya hebat dan berani dengan senjata yang sangat tajam, yaitu makara byuha dan barisan yang berbentuk garuda bentuk-bentuk semacam itu adalah cocok untuk ada di bawah perintah Sang Prabu berkata lagi, “ Tentang si Haji Mutamakin, rupanya seperti apa? Kanjeng Raden Demang Urawan berkata humor,” Ia seperti Wisangkata seorang calon pertapa dan kelakuannya seperti Trenggiling lagi sekarat. Tak ada yang perlu dikatakan tentang penampilannya yang sangat dungu seperti kelapa dandang. Ia nglumpruk kalau duduk, dalam satu pertemuan ia seperti layaknya kena kutuk. Tapi dia itu mantab satu sifat yang hamba tidaksangka juga diantar kelompoknya ia itu tanpa guna hamba merasa heran atas kemauan sang Suksma Agung orang seperti itu dapat menjadi Haji ia telah dianugerahi memenuhi rukun yang kelima dan diberi kesempatan mengunjungi makam Nabi, Nabi terbesar di jagad ini. Kalau ia tidak pergi naik haji. Ia pantas menjadi penjual jerami atau berdagang itik.”
Sang Prabu senyum berkata;” Itulah, Bapang, telah menjadi suratan, ia diciptakan dengan tampang dungu tapi diberi hati yang suci untuk menjadi petugas suksma ia telah ditakdirkan memilih hati suci. Raden Demang Urawan berkata takzim, ”karena itulah, Panjenengan Dalem pada kesempatan ini manusia kecil dan hina ini telah dituduh berkali-kali, sperti orang yangmemiliki beban setengah mati memnjat sebuah tebing, ia terlihat kembang kempis. Marahnya Khatib Anom seperti marahnya Baladewa memarahi Cumuris, demikianlah wajah Mutamakin seperti Cumuris. Kalau saj sengketa itu terjadi di luar, Cebolek akan habis terkoyak-koyak. Oleh Khatib Anom Kudus. Ia sangat marah karena seekor anjing Mutamakin dinamai Qamarudin danyang lainnya Abdul Kahar.karenanya ia dipenuhi rasa amarah.
Seperti ingin menikam mati. Haji Ahmad Mutamakin.” Seorang raja tersenyum berkata, “Bapang keinginanku, semua yang telah dibicarakan disampaikan kepada di uwa Putih. Kubatalkan perintahku tak ada pembicaraan lanjutan aku telahmemaafkan terdakwa. Kalau Haji Ahmad Mutamakin mengulangi tingkah lakunya yang tidak patut di bumi ini. Pastilah dia akan kuhukum, Haji Mutamakin ini. Aku akan jadikan dia sasam kemarahan di alun-alunku ini. Tapi inilah pengampunanku yang kuminta Panjenengan telah melaksankannya. Perintahku selanjutnya untuk diteruskan kepada si uwa Patih, kepada semua sanak kadangku, perintahku untuk diumumkan secar luas.
Tak seorangpun boleh belajar, Ilmu Hak di dalam masjid. Tapi mengajarkan di luar negara kuberikan ijinku. Kalau ada yang berani mengkhianati perintahku. Tak ada tempat untukmempertanyakan dosa. Akan kulaksanakan hukuman mati yang telah kutetapkan di alun-alun sehingga boleh disaksikan orang-orang Kartasura Adiningrat. Laksanakanlah undang-undang ini. Di dalamnya ada larangan-laranganku. Selanjutnya si uwa Patih harus mencaridanmengundang para ulama sesungguhnya aku tidak membatasi jumlahny sehingga banyak yang boleh dikumpulkan. Lalu setiap orang harus mempersiapkan. Tempat untuk sembahyang Jumat, setelah itu masing-masing akan diberi sebidang tanah. Tergantung si uwa mempersiapkan luasnya tanah yang akan dihadiahkan tetapi batas yang aku kenakanlah 25 jung tanah untuk setiap ulama kelas atas. Dan untuk mereka yang kurang pendidikannya masing-masing 3 Jung, di desa-desa makmur itu, kalau sekiranya di sana dapat diselenggarakan. Tetapi akau batasi jumlah ulama dari Kedu, Pegelen, Mataram dan dari Pajang.
Temukan 70 orang, ulama-ulama yang baik-baik di dekat ibu kota, yang tidak jauh sehingag mereka dapat dating dengan cepat untuk berjaga-jaga setiap hari Jumat di tempat menyepiku. Lakukanlah pemilihan tersebut dengan hati-hati jangan asal memilih saja. Pilihlah dengan ketepatan hati santri-santri yang cakap.” “Baiklah “ kata Raden Demang Urawan segera dengan hormat. Begitu keluar dari keraton, dipintu alun-alaun utara, ia menaiaki kudanya yang miring dengan congklang orang-orang sepanjang jalan mrnjadi gempar. Menyangka telah terjadi sesuatu arena Kanjeng Raden Demang Urawan lewat dengan terburu-buru. Saat tiba dikediaman Danurejo ia turun darikudanya Kanjeng Raden Demang Urawan, utusan raja yang ganas, sekarang memasuki tangga rumah jaga danmereka sedang duduk di ruang tamu pada berdiri.
Setelah Raden Demang dudk para adipati menempati tempat-tempatnya. Dasar ia orang besar dan disegani yang berbicara dengan keras dan menakutkan waktu ia meneruskan perintah raja, tindak tanduknya menggetarkan. Matanya merah, keningnya mengernyit-ngernyit rambutnya keriting menyentuh pundaknya, waktu duduk dadnya di dorong ke depan tubuhnya mengkilap seperti tambang digosok, sebelum ia bergerak, ia memandang sekeliling dan orang-orang yang memandangnya pada takut. Ia seperti Prabu Taptanus, Ingkang Sinuwun agung dari Yunani saat ia menyerahkan buku, mengenai orang-orang agung Amir Hamzah penakluk dunia kepada Raja Kahis. Demikianlah dengan Demang Urawan demang penugasannya dari raja. Rambutnya tegak berdiri dan penampilannya berubah, ia tahu disegani.Demikianlah jalannya sejarah seperti mengandung manis.
5. Adipati Danureja
Ia meneruskan perintah raja kepada Adipati Danureja sambil berkata, “Uwa Patih, Kanjeng Sinuwun ingin agar perintahnya dicabut. Kini keinginan Kanjeng Sinuwun mengampuni tersangka. Kalau di belakang hari mereka mengulang pembangkangan mereka terhadap perintah raja mereka pastilah dibenci di muka bumi ini sebagai akibat hukuman raja. Lalau ia membalik ke barat dengan mata merah dan para ulama menjadi takut karena ia memandangi mereka hatimereka berdegup dan banyak yang kehilangan kekuatnnya. Para ulama salah mengerti penyampaian perintah raja.Demang urawan berkata tenag dan sopan’” Haiseluruh ulama kecualai engkauMutamakin. Terimalah perintah ini
Perintah Kanjeng Sinuwun kepadaku sebgai berikut, “Hai Bapang, beritahukan olehmu semua ulama bahwa aku sangat bersyukur kepaad mereka karena sebagaii orang-orangyang terhormat di bumi ini, dengan pertimbangan teliti merka telah menjaga diriku dari bahaya ilmu kebatinan lebih dari itu Muhammad Mutamakin ialah orang yang berdosa. Karena ia telah menyebabkan kesusahan kepadaku karena ia adalah orang yang menjatuhkan raja ia hampir membuang kesetiannya kepada kerajaanku karena itu aku sangat berterimakasih adanya kumpulan ini yangmenyertakan para pendurhaka, namun telah kuputuskan menganugerhi mereka pengampunan bersyaratku.” Semua ulam amengucapkan terima kasihnya dengan segala kehormatan
Lalu berdiri Adipati Danureja dan memanjatkan doa supaya keinginan Kanjeng Sinuwun terkabul, seuara amin bergmuruh seperti guntur. Lalu Kyai Panghulu memanjatkan doa terima kasih karean lenyapnya rasa sedih.Kanjeng Raden Demang Urawan lalu berkata, “KetibAnom Kudus! Ingkang Sinuwun telah meminta suatu sejarah. Kisahkanlah suatu sejarah padaku dan saya akan menyampaikannya kepada raja. Sang Patih menyampaikan undangan kepada Demang Urawan, “Sahabatku marilah kita bersantap kalau putusan kandamu, Sang Prabu mulia, telah selesai” Raden Demang menjawab lirih, “perhatikan dulu perinth lnjutan dari raja yang belum diberitahukan kepadasampeyan. Sampeyan harus membuat terancang di dalam masjid karena raja ingin sembyang Jumat.
Perintahnya adalah sebagai berikut, “ Supaya diketahui Kipatih bahwa apabila ia sepakat, pad hari Jumat yang akan dating saya sungguh bermaksud datanmg ke masjid untuk sembahyang Jumat.” Adipati Danureja waktu mendengar ini berteriak dengan air mta merembes lala memanjatkan doa syukur kepada Allah.Ki Penghulu lalau mengajk Semua ulama turut serta berdoa. Semua berdiri dan memnjatkan doa amin mereka bergema bagikan guruh. Semua tumenggung saling melirik pada perilaku Khatib Anom Kudus yang mengenakan sarung gelap terbuat dari kain kasa dan ikat pinggang kasa bersulam garis-garis hijau gelap dihiasi benang emas.
Ia menganakan serban berwarna dengan benang kuning terisik sekeliling peci hitam mengkilap dipasang dalam gaya Arab dan terlekat kuat, sehingga kedua ujungnya bertemu. Kemejanya dari salmur ungu jubahnya sedikit pendek. Ia menyandng keris dengan cara disebut ganjalan kelabang kepalnya ditkuk seprti pengecut melarikan diri Sarung kerisnya dari suasa kemilau, bijinya tasbehnya menggantung sekeliling sarung kerisnya dengan gaya Banten. Ia berdiri di sudut kaki kirinya maju yang kanan di belakngnya dua telempah lebar jaraknya antar kaki depan dan belakang.Pastilah tidak sengaja melakukannya tapi Adipati yang melihatnya berkata, “Sungguh orang ini mampu, ia menonjol penampilannya dan semua kelakuannya pantas. Sungguh seperti orang yangmenyusunpasukan berbaris ke medan laga, adegan Khatib Anom. Ia selalu cakap dan rapih pakainnya dengan setiap bagian serasi dan menarik. Kebanyakan orang berpakaian caranya jorok dan berdiri. Seperti pengecut.” Setelah doa berakhir par ulam dan patih kembali ke tempatnya masing-masing dan Kanjeng Raden Demang Urawan kembali ke timur dan berkata lirih, “ Dik Mas Mlayakusuma, apa yangmembuat Panjenengan kumat-kamit ? Saya telah mendengarkaan Panjenengan sejenak.” Sang adik berkata hormat, “ Tidak ada apa-apa Kang Mas, saya hanya bercakap untuk mengisi waktu. Kanjeng Raden Demang Urawan menguatkan, “Tidak baik Dimas berbohong pada kakakmu.”
Raden Arya Mlayakusuma lalu tersenyum dan berkata dengan hormat, “Kang Mas, sesungguhnya Khatib Anom Kudus yang kita bicarakan caranya ia berdiri waktu membaca doa tadi berbeda dengan car ulama-ulama yang lain. Ia berdiri seperti seorang yang menyususn tentara berbaris menuju ke perang. Ia lebih cocok menjadi seorang bupati sesungguhnyalah saying sekali bahwa ia seorang ulama.” Kanjeng Raden Demang Urawan tertawa terbahak-bahak, sambil mengayunkan kakainya dan berkata kepada patih, “ Aduh uwa, Adik Mas Mlayakusuma sungguh dalam pandanganku telah meninggalkan agama, ia menyangka seorang bupati lebih baik dari ulama ini tidak benar. Akan kuterangkan, Dik Mas Mlayakusuma engkalah satu-satunya yangmenyangka bahwa seorang bupati lebih baik dari seorang santri, yang sebenarnya adalah seorang antri itu lebih unggul dari seorang bupati walau orang itu munafik, lebih rendah dan santri gundul lebih baik darimu. Orang lebih menghormati seorang ulama daripada seorang bupati karena ia adalah petugas Hyang Suksma.
Siapa yang lebih luhur, petugas Yang Widi atau petugas raja dunia, inilah Dimas perbandingannya. Mas Ktib Anom Kudus dalam semua hal cocok sebagai Hyang Suksma. Walaupun ada 10 petugas-petugas raja seorang ulama Dimas, merupakan manusia-manusia terbaik di dunia.” Ada yang berbisik-bisik, “ Saya tidak menyngka bahwa gusti Kanjeng Raden Demang Urawan berhati baik, penampilannya takmenyenagkn tak bersahabat dan pemarh, siapa yang tidak menjadi takut kalau melihat tata caranya, saya kira saya adalah setan tersamar, kalau ia lewat, tarikan mukanya kejam dan menakutkan layaknya ia ingin melumatkan seseorang. Sekarang ia berubah menjadibaik hati, dan pikirannya tajamseperti duri lancip. Ia adalah seorangbesar seperti buah durian yangmemiliki duri sangat tajam tapi yang dengan mudah dibukanya dan buahnya bila dimakan sangatlah enak manis dan lunak. Raut mukanya menunjukkan ia telah bersatu dengan ulama dan telah mempelajari dalil hadis yang terpancar dalam ucapannya.
Inilah seorang yang pikirannya tajam seperti angin. Lalu Kanjeng Raden Demang Urawan berbicara lagi Uwa Patih, perintah raja terusnya begini, “ Jangan ada seorang pun membahas atau menginginkan belajar ilmu rahasia atau di lingkungan kerajan mengajarkan Ilmu Hak, yang lain dari syara yang boleh diajarkan di dalam negeri. Bila seseorang ingin mengajarkan ilmu hak di luar kerajaan, kuizinkan apa yang diinginkannya. Tapi bila seseorang mengkhianati perintahku akan kulaksanakan hukuman mati. Patih berkata, “Tentulah Panjenengan Dalem.” Seangkan Demang Urawan meneruskan, ” Raja telah memerintahkan kalian untuk berkumpul semua ulama, termasu mereka yangrendah pengetahuannya tentang melafalkan dan arti al-Quran lalu masing-masing akan diberisebidang tanah tergantung dari tempat sembahyang Jumat, bertingkat dari tiga sampai dua belas jung masing-masing tanah ini pasti bagus. Harus bisa, dan tidak mengabaikan pelaksanaan sembahyang Jumat. Menurut perintah raja dari Pajang saja 40 ulama-ulama harus terpilih.
Namun di Kedu, Pagelen, dan Mataram tidak perlu diadakan pemilihan uwa patih dapat mengambil siappun.mereka Para ulama tidak perlu luar biasa, walau mereka orang rata-rata tapi telahmenguasai pengetahuan lafal dan makna Quran sgeralah langsung mereka terima. Alasan ulama-ulama harus dipilih di Pajang karena Pajang dekat dengan ibukota, demikianlah keinginan Kanjeng Sinuwun. Setiap Juma’at mereka, sebaliknya,menjaga tempat menyepi di dalam keraton mereka harus sepakat membahas ilmu rahasia di depan raja.” Adipati Danureja berkata, “Betul Panjenengan Dalem.” Demang Urawan melanjutkan, “Selanjutnya saya perintahkan uwa mengundang Cebolek dan beritahu dia bahwa dia semantara ada dalam pegangan saya. Itulah semua uwa Patih.” Lalu Patih Danureja memberi isyarat abdi-abdinya dan dengan cepat makanan yang dipesan dihidangkan. Duaratus piring makanan diberikan, tidak seorang pun diperlakukan beda dalam pemberian piring atau makanan yang dihidangkan. Para Adipati seperti juga para ulama diundang makan. Adipati Jayaningrat memberi isyarat seorang abdi untuk mengedarkan piring sayuran dengan acar yang dikirim dari rumahnya, dan juga sisa-sisa makanan dari istana. Karena setiap malam pukul sepuluh sesungguhnya makanan telah dibawa dari istana ke kediaman Jayaningrat, kadang-kadang tibanya pukul sebelas setelah raja menyelesaikan makannya.
Termasuk panggang ayam dicampur dengan kemiri dan dendeng daging menjangan yang telah dibawa dari rawa setelah raja selesai makan sore hari, sisa makanan ini bibawa dengan acar. Waktu Raden Demang melihatnya ia berkata sambil tersenyum, “Paman Adipati, tolong berikan ayam bakarnya saya suka itu. Sang Adipati berkata sambil tersenyum, “Silakan, anakku, inilah semua yang tinggal.” Arya Mlayakusuma memandangnya dan segera berkat,” Kang Mas, apakah ada rahasia dengan tersenyum kepada orang-orang? Paman Adipati Jayaningrat telah meminta piring daging tapi saya, Kang Mas mengisi perut sendiri dengan sisa makananmu.
Tapi saya tidaktahu pastimengenai rahasia, daging apakah yang semacam itu itulah yangtelah diminta dalam sekejap? Raden Demang tersenyum dan berkata, “ Panjenengan seperti kucing Dimas, kau tidak pernah bisa dibingungkan. Ayam panggang itu telah dibawa dariistna malam kemarin merupakan sisa yang diberikan Ingkang Sinuwun, mungkin ia tidak mendapat menghabisknnya. Tapi Dimas, saya tetap menenalinya, karena waktu saya menghadap malam lalu, pesuruh keraton menyerahkannya panggang ayam itu, itulah sebabnya saya masih mengenalinya. Paman Adipati Jayaningrat, setiap sisa-sisa dari istana datang ia tidak dapat menghabiskan panggangayam tersebut. “ Sang Adipati berkata
“Benar anakku, makanan yang diberikan pagi-pagi tidak habis, hanya dagingnya yang saya simpan untuk sorenya, dan maknan malamdi simpan untuk keesokan harinya.” Raden Mlayakusuma segera pergike tempat Kanjeng Raden Demang Urawan dan tanpa menunggu abdimelayaninya ia sendiri mengambilnya. Ia mengambilnya sambil berkata,” Ini dari tangan raja dan berasal dri istana.” Raden Demang berkata, “ Karena itulah yang muda jangan menganggap bodoh kearifan kelurga yang lebih tua.” Mereka yang sedng makan berbicara keras-keras Sang Adipati memakai gaya pesisir waktu ia makan. Piring daging disuguhkan terus-menerus dan dikelilinginya, waktu masih panas mereka yang sedang makan mengambil nasi semuanya. Sejenak semua merasa puas dan piring–piring serta panci-panci lalu diambil. Pada saat itu Adipati Danureja seperti menyelenggarakan pesta kawin menyambut ulama-ulama terhormat dan semua Adipati.
6. Ki Bebeluk
Laksana tunas teratai merah hati para Adipati dan para ulama. Mula-mula mereka takut akan kemarahan raja, tapi kemudian mereka menjadi tenang seperti angin halus menutupi tubuh mereka sejuk dan harum terus. Kemudian minuman panas dihidangkan dengan kue-kue. Dan Kanjeng Raden Demang Urawan berkata sopan, “Wahai pamanku Khatib Anom ayolah penuhi permintaan raja kepadamu untuk menyampaikan sebuah sejarah. Saya telah diminta untuk mendengarkannya supaya dapat dijadikan suatu pembimbing kalbu, ambillah dari sari suatu sejarah luhur.“
Mas Khatib Anom menjawab, “Kakak paduka Ingkang Sinuwun apa yang diinginkannya sejarah yang berasal dari Arab atau Jawa? Kalau saya harus melakukannya saya akan mencoba semampu mungkin, tapi bagimana saya dapat melakukannya dengan baik, saya hanyalah seorang desa yang rendah?” Kanjeng Raden Demang Urawan berkata, “Paman sejarahkan kepada kami satu sejarah dri Jawa apakah pernah di waktu silam semasa pemerintahan para raja Demak, Pajang dan mataram, seorang dihukum karena menyiarkan ilmu hakikat?” Mas Khatib Anom menjawab, Waktu say kecil saya mengetahui memang pernah terjadi sekali di setiap kerajaan ini.
Yang seorang dihukum di kota Diri yaitu Syekh Siti Jenar di hukum mati dengan pedang. Dahulu semasa jaman Demikianlah Pangeran Panggung yang dihukum mati dengan api. Sedang di masa Pajang Ki Bebeluk telah ditenggelamkan, api dan air berakibat sama. Sedang kerajaan Mataram waktu pemerintahan Panembahan Senopati dan Panembahan Krapyak tidak seorangpun mengalami hukuman demikian. Tapi setelah itu, cucu Senapati yangmulia Sultan Agung, seorang telah dihukum mati, ia telah menolak syara’ dan karena ini, Sultan Muhammad dari Mataram menjadi murka. Para pelanggar telah dilempar ke dalam laut di Tanjungbangadalah orang dari daerah mancanegara, desa Wirasaba, dukuh di Wanamarta, menantu dari Kyai Bayipanurta. Suaminya Tambangraras majikan Nyai Centini, ia adalah Syekh Amongraga yang telah membuka tabir.”
Raden Demang Urawan tertawa terbahak-bahak mengayun kakinya, dan para Adipati tertawa pula karena Khatib Anom dengan cerdik menyebut Nyai Centini dari kisah terkenal sejarah baku. Setengah orang berkata bahwa Khatib Anom memamng luar biasa kaya akan bermacam-macam sejarah. Orang-orang terkemuka yang duduk menjadi senang. Kanjeng Raden Demang Urawan tertawa dengan memandang keliling. Dan semua yangmelihatnya tertawa sepuas hati. Arya Mlayakusuma juga merasa nikmat di depan Khatib Anom yang berlaku seakan mempertontonkan sejarah wayang tuntunan pada Astina. Matanya berkilat seperti perak dan bibirnya bergerak cepat, ia pandai dan sembada, seperti bunga yang indah dengan wangi-wangian harum, menyenangkan dan mengairahkn. Ia seperti Syekh Abdullah Ibn Mubarak, si Tukang Sejarah, tersebut di dalam kitab yangterkenal dengan judul Nawawi, yang menjadi tukang sejarah waktu berumur baru 25 tahun.
Khatib Anom berkata,” Sejak jaman Sunan yang dimakamkan di Tegal Arum, Sunan mangkurat sampai Paku Buwana tidak ada yang menjalani hukuman itu shanya sekartang pada Haji Mutamakin yang ingin mencobanya. “Merka yangmendengar tertawa terbahak-bahak dan semua memandang ke Kyai Cebolek setiap orang melihat ke arahnya. Khatib Anom menyatakan “Mulanya Pangeran Panggung yang dihukum mati di Demak karena ia melangar syara’.“ Sultan Demak hadir pada pelaksanaan hukuman itu, dan tampil di alaun-alaun bersama semua Adipati para wali dan mukminin.Kayu dan serat-serat aren yang diguyur minyak ditumpuk seperti gunung.
Kelihatannya seakan-akan nyala apainya mencapai langit, Pangeran Panggung telah diperintahkan untuk masuk ke dalam api, ia melepas kedua terompahnya danmelemparkannya ke dalam apai yangmenyala-nyala. Ia memanggil anjing-anjingnya, Iman dan Tauhid, yangamsukke dalam api bersama-sama. Mereka bekejaran dan dua anjingnya, Imandan Tauhid terlihat berlaian kian kemari, meloncat-loncat di tengah api takselembarbulupun yang jatuh dari badan mereka di tengah kobaran api itu. Setelah itu ia bersiut, dan keduanya keluar dari api masing-masing dengan terompah pada mulutnya. Yang melihat pada heran, namun Sultan demak berkat lirih, “wahai pamanku, tidaklah cukup bagus lakukanlah sendiri jangan melakukannya kepada anjing-anjing, sungguh paman sendiri mestinya masuk ke dalam kobaran api, Pangem Panggung berkata, “Jangan khawatir anakku,sesungguhnya aku sendiri akan masuk ke dalam api.
Pangeran panggung setelah itu,membawa kertas dan tinta dengannya memasukkan api dan duduik di tengah-tengah, ia menulis dengan santai di tengah kobaran api.Kira-kira setengah jam apinya padam dan pad asaat yang sama Suluknya selesai. Suluk malang Sumirang di susun dalam api dalam danding Dandanggula. Di bukanya dengan, “Menyimpang dari aturan tata dan merintangi, menantang bahaya dan bencana.” Pangeran Panggung meminta pakaian dan keluar dari apii, Sultan Demak menjemputnya menylaminya dan terus mengulurkan tangannya. Suluk MalangSumirang dipersembahkan kepada raja. Pangeran panggungsgera setelahitu meninggalkankota Demakberkelana sepanjang pantai,kedua anjing Iman dan tauhid tidak tertinggal,mereka mengikutinya kemanapun pergi.inilah yang direncanakan Kyai Cebolek akan melakukannya.”
Mereka yangmendengar terbahak-bahaak teratwa, hati mereka menjadi lebih suka mereka terus riauh rendah. Tak bergerak dan tak terhalang,. Ki haji Mutamakin menjadi bahan tertawaan. “Putraku , saya mengira Ki Mutamakin akan dihukum. Syukurlah ia mendapat penangguhan, memanglah raja berkewajiban mengobati mereka yang gila, dan menyehatkan mereka yang sakit.” Lalu datang seorang pesuruh namanya Darmasuta dan ia membawa dua kaki danberkata, “ Raden demang anankku,sesuai dengan perintah kakanda Kanjeng Sinuwun. Khatib Anom diganjar sebuah baki. Dan yang satu lagi untuk Kyai Cebolek.” Kanjeng Raden Demang Urawan mengangkat tutupnya ia memeriksa isisnya terdapat kain untuk jas,empat potong setiap baki. Untuk Khatib Anom Kudus menata stop budidar, renda dari Kalingga dan sutra putih bertenun emas,memang masing-masing dari mereka mnenerima empat potong batik. Dua batik dari kapas halus, yang disebut mena-kobar dan yang lainnya garising dan dua lainnya disebut ceplok padma dan mandala giri. Masing-masing mendapat dua potongkain sorban, bahannya kain kas halus. Dan hadiah untuk Haji Mutamakin terdiri dari satin hitam, bahan warna hitam,mliyo danbaju wol Parsi
Yang semuanya hitam. Batiknya model slobog kecil dan keempatnya latar ireng tapi keduanya tak dapat diperbandingkan dengan hadiah yang diberikan kepada Khatib Anom Kudus. Tentunya tak dapat diperbandingkan hadiah Khatib AnomKudus dua kali lebih bagus. Penerima-penerima hadiah dipanggil. dan keduanya majuke depan Kanjeng Raden Demang Urawan berkat lirih keoada mereka, “Engkau paman, akan menerima hadiahnya terimalah dengan tyerima kasih dan hormat.” Ia Khatib Anom menerima hadiahnya dengan sopan dan lalu mundur dengan menekuk badan, tangan kanannya diletakkan di atas ubin, bakinya dibawa dengan tangan kirinya.
Gerakannya seperti orang yang sedng menari ringan,bergerak mengelilingi lingkaran. Mereka yang melihatnya tersenyum dan semua bupati memuji tak henti-henti.Khatib AnomKudus.”Apakah sebelumnya ia pernah menari? Keterampilannya sangat menakjubkan. Kyai Cebolek ingin meniru tindak-tanduk KetibAnom tapi canggung karena ia tak terampil, ia hampir jatuh ke depan,lalu ia berhenti dan akhirnya merangkakseperti lipan.Para bupati pada tertawa, begitu kuga petugas rendahan tertawabersorak.Setelah ia duduk petugas-petugas rendahan mengikutinya denan mata mereka dan waktu mereka memandang nya, mereka pada tertawa. Para Adipati tidak dapat menahn tawa, malah ada yang teratwa sampai menangis. Raden Mlayakusuma tertawa terbahak-bahak sambilmenakan dadanya dan berkata kepada Haji Mutamakin, “Mbok jangan meniru Anom Kudus, kalau ia seperti Baladewa Panjenengan adalah Cemuris, yang jalannya di belakangnya, yang mengiring dan tak mampu mengikutinya. Mohon aku dimaafkan, karena aku tidak sopan menertawakanmu seorang tua, jangan jadi hati pamanku! Memang Panjenengan kecil tubuhmu dan juga canggung. Seorang keciul mestilah tegap dan mempunyai ketrampilan dalam bergerak”. Para Adipati lagi-lagi pada tertawa seperti mereka itu sedang membacakan sebuah gambuh.
7. Murid Ki Syekh Zain
Lalau para tumenggung, waktu matahari hampir tenggelam, berangkat, demikian juga para ulama dan para bupati, sedangkan Raden Urawan ia yang pertama kali pergi. Para bawahan keluar dengan berdesakan, ada 200 yang mengenakan pakaian upacara keraton dan 100 petugas keraton berjajar di depan mengisi jalan utama, orang-orang lain tidak diperkenankan lewat.
Para adipati mungkur meninggalkan kepatihan dan waktu mencapai jalan utama masing-masing pergi sendiri-sendiri. Kecuali para ulama pergi menuju kauman dalam satu kelompok. Haji Cebolek menyertai Demang ke rumahnya, berjalan di belakangnya dsan waktu sampai ke kediamannya, Mutamakin dibawa ke tempat sunyi untuk menyepi di sebelah laut dari tempat tinggal Demang. Setiap malam ia didatngi oleh Dyan Demang, yang setiap kalipergi mengununginya meminta dia untuk mempertujukkan semua ilmunya. Kyai Cebolek berkata,” Pertama kali saya memeluk ajaran mistik
Di Yaman, waktu saya belajar di bawah seorang guru, yang namanya Ki Syekh Zain, ajaran yang diberikan sama dengan Dewa Ruci, itulah ilmu mistik yang diberikan kepadku yang sama dengan Bima Suci. Dyan Demang memberi tahu Mas Khatib Anom Kudus tentang ini pada satu malam. Khatib Anom Kudus membawa satu salinan kitab Bima Suci yangbelum diperbandingkan dengan aslinya sebab oleh satu kecelakaan aslinya telah hilang.
Ia tiba jam delapan menganakan baju berlengan panjang dan peci upacara Jawa terbuat dari sisa bahan bajunya. Sehelai selimur ungu indah yang diberikan padanya oleh Sri Paduka. Ia kelihatan berseri. Kanjeng Raden Demang Urawan menemuinya di halaman muka dan menggamitnya sambil tertawa, Khatib Anom Kudus telah mengganti pakaiannya. “Wahai pamanku Khatib Anom Kudus bila paman nganggur pastilah paman akan diminta kemari untukmemberikan bimbingan ruhani kepda raja sehingga kata-katamu dapat menjadi tongkat baginya.
Demang membawanya ke tempat tenang dan mereka tiba di tempat terpencil ini. Kyai Haji Mutamakin menjadi gugup waktu ia melihat Dyan Demang tiba bersama Mas Khatib Anom Demang menyilahkan mereka duduk dan mendamaikan mereka sehingag mereka rukun. Khatib Anom dan Mutamakin bersalaman dan duduk. Mas Khatib Anom berkata,
“Putraku , seperti kamu tahu intikepercayaan Kyai Cebolek dapat ditemukan dalam kitab Bima Suci. Saya membawanya untuk dibawca bersama di sini. “ Raden Demang terkejut,”Kalaupun begitu, dapatkah pamanku Kudus membaca aksara Jawa dengan membaca Bima Suci?” Mas Khatib Anom menjawab, ”Hanyalah sekedarnya.” Dyan Demang berkata lirih, ”Dimanakah bukunya? Saya ingin melihatnya.” kitab tersebut diberikan kepdanya, ia menerimanya dan waktu ia membukanya, ia tercengan,”Pamanku permulaannya kelihatan sukar, bagiman aharus dibaca, pamanku?” Yang ditanya menjawab sambil tertawa. Tawa Ki Mas Khatib Anom ini mengandung arti, “Ananda, saya dapat membacanya, namun tak begitu baik.” Waktu Demang melemparkan bukuitu kepadanya, ia berkata, “ Paman sebagai berkat, mulailah membacnya, dalam danding Bangsapatra dengan gaya Kudus!” Mas Khatib Anom menjawab.
“Aduh anankku, adalah angkuh meminta mendengarkan Bangsapatra, dan tidaklah sopan, bila saya tidak duduk bersila.” Ia menyanyikan baris-baris dengan irama naik turun mengatur nada-nada berulang-ulang.” Telah menjadi kebiasaannya,memng di dusun tempatnya nembangnya unggul. Karena inilah ia dirusak, dan lalu menjadi angkuh tapi di kota ia adalah orang yang merendahkan diri dan mengangguk kalaupun kepalanya dipukul.
KANJENG SUNAN GESENG
1. Ki Cajrajaya
Ki Cajrajaya atau Sunan Geseng adalah tokoh mubaligh dari tanah Bagelen yang namanya terkenal bukan saja di wilayah tanah Bagelen namun juga tenar di wilayah Bantul DIY maupun di Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang. Dalam Babad Demak, perihal Ki Cakrajaya digambarkan dalam tembang Dhandanggula :
“ Tanah Bagelen wijile kang jalmi,
Cakrajaya nderes karyanira,
desa Bhedug ing dukuhe,
tan wonten rowangipun,
among garwa myang anak siji,
jalu wanci jejaka,
meski kelangkung,
wisma celak lawan wana,
pakaryane nderes klapa mung sauwit,
matenge pendak pasar,
Datan darbe karya malih-malih,
pan mung nderes setangkep sepasar,
tan mangan-mangan liyane,
mung nrima lawan turu,
yen wis nderes nembang sawengi,
kongsi prapteng raina,
lagon ning nong ning nung,
lamun kendel srah kang murba,
sepradene jiwane mentas kelimis,
labete anarira”
Tersebutlah di desa Bedhug hidup seorang bernama Cakrajaya, tukang “nderes” nira kelapa atau aren. Cakrajaya dikenal sebagai seorang petani melarat. Ia hidup dengan isteri dan anaknya. Meski melarat Cakrajaya kuat dalam tirakat dan tapabrata sehingga akhirnya ia dikenal sebagai seorang yang mempunyai keluhuran / kesaktian.
Di dalam Babad Demak dikisahkan pula pertemuan antara Cakrajaya dengan Sunan Kalijaga yang diuraikan dalam tembang Dhandhanggula :
Pan cinoba mring Jeng Sunan Kali,
Nujwa nembang winulang parikan,
klimah loro parikane,
Cakrajaya miturut,
aparikan kalimah kalih,
enjang nggen nitis gula,
pan dadi mas sepuh,
mung setangkep katharira,
Cakrajaya anjumbul kasmaran ngelmi,
lajwarsa puruhita
2. Dua Tembang Parikan
Sunan Kalijaga memberikan pengajaran kepada Cakrajaya yang berwujud dua tembang parikan. Cakrajaya menerima dua kalimat parikan yang akhirnya menggugah hati Cakrajaya untuk menuntul ilmu lebih dalam pada Sunan Kalijaga. Demikian akhirnya Cakrajaya kemudian menjadi murid Sunan Kalijaga.
Menurut naskah Bappeda Purworejo tahun 1982, disebutkan bahwa perjalanan Sunan Kalijaga dan Ki Cakrajaya sampai di desa Megulung. Sedangkan sebuah cerita rakyat lainnya yang hidup di daerah Yogyakarta dikatakan bahwa Sunan Kalijaga bersama Cakrajaya meninggalkan daerah Bagelen melakukan pengembaraan. Selama berkarya itu Sunan Kalijaga mengajarkan agama Isalam kepada Cakrajaya.
(Bambang Suwondo, ed., Sunan Geseng, dalam Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta., 1980 / 1981)
Cakrajaya yang kemudian namanya terkenal menjadi Sunan Geseng dikarenakan tubuhnya “geseng” atau hangus. Menurut kisahnya, Sunan Kalijaga memerintahkan kepada Cakrajaya (Sunan Geseng) untuk keluar dari rerumpunan bambo tempat Cakrajaya menunggu Sunan Kalijaga yang bertapa. Tetapi Cakrajaya tidak dapat keluar dari rerumpunan bamboo tersebut yang dipenuhi duri. Sunan Kalijaga menguji ketaatan Cakrajaya dengan membakar rerumpunan bambo tersebut. Cakrajaya tidak merasa takut dan taat pada perintah Sunan Kalijaga dan akhirnya dapat keluar dengan selamat dari kobaran api di rerumpunan bamboo hanya kulitnya menjadi hitam karena hangus (geseng). Sunan Kalijaga merasa ujian yang diberikan kepada Cakrajaya sudah lulus kemudian memberikan sebutan sunan kepada Cakrajaya. Karena tubuhnya “geseng” atau hangus, Sunan Kalijaga menyebutnya Sunan Geseng. Sejak saat itulah Kyai Cakrajaya dikenal dengan sebutan Sunan Geseng.
3. Sunan Geseng
Kisah Cakrajaya yang menjadi murid Sunan Kalijaga dan dirubah namanya menjadi Sunan Geseng tidak hanya meninggalkan bekas di daerah Bedhug Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, tetapi juga meninggalkan jejak di beberapa daerah lain.
- Dari api yang berkobar menghanguskan tubuh Cakrajaya, menurut ceritera rakyat di daerah Yogyakarta meninggalkan bekas nama di daerah Kabupaten Bantul yaitu “Muladan”. Desa Muladan terletak di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bamtul.
- Di suatu tempat, Kanjeng Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya. Setelah tongkat itu dicabut munculah sumber air dan menjadi ‘sendang”. Sunan Geseng disuruh mandi di sendang tersebut. Seketika pula kotoran hangus pada tubuh Sunan Geseng dapat dibersihkan dan hanyut dibawa aliran air sampai ke sungai yang dinamakan “Kedhung Pucung”. Sedangkan sendang tadi dinamakan “Sendang Banyu Urip”
- Sunan Kalijaga memgajak Sunan Geseng berjalan kearah barat dan sampai di suatu tempat mengajarkan agama Islam kepada Sunan Geseng. Dengan tekun Sunan Geseng “ngaji” ilmu yang diajarkan Sunan Kalijaga. Tempat itu akhirnya terkanal dengan nama Desa Ngajen yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.
4. Perjalanan Hidup Cakrajaya
Babad Demak karya Raden Tumenggung Suryadi dalam bentuk tembang Dhandanggula.
Sunan Kali kang pininta ing sih,
Cakrajaya tinendha temenya,
kinen mengkurep kismane,
laminya wus setahun,
Sunan mengke karsa nuweni,
marang madyane wana,
kentarnya wus rawuh,
Nggening tapa Cakrajaya,
Kathukulan ri bandhil kelawan sisir,
nulya glis binabadan,
Sagung murid sami ngupadosi,
katur Sunan kang tapa tan ana,
kinen mbesmi babadane,
nulya ingubar sampun,
ponang glagah wus sirna enting,
telas pinangan brama,
kang tapa tan keguh,
sandhange kobar sedaya,
Cakrajaya kewudan mangkurep njengking,
Jeng Sunan lon ngandika,
“Cakrajaya tangia sun prapti,
apa lali marang swaraningwang,
nganti geseng ya awake”,
Cakrajaya gya wungu,
ngaras pada pan esmu tangis,
Jeng Sunan rum ngandika,
“Sun trima styamu,
ngaliha aran ya sira,
Pangran Geseng dene geseng kena geni,
tan owah idhepira.
Maneh panas geni jroning kapti,
geseng kayu saka kukusing dal, genira aja jenenge,
genira aja jenenge,
geni kelawan kukus,
saka kayun wijine sami,
lingen wruha dukala,
mula-mulanipun,
kabeh iki kang gumelar,
pan sakehe manungsa tinitah luwih,
sinung rasa-pegrasa,
Mulya dhewe sangking kang dumadi,
aja mengeng ing sacipta tunggal,
tunggal rasa sasolahe,
isining buwana gung,
anggep siji manungsa jati,
mangku sagung kahanan,
ya manungsa tuhu,
lan diwruhi sikseng tunggal,
nut ing sukma sliring jagad dumadi,
ku tekat wus sempurna”.
Perintah Sunan Kalijaga kepada Sunan Geseng untuk membuka hutan Loano :
Pangran Geseng kelangkung nuwun sih,
wus kadriya sawulang Jeng Sunan,
wus tan pangling jro driyane,
pamungkasaning sawujud,
nanging lair sasat piningit,
sakrehing kapandhitan,
ing tyas wus kawengku,
pamurbaning jagad raya,
kelairan jatine pan ora silip,
Jeng Sunan malih nebda,
“Ya wismaa neng Lowano becik
dene anakira ya si jaka,
nungggak semi ya arane,
ngran Cakrajaya patut,
wis ta jebeng muliha aglis,
dimantep mring agama,
yen Jumungah wetu,
salata mring mesjid Demak,
sesat sira marang Mekah munggah kaji”,
Pangram nuwun tur sembah.
KANJENG SUNAN TEMBAYAT
1. Sejarah Sunan Tembayat
Dari berbagai sumber yang ada seperti Serat Kandaning Ringgit Purwa, Babad Nagri Semarang, Babad Demak yang telah ditelaah oleh Amen Budiman, bahwa Ki Ageng Pandanarang adalah seorang Bupati Semarang. Nama Kyai Ageng Pandanaran atau Ki Ageng Pandanarang ini tidak lain adalah Sunan Tembayat yang hidup semasa dengan Sunan Kalijaga.
Mengenai siapa sesungguhnya beliau dan silsilahnya terdapat beberapa sumber yang berbeda satu sama lainnya. Dari berbagai sumber tersebut menyebutkan bahwa Ki Ageng Pandanarang telah meninggalkan Semarang dan dalam perjalanannya dari Semarang bertemu dengan Syeh Domba dan Syeh Kewel yang akhirnya menjadi pengikutnya. Setelah itu beliau menetap di daerah Bayat dan akhirnya menjadi penyebar agama Islam di daerah tersebut.
Sebutan Sunan Tembayat ini didasarkan karena cara beliau dalam menyebarkan agama Islam pada waktu itu dengan cara musyawarah dan bersifat kekeluargaan (tembayatan).
2. Data Arkeologis
Masjid Gala
Masjid ini berdiri di atas sebuah bukit bernama Gala yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Paseban, Kecamatan tembayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
Menurut Babad Demak bait 26 yang terjemahannya adalah “ Perjalanan Ki Gede sudah sampai di wilayah Tembayat, lalu beliau naik ke bukit Jabalkat. Di sana beliau menemukan satu padasan yang tidak berair, dan masjid kecil “. Kitab babad memang bukan catatan sumber sejarah namun dari bait tersebut dapatlah diambil makna dengan dihubungkan dengan data arkeologis yang ada. Kiranya dapat diambil makna bahwa yang dimaksud dengan masjid kecil adalah Masjid Gala.
Hal ini didasarkan pada ukuran Masjid Gala saat ini juga berukuran kecil. Menurut ceritra rakyat bahwa masjid tersebut didirikan di bukit Jabalkat, oleh Sunan Tembayat masjid tersbut kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih rendah yaitu di bukit Gala.
Selanjutnya pada bait 27-31 disebutkan bahwa tempat bermukim beliau jauh dari air dan kalau mengambil air harus turun bukit menuju sungai. Dari bait itu dapat di ambil makna bahwa kemungkinan pemukiman dipindah ke bawah adalah sangat mungkin karena lebih mudah untuk untuk memperoleh kebutuhan hidup dan lebih terbuka dalam bekomunikasi.
Selanjutnya mengenai pemindahan masjid seperti yang dituturkan dalam cerita rakyat terdapat dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, masjid memang benar-benar dipindahkan. Hal ini mengingat konstruksinya mudah dibongkar-pasang. Kedua, yang dipindahkan adalah kegiatan-kegiatannya, dengan kata lain bukan masjidnya.
Masjid Gala ini memiliki keunikan yaitu berdiri di atas bukit. Biasanya masjid yang berada di atas bukit merupakan masjid makam. Selain itu Masjid Gala tidak mempunyai serambi dan Pawestren hal ini diduga karena keterbatasan lahan.
Masjid Gala disebut sebagai masjid makam karena pada halaman ke dua terdapat makam-makam yaitu di sebelah barat dan selatan masjid. Di sebelah barat masjid terdapat 29 buah makam dan di sebelah selatan terdapat 51 buah makam. Diantara makam-makam tersebut terdapat makam keturunan Ki Ageng Pandanarang.
3. Kompleks Makam Bayat
Untuk menentukan secara tepat tahun pendirian Makam Tembayat memang masih mengalami kesulitan. Namun berdasarkan sumber babad seperti Babad Tanah Jawa, Babad Demak dan Babad Nitik Sultan Agungan dapat diketahui bahwa Ki Ageng Pandanarang yang kemudian disebut Sunan Tembayat hidup sejaman dengan tokoh-tokoh Wali Songo seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga adalah tokoh yang ikut serta dalam mendirikan Masjid Agung Demak. Sedangkan Sunan Kudus adalah pendiri Masjid Menara Kudus yang didirikan tahun 1549 Masehi. Dengan studi perbandingan dan analogi ini maka dapat disimpulkan bahwa Makam Sunan Tembayat dibangun tidak jauh selisihnya dengan pembangunan kedua masjid tersebut.
Makam Sunan Tembayat
Kompleks Makam Sunan Tembayat ini terdiri dari 6 halaman yang masing-masing halaman dibatasi dengan dinding dari bata merah dengan 1 pintu masuk untuk menuju masing-masing halaman.
Cungkup Makam Sunan Tembayat dan keluarganya berada pada halaman ke 6, yaitu halaman yang tersuci dan letaknya lebih tinggi dari bangunan lainnya. Untuk menuju ke halaman makam utama harus melewati enam gapura utama yaitu segara muncar, gapura dhudha, gapura balekencur, gapura pamuncar, regol sinaga, gapura panemut dan gapura prabayeksa. Setelah melalui gapura-gapura tersebut sampailah pada cungkup utama makam yang terletak di tempat yang paling tinggi.
Cungkup makam Sunan Tembayat terbuat dari tembok yang disemen, bentuknya rumah joglo dengan atap runcing, sedangkan pada puncaknya terdapat mustoko berbentuk bunga teratai. Pintu masuk ke dalam cungkup ini dibuat sempit dan rendah, tinggi pintu 90 cm, sehingga orang masuk harus membungkukkan badannya hal ini dimaksudkan supaya orang masuk ke dalam cungkup menghormati orang yang dimakamkan.
Cungkup Makam Sunan Tembayat terbagi menjadi 2, yaitu bagian luar dan bagian dalam. Bagian dalam adalah makam Sunan Tembayat dan kedua isterinya, yaitu Nyai ageng Kaliwungu di sebelah barat dan Nyai Ageng Krakitan di sebelah timur. Bagian luar merupakan makam putra, sahabat dan murid-murid Sunan Tembayat.
4. Jirat Makam Tembayat
Jirat Makam Sunan Tembayat terbuat dari batu pualam putih, dan pada jirat di bagian kaki sisi timur terdapat angka tahun Jawa 1841 atau 1911 Masehi. Angka tahun ini merupakan peringatan pada waktu Gusti Pembayun dari Surakarta memugar Makam Sunan Tembayat.
Kompleks Makam Tembayat dibangun dalam periode yang berbeda, hal ini dapat diketahui dari prasasti-prasasti yang terdapat pada beberapa bangunan, antara lain :
- Gapura Segara Muncar, merupakan pintu gerbang pertama memasuki kompleks makam Tembayat. Gapura terbuat dari bata merah dan berbentuk bentar.
Terdapat prasasti berhuruf Jawa yang menurut D.A. Rinkes berbunyi murti sarira …….. jleking ratu yang berarti tahun 1448 C atau 1526 M,
- Gapura Panemut, merupakan gapura berbentuk bentar dan terbuat dari batu andesit dan batu putih. Gapura ini terdapat di halaman empat, dan pada sisi dalam sebelah utara terdapat prasasti berhuruf Jawa yang berbunyi wiyasa hanata wisiking ratu dengan makna berangka tahun 1555 C atau 1633 M.
Denah makam
Terdiri dari enam halaman dengan masing-masing ketinggian yang berbeda. Pada halaman paling akhir dan tertinggi merupakan tokoh utama (makam Sunan Tembayat).
5. Filosofi Simbolis Gapura Bentar
Fungsi gapura adalah penghubung antar ruang/ halaman sesuai dengan sifat halaman, yaitu Profan, semi sacral dan sacral. Makna simbolis gapura bentar adalah penolak bala dan symbol dari gunung retak yang siap menjepit segala sesuatu yang jahat yang melaluinya.
6. Aktivitas Ziarah
Tokoh Ki Ageng Pandanarang merupakan tokoh kharismatik dimata masyarakat, oleh karena itu peziarah yang mengunjungi Makam Sunan Tembayat ini sangat banyak. Pada bulan ruwah paling banyak dikunjungi karena menurut tradsi tanggal 27 ruwwah tepatnya hari Jum’at Kliwon dan Jum’at Legi Ki Ageng Pandanarang diangkat menjadi wali, selain itu juga tanggal tersebut merupakan hari wafatnya Ki Ageng Pandanarang (Sunan Bayat) sehingga sekarang ditetapkan sebagai hari nyadran setiap tahun
ZIARAH PARA SULTAN DEMAK
M. HARIWIJAYA
1. Perjuangan Raden Patah
Ketika Palembang diperintah oleh Arya Damar, negeri itu aman dan makmur. Banyak saudagar dari Jawa, Maluku, Malaka, Brunei, Tiongkok dan lain-lain, berdagang di kota itu. Mereka datang membawa barang dagangan. Gula dan tembakau dari Jawa Timur, rempah dari Maluku, barang-barang dari porselen dari Tiongkok dan lain-lain. mereka pulang ke negerinya membawa barang dagangan pula, seperti lada, rotan, damar, dan sebagainya (Senggana, 1952).
Arya Damar berputra dua orang, Raden Patah dan Raden Husein. Kedua pemuda itu tampan dan gagah, wjahnya bersinar-sinar. Sebenarnya Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya dengan putri Cina. Jadi Raden Huseinlah putra kandung Arya Damar. Betapapun, kasih sayang ayah kepada putra kandungnya itu sama saja dengan kasihnya kepada Raden Patah. Bahkan Raden Patah dicalonkan untuk menggantikannya memangku jabatan Adipati Anom.
Akan tetapi Raden Patah menolak. Ia tahu, bahwa Raden Husein yang berhak menggantikan ayahnya. Rahasia kelahirannya sendiri kebetulan dapat diketahui ketika kedua pengasuhnya membicaraakn asal-usulnya. Supaya jangan menjadi penghalang bagi Raden Husein, diputuskannya akan meninggalkan Palembang secara diam-diam.
2. Calon Adipati Anom
Demikianlah, suatu pagi kraton pun gempar. Raden Patah tiba-tiba menghilang. Seluruh penduduk kraton jadi sibuk. Calon Adipati Anom yang sangat dihormati oleh para punggawa ternyata telah melarikan diri malam-malam. Dicari kesana-kemari, ke segenap pelosok, namun tak juga bersua. Sementara itu matahari telah condong ke arah barat. Adipati mengadakan sidang darurat. Kepala rumah tangga kraton melaporkan tentang usaha yang telah dilakukan. Akhirnya Adipati menanyai Raden Husein, apakah ia tahu kemana Raden Patah pergi.
“Ayahanda, hamba tak tahu kemana kakanda pergi,” jawabnya.
“Tapi mengapa ia pergi? Kau tentu tahu,” desak sang ayah.
“Ampun ayahanda, hamba pun tak tahu.”
“Apa benar kau tak tahu?”
“Ampun ayahanda, anak tak berani berdusta.”
“Kau tentu cekcok dengan kakakmu!” hardik Adipati.
Kerapatan pun hening. Raden Husein tunduk, hampir tak kuasa menahan airmatanya. Kerongkongannya serasa tersumbat. Dengan gemetar ia menyembah, lalu mengundurkan diri. Hatinya sedih bukan kepalang. Telah ditinggalkan saudara, kini dimurkai pula oleh sang ayah. Ia berniat menyusul kakaknya dan berangkat malam itu juga. Kira-kira seperti dia juga Raden Patah meninggalkan kraton itu. menyelinap keluar dan terus menuju ke pasar. Ya, demikianlah Raden Patah ketika meloloskan diri. Berjalan tak tentu arah. Hanya menurutkan kehendak kaki dan hati. Sebentar berhenti melepaskan lelah, kemudian melanjutkan perjalanan kembali.
Setelah sampai di luar kota, Raden Patah pun mengaso agak lama. Duduklah ia di bawah sebatang pohon yang rindang di tepi sebuah danau. Ia menyandarkan badan di batang kayu itu dan melepaskan pandangan ke permukaan air yang meriak ditiup angin. Sebutir buah kayu jatuh, “Plung!” Air menyiprat naik dan di permukaan danau timbul lingkaran air, yang meluas menipis dan akhirnya menghilang.
Raden Patah asyik melihatnya. Di tepi danau banyak kembang teratai. Indah benar nampaknya. Sebentar terdengar kecipak ikan. Daunan kering melayang-layang jatuh ke permukaan air ditiup angin semilir. Bagi Raden Patah angin itu sangat menyegarkan. Dan karena amat lelah iapun tertidur, sebentar saja telah kedengaran dengkurnya. Belum lama ia tidur, Raden Husein sampai. Mula-mula tak tahu ia kakaknya ada disitu. Ia lagi lewat, ketika mendengar dengkur orang. Dikuakkannya semak dan ranting di depannya, lalu dilihatnya seorang pemuda tidur pulas. Setelah diperhatikan ternyata kakaknya sendiri. Bukan main girang hatinya.
“Enak benar tidur kakanda. Tentu ia amat letih,” pikirnya. Amat perlahan ia melangkah supaya tidak mengejutkan kakaknya. Akan tetapi tiba-tiba terpijak olehnya sebuah ranting kering. “Pletak, krosak!” Raden Patah terkejut bangun dan melihat adiknya berdiri di sampingnya. Ia segera melompat bangun dan merangkul Raden Husein. Lalu mereka berpeluk-pelukan dan saling tanya:
“Mengapa kakanda di sini?”
“Kenapa kau susul aku?”
“Kemudian hening sejurus. Seekor burung hinggap di sebuah ranting, berkicau sebentar, lalu terbang lagi. jatuh pula sebutir buah kayu kering ke air, “Plung!”
“Hai, kenapa kau susul aku?” tanya Raden Patah mengulangi.
“Ayahanda murka kepadaku,” jawab Raden Husein.
“Murka? Kenapa? Kau tentu suka membantah perintah ayah. Itu tak baik.”
“Bukan begitu. ayah murka karena kakanda meninggalkan kraton. Disangkanya kita cekcok.”
“O, begitu. tapi kini kau hendak ke mana?”
“Aku akan pergi ke Jawa.”
“Maksudku akan mengabdi kepada raja Majapahit.”
“Kalau begitu marilah kita pergi bersama-sama.”
“Tapi, … bukankah kanda akan dijadikan pengganti ayah?”
“Aku tak mau.”
“Kenapa?”
Raden Patah tak menjawab. Tak smapai hati ia mengatakan, bahwa ia sebenarnya bukan kakak Raden Husein.
“Bukankah kakanda jauh lebih tua?” kata Raden Husein.
“Sudahlah, aku tak mau. Karena itu aku meninggalkan kraton. Pendeknya, kalau kau benar-benar akan ke Jawa marilah kita mencari kapal.”
Lalu kedua pemuda itu bergegas pergi ke pelabuhan. Kebetulan ada seorang saudagar yang kapalnya telah siap akan berlayar ke Jawa. Dua bersaudara itu minta supaya diijinkan menumpang. Saudagar itu tidak keberatan, karena ia tidak tahu bahwa pemuda itu adalah putra Adipati yang sedang dicari-cari.
3. Mendarat Di Gresik
Demikianlah hari itu juga kapal berlayar dan setelah beberapa hari di lautan, sampailah mereka di Jawa Timur. Raden Patah dan Raden Husein mendarat di Gresik setelah mengucapkan terima kasih kepada saudagar tersebut. Ketika itu di Gresik sedang berkembang agama Islam. Maulana Malik Ibrahim yang mula-mula menjadi mubaligh di situ. Setelah beliau wafat, digantikan oleh Raden Rahmat, yang berkedudukan di Ampel Denta dan karena itu terkenal sebagai Sunan Ampel.
Telah banyak orang yang beragama Budha masuk Islam. Agama Islam semakin berkembang, berkat kegiatan dan kebijaksanaan Sunan Ampel. Masjid peninggalan Malik Ibrahim dipelihara dan diperindah. Pesantren Sunan Ampel makin maju. Namanya termasyur sampai ke Palembang. Raden Patah ingin mengabdi kepadanya, lalu mengajak adiknya. Walaupun Raden Husein sebenarnya ingin mengabdi kepada raja Majapahit, tetapi kakaknya tidak ditolaknya. Kedua pemuda itupun pergi menghadap. Mereka diterima oleh seoragn menteri dan disuruh menunggu di serambi masjid. Tak lama kemudian Sunan Ampel pun keluarlah bertanya:
“Wahai orang muda, siapakah kalian dan apakah maksudmu kemari?”
“Kanjeng Sunan, kami dari Palembang. Nama hamba Patah dan ini adik hamba Husein. Kami ingin mempelajari agama Islam.”
“Mempelajari agama tidak gampang. Hanya mereka yang sungguh-sungguh akan dapat memetik buahnya.”
Pendek kata pengabdian Raden Patah dan Raden Husein diterima baik. Ajaran baru merasuki jiwanya dan mereka pun menjadi penganut Islam yang taat.
Bagaimana juga, Raden Husein tak dapat melupakan niatnya semula akan mengabdi kepada raja Majapahit. Setelah berunding dengan Raden Patah dan Sunan Ampel, ia pun diijinkan pergi ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya. Pengabdiannya diterima dan berkat kecakapannya ia kemudian diangkat menjadi Adipati Terung.
Sementara itu Raden Patah menjadi murid yang rajin dan sangat disayangi oleh Sunan Ampel. Ia cerdas, giat, dan sopan santun dan bercita-cita besar. Oleh Sunan ia dinikahkan dengan seorang cucunya dan disuruh membuka setumpak hutan untuk dijadikan kampung. Kampung baru itu diberi nama Bintoro dan diberi sejumlah pasukan bersenjata. Sejak itu Raden Patah bergelar Adipati Bintoro. Ia pandai memerintah, adil dan bijaksana. Lama-lama prajurit Majapahit tertarik oleh ajaran Islam, tanpa dipaksa. Pengaruh agama baru itu makin meluas dan mendalam. Sang Adipati makin disegani dan dipatuhi, dan akhirnya diangkat menjadi Sultan oleh rakyatnya.
Suatu hari Adipati Terung datang mengunjungi Sultan Bintra untuk menyampaikan titah Sang Prabu, supaya segera menghadap ke Majapahit. Sultan Bintoro menolak dan sebaiknya menanyakan tentang perselisihan sang Prabu dengan Sunan Giri dan tentang para Adipati yang telah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Adipati Terung terkejut, lalu bertanya, “Apa yang sebenarnya kakanda maksud?”
“Aku ingin sang prabu diganti,” jawab Sultan Bintoro.
Sementara itu kedengaran suara gemuruh yang makin mendekat. Tak lama kemudian kelihatanlah tentara dari Giri, Gresik dan Tuban, amat banyaknya.
“Ah, kini aku mengerti,” kata adipati Terung.
“Ya, itulah jawabanku atas panggilan Sang Prabu,” kata Sultan Bintoro.
Ketika itu alun-alun telah penuh sesak oleh prajurit yang berangkat ke Majapahit. Mereka lagi menunggu perintah. Berita tentang ini telah sampai pula ke Majapahit. Ketika angkatan perang Bintoro memasuki ibukota Majapahit, Sang Prabu serta seisi kraton telah menyingkirkan diri. Angkatan perang Bintoro menduduki kraton tanpa perlawanan.
Sejak itu kekuasaan Majapahit pun lenyap sama sekali. Kraton dipindahkan ke Demak dan sultan Bintoro, yakni Raden Patah menjadi raja dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah.
Menurut babad, Raden Patah, yang nama kecil¬nya Pangeran Jimbun, adalah putra raja Majapahit, Kertabumi Brawijaya V (memerimtah 14(i8-147S). Ibunya, Putri Campa, seorang muslimah. Sebagai¬mana ibunya, Raden Patah menganut agama Islam. Pada masa mudanya Raden Patah memperoleh pendidikan yang berlatarbelakang kebangsawanan dan politik. Dua puluh tahun lamanya ia hidup di istana adipati Majapahit penguasa Palembang, Aria Damar. Sesudah dewasa ia kembali ke Maja¬pahit.
Raden Patah dilahirkan di saat Majapahit se¬dang mengalami situasi yang tidak menentu setelah Hayam Wuruk meninggal. Sejak itu terjadi pere¬butan kekuasaan antara Wikramawardhana, me¬nantu Hayam Wuruk yang memperoleh limpahan mahkota Majapahit, dan Wirabhumi, putra dari salah seorang selir Hayam Wuruk. Keadaan ter¬sebut terus berlangsung hingga masa pemerintahan Brawijaya V, yang kekuasaannya selalu diincar oleh Girindra Wardhana yang berkuasa di Keling.
Setelah berumur 20 tahun, Raden Patah dikirim kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk memperoleh pendidikan agama. Ia mendalami agama Islam bersama dengan pemuda-pemuda lainnya, seperti Raden Paku (Sunan Giri) dan putra Raden Rahmat, Maulana Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat).
4. Nyi Ageng Maloka
Setelah dianggap mampu oleh Raden Rahmat, Raden Patah dikawinkan dengan cucunya, Nyi Ageng Maloka. Selanjutnya ia dipercaya untuk menjadi mubalig dan membuat pemukiman masya¬rakat muslim di Bintoro, yang kemudian menjadi Demak, dengan diiringi oleh sultan Palemhang, Aryadila, beserta 200 tentaranya. Ia memusatkan kegiatannya di Bintaro karena daerah tersebut di¬rencanakan oleh Wali Songo sebagai pusat keraja¬an Islam di Jawa. Di daerah itu ia mendirikan pon¬dok pesantren. Penyiaran agama Islam di daerah itu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahu¬an. Perlahan-lahan daerah tersehut menjadi pusat keramaian dan perdagangan. Para wali bersepakat mengangkatnya sebagai sultan Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah. Kemudian ia me¬lepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Ia meme¬rintah sampai tahun 1518 dan Demak menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa sejak pemerin¬tahannya. Palembang menjadi kawah candradimuka bagi pendiri Kraton Demak.
Kasultanan Demak Bintoro yang didirikan dengan cara penuh kedamaian itu, tentu saja sesuai dengan visi-misi Jimly Asshiddiqie yang menghendaki adanya cita-cita supremasi hukum. Dalam masa pemerintahannya, Raden Patah te¬lah berhasil dalam berbagai bidang, di antaranya (1) perluasan dan pertahanan kerajaan, (2) pe¬ngembangan Islam dan pengamalannya, dan (3) sistem musyawarah dan kerja sama ulama dan umara.
Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan hisa dilihat ketika ia dapat menaklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahta Majapahit (tahun 1478) dan dapat mengam¬bil alih kekuasaan Majapahit. Selain itu ia juga mengadakan perlawanan terhadap Portugis, yang telah menduduki Malaka dan ingin mengganggu Demak. Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Adipati Muhammad Yunus atau Pati Unus (1511), tetapi gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang meng¬gantikan ayahnya pada tahun 1518.
Dalam bidang pengamalan Islam dan pengembangannya, Raden Patah telah mencoba secara perlahan-lahan dan bijaksana untuk menerapkan hukum Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Di samping itu, ia juga membangun keraton dan mendirikan masjid (1489) yang sampai sekarang ter¬kenal dengan Masjid Agung Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh para wali atas ban¬tuan daerah-daerah lainnya yang sudah lebih da¬hulu menganut Islam (seperti Jepara, Tuban, dan Gresik), Raden Patah, sebagai adipati Islam di De¬mak, secara terang-terangan memutuskan ikatan dengan Majapahit, yang pada masa itu sedang ber¬ada di ujung kemunduran. Ia mendirikan kerajaan Islam dengan Demak sebagai ibu kota.
Tome Pires, seorang pengelana Portugis pada masa itu, menggambarkan bahwa peralihan ke¬kuasaan politik ke tangan orang Islam telah terjadi sejak akhir abad ke-15, baik karena para bang¬sawan Jawa memeluk agama Islam secara sukarela maupun karena pengaruh orang-orang asing dari berbagai bangsa Islam, yang membuat pemukiman di bandar-bandar pantai utara Pulau Jawa, misal¬nya di Tuban, Demak, dan Jepara.
Babad pada masa sebelum munculnya raja Ma¬taram pertama dipenuhi dengan legenda yang menghubungkan munculnya Kerajaan Demak de¬ngan runtuhnya Majapahit pra-Islam dan dengan Raden Patah sebagai pahlawan besarnya. Ia memindahkan perangkat upacara kerajaan dan pu¬saka Majapahit ke Demak sebagai lambang tetap berlangsungnya kesatuan kerajaan besar yang tua tersebut, tetapi dalam bentuk baru, yaitu Kesul¬tanan Demak.
Menurut catatan-catatan Tome Pires maupun buku-buku sejarah Jawa Barat, Kesultanan Demak secara berturut-turut dikuasai tiga raja, yakni: Raden Patah sebagai raja pertama; Pati Unus atau Pati Yunus (dalam versi lain disebut Pate Rodin, Jr., Cucu Pangeran Palembang Anom, Prabu Anom, Arya Sumangsang, dan Pangeran Sabrang Lor) sebagai raja kedua, menggantikan ayahnya yang wafat pada tahun 1518; dan Sultan Trenggono (dalam versi lain disebut Ki Mas Palembang, Pate Rodin, Jr., dan Molana Trenggono), saudara Pati Unus, sebagai raja ketiga (1524-1546).
Di antara ketiga raja Demak lersebut, Sultan Trenggono dikatakan mengantar kesultanan ter¬sebut ke masa kejayaannya. Pada waktu itu daerah kekuasaan Demak meliputi seluruh Jawa serta bagian-bagian besar pulau-pulau lainnya. Peda¬gang Islam di Banten dengan bantuan Demak pada tahun 1527 berhasil meruntuhkan Kerajaan Pa¬jajaran di Jawa Barat. Dengan jatuhnya Pajajaran, kesultanan Islam tersebut dapat melakukan kontrol atas Selat Sunda. Lampung sebagai sumber lada di seberang selat tersebut dikuasai dan penduduknya diislamkan.
Menurut sebuah sumber, Sunan Bonang meng¬gerakkan hati raja ketiga tersebut untuk berkun¬jung kepada Sunan Gunungjati, seorang wali di Gunungjati. Sunan itulah yang menganugerahi Trenggono gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Se¬dang gelar entperador (maharaja) yang diberikan pada tahun 1546 oleh Mender Pinto, seorang pengarang Portugis, adalah cerminan betapa tinggi nilai gelar Islam tersebut.
Ada sumber yang menyebutkan bahwa gelar Islam seperti itu sebelumnya telah diberikan kepa¬da Raden Patah, yaitu ketika ia berhasil menga¬lahkan Majapahit yang diperintah oleh Brawijaya, ayahnya sendiri. Sebagai maharaja seluruh Jawa, Raden Patah memperoleh gelar Senapati Jimbun Ngabdur Rahman Panembahan Palembang Sayyi¬din Panata Gama.
Ada sejarawan yang menyimpulkan bahwa ta¬hun 1535 Majapahit sudah jatuh, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa kejatuhan itu terjadi pada tahun Jawa 1400 (1478), bahkan lebih dini dari itu. Yang pasti, pada tahun-tahun tersebut bangkit sebuah kerajaan Islam Demak, menggeser kejayaan Majapahit dalam sejarah.
Menurut sebuah laporan Portugis, di antara raja-raja yang telah memeluk Islam, raja Kesul¬tanan Demaklah yang paling gigih dan terus-me¬nerus memerangi orang Portugis, yang dipandang sebagai orang kafir.
Demak sebagai ibu kota kerajaan Islam men¬jadikan dirinya sebagai tonggak perjuangan untuk menyebarkan agama Islam pada dasawarsa-dasa¬warsa pertama abad ke-16. Untuk itu, Kesultanan Demak meluaskan pengaruhnya bukan hanya ke wilayah barat Pulau Jawa, melainkan juga ke wila¬yah timur pulau tersebut, bahkan juga ke daerah¬-daerah luar Jawa. Pada tahun 1527 tentara Demak menguasai Tuban, setahun kemudian menduduki Wirosari (Purwodadi, Jateng), tahun berikutnya menyerang Gagelang (Madiun sekarang); selanjut¬nya Mendangkungan (sekarang daerah Blora, 1530), Surabaya (1531), Pasuruan (153$), Lamong¬an (1542), wilayah Gunung Penanggungan (1543), Mamenang (nama kuno Kerajaan Kediri, 1544), dan Sengguruh (1545).
Pengaruh kesultanan ini sampai ke Kesultanan Banjar di Kalimantan. Sebuah sumber menyebut¬kan bahwa calon pengganti raja Banjar pernah me¬minta agar sultan Demak mengirimkan tentara guna menengahi masalah pergantian raja Banjar. Calon pewaris mahkota yang didukung oleh rakyat Jawa pun masuk Islam dan oleh seorang ulama bangsa Arab pewaris itu diberi nama Islam. Ter¬sebut pula bahwa selama masa Kesultanan Demak, raja Banjar setiap tahun mengirim upeti kepada sultan Demak. Tradisi ini berhenti ketika kekuasa¬an beralih kepada raja Pajang di Jawa Tengah.
Pengaruh Kesultanan Demak di Banjar mem¬buka peluang untuk pengembangan Islam di ka¬wasan tersebut. Para sultan setempat menjadi pelopor utama berkembang suburnya Islam di Ka¬limantan. Pada masa-masa selanjutnya Kerajaan Kotawaringin menjadi Islam (1620), demikian pula Kesultanan Kutai (1700); sejak itu sampai Indonesia merdeka Kesultanan Kutai diperintah oleh tujuh raja Islam bergelar sultan.
5. Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak sebagai lambang ke¬kuasaan Islam adalah sisi lain dari Kesultanan De¬mak, yang kaya dengan legenda. Para wali di Jawa konon berpusat di masjid itu, yang didirikan oleh Wali Songo dan dianggap keramat. Masjid itulah tempat mereka untuk bertukar pikiran tentang soal-soal keagamaan, khususnya tentang mistik. Su¬nan Kalijaga disebut sebagai yang berjasa mem¬betulkan dan menetapkan arah kiblat masjid ter¬sebut.
Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa. Menurut sebuah versi, masjid itu didirikan pada tahun 1388, tetapi menurut versi lainnya didirikan pada tahun-tahun sesudah tahun tersebut. Masjid tersebut telah mempengaruhi alam pi¬kiran orang Jawa selama berabad-abad, menjadi pusat kegiatan ibadat dan keagamaan, pusat ke¬rajaan Islam pertama di Jawa. Menurut riwayat, baju ontokusumo, yang sampai sekarang masih tersimpan di makam Sunan Ka¬lijaga di Kadilangu, Demak, adalah anugerah Nabi Besar Muhammad SAW yang dikirim secara gaib ke atas mimbar masjid tersebut sesudah para wali melakukan salat subuh sebagai tanda syukur atas selesainya masjid tersebut. Berdasarkan permin¬taan Sunan Kalijaga sebelum wafatnya, upacara pencucian baju tersebut dilakukan setiap bulan Be¬sar (tahun Jawa) atau 10 Zulhijah. Setiap tahun pada bulan tersebut masyarakat dari berbagai pen¬juru berbondong-bondong untuk menyaksikan upacara itu, yang kini dikenal dengan Grebeg Be¬sar. Penting dicatat ucapan Susuhunan Paku Bu¬wono I di Kartasura pada tahun 1708, bahwa Amangkurat III, pendahulunya yang dibuang kom¬peni ke Sri Lanka, membawa semua pusaka keraja¬an; tetapi Masjid Demak dan makam di Kadilangu merupakan "pusaka" dan tidak boleh hilang.
Setelah Sultan Trenggono mengantar Kesultan¬an Demak ke masa kejayaannya, keturunan keluar¬ga kesultanan tersebut silih berganti berkuasa hing¬ga munculnya Kesultanan Pajang, dengan raja pertama Adiwijoyo, yang lebih terkenal dengan na¬ma Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggono sen¬diri. Sebuah masjid ter¬tua di Indonesia; masjid agung kerajaan Islam per¬tama di Jawa; terletak di alun-alun kota Demak, 22 km di sebelah timur laut Semarang, Jawa Tengah. Menurut legenda, masjid ini didirikan oleh Wali Songo secara bersama-sama dalam Tempo satu malam. Babad Demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala "Lawang Trus Gunaningjanmi, “ sedang pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang ta¬hun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri tahun 1479.
Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini ber¬ukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi ber¬ukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, se¬belah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, se¬belah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut, yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Se¬rambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adi pati Yunus (Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521), pada tahun 1520. Dalam proses pembangunannya, Sunan Kalijaga memegang peranan yang amat penting. Wali inilah yang berjasa membetulkan arah kiblat. Menurut riwayat, Sunan Kalijaga juga memperoleh wasiat antakusuma, yaitu sebuah bungkusan yang berisi baju 'hadiah' dari Nabi Muhammad SAW, yang jatuh dari langit di hadapan para wali yang sedang bermusyawarah di dalam masjid itu.
Bangunan Masjid Agung Demak mempunyai unsur kebudayaan Hindu Jawa yang bentuk ba¬ngunannya cenderung mirip candi yang runcing ke atas, seperti nasi tumpeng. Motif-motif hiasan yang terdapat di dalamnya tampaknya punya hubungan dengan zaman Kerajaan Majapahit. Ciri lain yang kelihatan dari bangunan masjid ini ialah corak mas¬jid 'kuburan' yang diliputi oleh suasana mistik. Atapnya yang bersusun tiga tingkat, melambang¬kan Islam, iman, dan ihsan. Jumlah pintunya (lima) melambangkan kelima rukun Islam, sedang jen¬delanya yang berjumlah enam buah melambangkan keenam rukun iman.
6. Pusat Kegiatan Islam
Pada awalnya, Masjid Agung Demak menjadi pusat kegiatan kerajaan Islam pertama di Jawa Te¬ngah, bahkan di seluruh Pulau Jawa. Bangunan ini dijadikan markas para wali untuk bermusyawarah guna mengadakan sekaten. Pada upacara ini di¬bunyikanlah gamelan dan rebana di depan serambi, sehingga masyarakat berduyun-duyun mengeru¬muni dan memenuhi depan gapura. Para wali lalu mengadakan tablig, dan rakyat pun secara sukarela dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat. Cepatnya kota Demak menjadi pusat perda¬gangan dan lalu-lintas serta pusat kegiatan peng¬islaman tidak lepas dari andil Masjid Agung De¬mak. Dari sinilah para wali dan raja Kesultanan Demak mengadakan ekspansi yang dibarengi oleh kegiatan dakwah islamiah ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Dalam kerangka ini pula¬lah masjid tua di kota Demak ini merupakan lam¬bang kerajaan Islam.
Jemaah Masjid Agung Demak merupakan ge¬nerasi awal dalam proses Islamisasi di Jawa. Para raja memberikan kuasa kepada seorang imam untuk mengasuh dan membimbing masyarakat da¬lam beribadah, terutama salat. Kemudian, ke¬kuasaan rohani yang diberikan kepada imam itu meluas pula ke lapangan kehidupan kemasyara¬katan. Dari sinilah awal-mula pemakaian istilah "penghulu" di Jawa, yang menandakan bahwa ke¬kuasaan imam tidak lagi terbatas untuk kegiatan keagamaan semata-mata.
Menurut Hikayat Hasanuddin, Masjid Agung Demak pernah mempunyai lima orang imam yang amat berjasa dalam proses Islamisasi di Jawa. Imam pertama adalah Pangeran Bonang (Sunan Bonang), yang memangku jabatan itu atas permin¬taan Pangeran Ratu di Demak. Setelah meletakkan jabatan, imam ini melakukan perjalanan sambil berdakwah, antara lain ke Surabaya, Tuban, dan Ampel Denta.
Imam berikutnya ialah Ibrahim, seorang alim yang dikenal pula sebagai Pangeran Karang Ke¬muning. Menjelang akhir hayatnya ia melawat ke Surabaya. Pengganti Ibrahim ialah Makhdum Sampang, yang ayahnya berasal dari Majapahit. Pada mula¬nya ia tinggal di Undung (dekat Kudus sekarang), kemudian ke Surabaya, Tuban, serta terakhir men¬jadi imam di Demak. Ia memenuhi panggilan tugas sebagai imam atas permintaan Pangeran Ratu, di samping ia sendiri amat keberatan bekerja di ba¬wah kekuasaan adipati Majapahit yang masih kafir. Setelah wafat ia dimakamkan di sebelah barat mas¬jid itu.
Imam keempat ialah Penghulu Rahmatullah da¬ri Undung, yang menjadi imam atas permintaan Adipati Sabrang Lor (sultan kedua Demak). Imam ini gugur dalam salah satu pertempuran dan di¬makamkan di samping Masjid Agung Demak. Penghulu Rahmatullah digantikan oleh Pange¬ran Kudus yang dikenal pula dengan Pandita Rab¬bani. Imam inilah yang berhasil mendirikan kota Kudus (Quds, kota suci) sesudah melakukan tugas ketentaraan melawan Majapahit. Imam ini dikenal sebagai seorang yang memegang andil besar dalam merebut Majapahit.
Masjid Agung Demak pernah ditawarkan se¬bagai tempat untuk mengucapkan sumpah setia ra¬ja Mataram, Sunan Amangkurat II (Adipati Anom), dengan kompeni pada tahun 1688. Pada tahun 1710, bangunan masjid ini direhabilitasi atas perintah raja Mataram berikut, Paku Buwono I (Sunan Puger), dengan alasan bahwa tempat ini merupakan 'pusaka mutlak' yang tidak boleh hilang.
Di zaman Indonesia merdeka, Masjid Agung Demak telah beberapa kali dipugar. Tahun 1965 pemugarannya dimulai dengan memperhatikan ke¬indahan dari depan, sehingga bangunan lain yang ada di sana dipindahkan ke tempat lain. Tahun 1966 dibangun pagar depan dengan menggunakan ornamen batu; instalasi listrik dipasang, sedang Tratag rahmat (ruang pertemuan semacam pendo¬po) yang bukan merupakan bangunan asli dibong¬kar. Tahun berikutnya diperbarui tempat wudu sebelah kiri dan kanan. Pada tahun 1969 dibongkar bangunan bagian serambi serta dibangun kembali. Seterusnya tahun 1971, 1973, 1974, dan 1975 di¬adakan berbagai perbaikan. Tahun 1980-an, diada¬kan pula pemugaran dengan mempertahankan bentuk asli. Peresmian sesudah pemugaran dilaku¬kan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 21 Maret 1987. Negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) menetapkan Masjid Demak sebagai peninggalan sejarah Islam. Rahmah El-Yunusiyyah memang sangat giat dan bersemangat sekali untuk mengembangkan sekolah yang didirikannya ini. Pada tahun 1930, untuk meningkatkan kemampuan murid madrasah yang terdiri dari tujuh kelas itu, ia mendirikan tingkat menengah, dengan tujuan untuk memberikan pe¬lajaran dan pendidikan yang lebih tinggi kepada murid-murid, terutama supaya mereka mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam mengajar. Pada tahun 1937, sebuah sekolah guru untuk putri pun didirikan. Pada tahun-tahun 1930-an itu, perguru¬an ini mengalami peningkatan. Murid-muridnya te¬rus bertambah banyak. Mereka bcrasal dari Yogya¬karta, Lombok, Ternate, Halmahera, Sulawesi, dan Malaya, di samping berasal dari Sumatra sendiri. Pada tahun 1935, Diniyah Puteri mendirikan sebuah cabangnya di Jakarta yang membina tiga buah sekolah, yaitu di Gang Nangka Kwitang, di Kebon Kacang Tanah Abang, dan di Rawasari.
Dalam masa perjuangan mempertahankan ke¬merdekaan Republik Indonesia, proses pendidikan perguruan ini sempat terhenti. Setelah Belanda menduduki Padangpanjang pada agresi kedua, ge¬dung perguruan diniyah ini berfungsi sebagai Ru¬mah Sakit Umum khusus untuk pasien wanita. Gedung ini baru kembali berfungsi sebagai lem¬baga pendidikan setelah penyerahan kedaulatan. Sejak itu Madrasah Diniyah Puteri ini kembali ber¬usaha meneruskan cita-citanya.
Kemajuan-kemajuan yang dicapainya sebelum dan sesudah kemerdekaan mengundang banyak pemerhati pendidikan ke lembaga ini, seperti dari Malaysia, Singapura, dan negara-negara Timur Tengah, di samping dari dalam negeri sendiri. Pada tahun 1955, Rektor Universitas al-Azhar Cairo mengadakan kunjungan khusus ke perguruan ini. Syekh al-Azhar sangat kagum melihat usaha besar ini dan mengakui secara terus terang bahwa Mesir dengan al-Azharnya yang sudah berusia seribu tahun itu masih ketinggalan. Lembaga pendidikan khusus putri waktu itu belum ada di Mesir, apalagi di negeri-negeri Arab yang lain. Pada tahun 1957, Rahmah El-Yunusiyyah diundang ke al-Azhar dan mendapat gelar kehormatan keagamaan yang ter¬tinggi dari Rapat Senat Guru Besar a1-Azhar, yaitu Syaikhah, gelar yang belum pernah dianugerahkan sebelumnya. Karena keberhasilannya, Pemerintah Mesir memberikan beasiswa bagi lulusan madrasah ini untuk melanjut ke al-Azhar, yaitu pada tahun 1950, 1965, dan 1972. Pada tahun 1969, pemerintah Kuwait melakukan hal yang sama di salah satu lem¬baga pendidikan tinggi di Kuwait.
Dari dalam negeri sendiri, per6atian dan peng¬hargaan pemerintah juga besar. Pada tahun 1969, pemerintah melalui Departemen Agama RI me¬ngeluarkan surat keputusan yang mempersamakan ijazah Fakultas Tarbiyah dan Dakwah perguruan itu dengan ijazah IAIN. Meskipun demikian, apa yang dicita-citakan oleh pendiri perguruan ini be¬lum lagi tercapai, dan oleh karena itu, perkembang¬an perguruan ini masih terus berlanjut. Rahmah El-Yunusiyyah menginginkan agar perguruan ini juga mendirikan Universitas Islam khusus untuk wanita dengan lima fakultas, yaitu Adab, Dakwah, Syari'ah, Kesehatan, dan Perindustrian. Sepeninggal Rahmah EI-Yunusiyyah, pimpinan Diniyah Puteri dipegang oleh Dra. Hajjah Isnani¬yah Saleh. Pada tahun 1990, Diniyah Puteri beker¬jasama dengan Pondok Modem Gontor mem¬buka Diniyah Putera. Setelah Isnaniyah Saleh meninggal (8 Agustus 1990), lembaga ini dipimpin oleb H Husainah Nurdin oleh karena orang Palembang juga mempunyai rasa handarbeni atas Kesultanan Demak Bintara.
7. Putri Campa
Raden Patah merupakan raja pertama Kerajaan Demak. Menurut Babad Tanah Jawi Raden Patah adalah putra Brawijaya raja Majapahit yang terakhir dari istrinya yang berasal dari Cina yaitu Putri Campa. Pada saat istrinya sedang mengandung diserahkan kepada Arya Damar Adipati Palembang. Setelah dewasa kembali ke Jawa dan berguru kepada Sunan Ampel di Ngampel Denta yang kemudian diambil menjadi menantu. Raden Patah oleh Sunan Ampel diperintahkan membuka hutan Bintara di daerah Glagahwangi untuk dijadikan perkampungan dan menyebarkan agama Islam. Perkampungan tersebut akhirnya berkembang pesat menjadi kota. Oleh Raja Brawijaya Raden Patah diangkat menjadi Adipati di Demak.
Salah satu sebab runtuhnya kerajaan Majapahit menurut Babad yang ditandai dengan sengkalan “sirna ilang kertaning bhumi” yang diartikan sebagai tahun 1400 Saka atau tahun 1478 M, merupakan akibat serangan dari Demak yang dipimpin oleh Raden Patah. Setelah Majapahit runtuh, Sunan Ngampel Denta yang merupakan Sunan tertua di antara para wali menunjuk Raden Patah menjadi Raja Demak sebagai pengganti ayahnya. Akan tetapi untuk menghilangkan atau memusnahkan bekas kekafiran kerajaan Majapahit Sunan Giri ditunjuk untuk memegang pimpinan tertinggi selama 40 hari. Raden Patah dinobatkan menjadi raja Demak yang pertama dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdur Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata Gama.
Kerajaan Demak merupakan kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa yang tidak hanya menurunkan raja-raja Islam berikutnya, akan tetapi juga mendorong tumbuh dan berkembangnya ajaran agama Islam yang di sebarkan oleh para wali. Munculnya kerajaan Demak merupakan awal masuknya pengaruh agama Islam dalam bidang politik dan pemerintahan di Jawa. Pusat kerajaan Demak terletak di daerah Bintoro di muara sungai Demak, yaitu antara Bergota dan Jepara. Bergota merupakan sebuah pelabuhan yang pada masa Mataram Kuna pernah menjadi pelabuhan ekspor bagi Mataram Kuna. Sedangkan Jepara berkembang menjadi pelabuhan penting bagi kerajaan Demak.
8. Bukti-Bukti Arkeologis
Sumber-sumber historis menunjukkan bahwa Demak merupakan Kerajaan Islam yang cukup besar pengaruhnya di kawasan Nusantara. Oleh karena itu tentunya memiliki ibu kota kerajaan sebagai tempat tinggal raja dan para pejabat dalam rangka menjalankan roda pemerintahan. Akan tetapi sampai saat ini belum ditemukan bukti-bukti arkeologis yang bersifat artefaktul yang dapat menunjukkan letak bekas ibu kota kerajaan. Satu-satunya peninggalan bangunan yang dapat ditemukan kembali adalah Masjid Agung yang berdiri tegak di pusat korta Kabupaten Demak.
Menurut Babad Demak, Masjid Demak dibangun pada masa pemerintahan Raden Patah yaitu pada tahun 1399 Saka atau 1477 M (“Lawang Trus Gunaning Janma“). Setelah dua tahun sejak peletakan batu pertama Masjid Agung Demak selesai dibangun, yaitu pada tahun 1401 Saka atau 1479 M yang dilambangkan dengan sengkalan bergambar kura-kura yang terdapat di Mihrab Masjid Agung Demak. Selain itu, juga terdapat sengkalan memet dan prasasti yang mungkin juga berhubungan dengan tahun pendirian Masjid Agung Demak, yaitu Hiasan Lawang Bledhek yang terdapat pada pintu utama masjid yang ditafsirkan berbunyi “ naga mulat salira wani “ yang berarti tahun 1388 Saka atau 1466 M. Prasasti yang berhubungan dengan pendirian masjid terdapat di atas pintu masjid bagian dalam berhuruf dan berbahasa Jawa yang berbunyi “ handegipun masjid yasanipun para wali nalika dinten Kemis Kliwon malem Jumu’ah Legi tanggal 1 Dulkaidah tahun 1428 “ Prasasti ini ditafsirkan swebagai angka tahun peresmian Masjid Agung Demak yaitu tahun 1428 Saka atau 1506 M. Raden Patah meninggal pada tahun 1518 M dan dimakamkan di dekat Masjid Agung Demak. Pengganti Raden Patah adalah putranya yang bernama Pati Unus, akan tetapi 3 tahun kemudian diapun meningggal dan digantikan oleh adiknya yang bernama Pangeran Trenggono yang memerintah sampai tahun 1546 M.
1. Perjuangan Raden Patah
Ketika Palembang diperintah oleh Arya Damar, negeri itu aman dan makmur. Banyak saudagar dari Jawa, Maluku, Malaka, Brunei, Tiongkok dan lain-lain, berdagang di kota itu. Mereka datang membawa barang dagangan. Gula dan tembakau dari Jawa Timur, rempah dari Maluku, barang-barang dari porselen dari Tiongkok dan lain-lain. mereka pulang ke negerinya membawa barang dagangan pula, seperti lada, rotan, damar, dan sebagainya (Senggana, 1952).
Arya Damar berputra dua orang, Raden Patah dan Raden Husein. Kedua pemuda itu tampan dan gagah, wjahnya bersinar-sinar. Sebenarnya Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya dengan putri Cina. Jadi Raden Huseinlah putra kandung Arya Damar. Betapapun, kasih sayang ayah kepada putra kandungnya itu sama saja dengan kasihnya kepada Raden Patah. Bahkan Raden Patah dicalonkan untuk menggantikannya memangku jabatan Adipati Anom.
Akan tetapi Raden Patah menolak. Ia tahu, bahwa Raden Husein yang berhak menggantikan ayahnya. Rahasia kelahirannya sendiri kebetulan dapat diketahui ketika kedua pengasuhnya membicaraakn asal-usulnya. Supaya jangan menjadi penghalang bagi Raden Husein, diputuskannya akan meninggalkan Palembang secara diam-diam.
2. Calon Adipati Anom
Demikianlah, suatu pagi kraton pun gempar. Raden Patah tiba-tiba menghilang. Seluruh penduduk kraton jadi sibuk. Calon Adipati Anom yang sangat dihormati oleh para punggawa ternyata telah melarikan diri malam-malam. Dicari kesana-kemari, ke segenap pelosok, namun tak juga bersua. Sementara itu matahari telah condong ke arah barat. Adipati mengadakan sidang darurat. Kepala rumah tangga kraton melaporkan tentang usaha yang telah dilakukan. Akhirnya Adipati menanyai Raden Husein, apakah ia tahu kemana Raden Patah pergi.
“Ayahanda, hamba tak tahu kemana kakanda pergi,” jawabnya.
“Tapi mengapa ia pergi? Kau tentu tahu,” desak sang ayah.
“Ampun ayahanda, hamba pun tak tahu.”
“Apa benar kau tak tahu?”
“Ampun ayahanda, anak tak berani berdusta.”
“Kau tentu cekcok dengan kakakmu!” hardik Adipati.
Kerapatan pun hening. Raden Husein tunduk, hampir tak kuasa menahan airmatanya. Kerongkongannya serasa tersumbat. Dengan gemetar ia menyembah, lalu mengundurkan diri. Hatinya sedih bukan kepalang. Telah ditinggalkan saudara, kini dimurkai pula oleh sang ayah. Ia berniat menyusul kakaknya dan berangkat malam itu juga. Kira-kira seperti dia juga Raden Patah meninggalkan kraton itu. menyelinap keluar dan terus menuju ke pasar. Ya, demikianlah Raden Patah ketika meloloskan diri. Berjalan tak tentu arah. Hanya menurutkan kehendak kaki dan hati. Sebentar berhenti melepaskan lelah, kemudian melanjutkan perjalanan kembali.
Setelah sampai di luar kota, Raden Patah pun mengaso agak lama. Duduklah ia di bawah sebatang pohon yang rindang di tepi sebuah danau. Ia menyandarkan badan di batang kayu itu dan melepaskan pandangan ke permukaan air yang meriak ditiup angin. Sebutir buah kayu jatuh, “Plung!” Air menyiprat naik dan di permukaan danau timbul lingkaran air, yang meluas menipis dan akhirnya menghilang.
Raden Patah asyik melihatnya. Di tepi danau banyak kembang teratai. Indah benar nampaknya. Sebentar terdengar kecipak ikan. Daunan kering melayang-layang jatuh ke permukaan air ditiup angin semilir. Bagi Raden Patah angin itu sangat menyegarkan. Dan karena amat lelah iapun tertidur, sebentar saja telah kedengaran dengkurnya. Belum lama ia tidur, Raden Husein sampai. Mula-mula tak tahu ia kakaknya ada disitu. Ia lagi lewat, ketika mendengar dengkur orang. Dikuakkannya semak dan ranting di depannya, lalu dilihatnya seorang pemuda tidur pulas. Setelah diperhatikan ternyata kakaknya sendiri. Bukan main girang hatinya.
“Enak benar tidur kakanda. Tentu ia amat letih,” pikirnya. Amat perlahan ia melangkah supaya tidak mengejutkan kakaknya. Akan tetapi tiba-tiba terpijak olehnya sebuah ranting kering. “Pletak, krosak!” Raden Patah terkejut bangun dan melihat adiknya berdiri di sampingnya. Ia segera melompat bangun dan merangkul Raden Husein. Lalu mereka berpeluk-pelukan dan saling tanya:
“Mengapa kakanda di sini?”
“Kenapa kau susul aku?”
“Kemudian hening sejurus. Seekor burung hinggap di sebuah ranting, berkicau sebentar, lalu terbang lagi. jatuh pula sebutir buah kayu kering ke air, “Plung!”
“Hai, kenapa kau susul aku?” tanya Raden Patah mengulangi.
“Ayahanda murka kepadaku,” jawab Raden Husein.
“Murka? Kenapa? Kau tentu suka membantah perintah ayah. Itu tak baik.”
“Bukan begitu. ayah murka karena kakanda meninggalkan kraton. Disangkanya kita cekcok.”
“O, begitu. tapi kini kau hendak ke mana?”
“Aku akan pergi ke Jawa.”
“Maksudku akan mengabdi kepada raja Majapahit.”
“Kalau begitu marilah kita pergi bersama-sama.”
“Tapi, … bukankah kanda akan dijadikan pengganti ayah?”
“Aku tak mau.”
“Kenapa?”
Raden Patah tak menjawab. Tak smapai hati ia mengatakan, bahwa ia sebenarnya bukan kakak Raden Husein.
“Bukankah kakanda jauh lebih tua?” kata Raden Husein.
“Sudahlah, aku tak mau. Karena itu aku meninggalkan kraton. Pendeknya, kalau kau benar-benar akan ke Jawa marilah kita mencari kapal.”
Lalu kedua pemuda itu bergegas pergi ke pelabuhan. Kebetulan ada seorang saudagar yang kapalnya telah siap akan berlayar ke Jawa. Dua bersaudara itu minta supaya diijinkan menumpang. Saudagar itu tidak keberatan, karena ia tidak tahu bahwa pemuda itu adalah putra Adipati yang sedang dicari-cari.
3. Mendarat Di Gresik
Demikianlah hari itu juga kapal berlayar dan setelah beberapa hari di lautan, sampailah mereka di Jawa Timur. Raden Patah dan Raden Husein mendarat di Gresik setelah mengucapkan terima kasih kepada saudagar tersebut. Ketika itu di Gresik sedang berkembang agama Islam. Maulana Malik Ibrahim yang mula-mula menjadi mubaligh di situ. Setelah beliau wafat, digantikan oleh Raden Rahmat, yang berkedudukan di Ampel Denta dan karena itu terkenal sebagai Sunan Ampel.
Telah banyak orang yang beragama Budha masuk Islam. Agama Islam semakin berkembang, berkat kegiatan dan kebijaksanaan Sunan Ampel. Masjid peninggalan Malik Ibrahim dipelihara dan diperindah. Pesantren Sunan Ampel makin maju. Namanya termasyur sampai ke Palembang. Raden Patah ingin mengabdi kepadanya, lalu mengajak adiknya. Walaupun Raden Husein sebenarnya ingin mengabdi kepada raja Majapahit, tetapi kakaknya tidak ditolaknya. Kedua pemuda itupun pergi menghadap. Mereka diterima oleh seoragn menteri dan disuruh menunggu di serambi masjid. Tak lama kemudian Sunan Ampel pun keluarlah bertanya:
“Wahai orang muda, siapakah kalian dan apakah maksudmu kemari?”
“Kanjeng Sunan, kami dari Palembang. Nama hamba Patah dan ini adik hamba Husein. Kami ingin mempelajari agama Islam.”
“Mempelajari agama tidak gampang. Hanya mereka yang sungguh-sungguh akan dapat memetik buahnya.”
Pendek kata pengabdian Raden Patah dan Raden Husein diterima baik. Ajaran baru merasuki jiwanya dan mereka pun menjadi penganut Islam yang taat.
Bagaimana juga, Raden Husein tak dapat melupakan niatnya semula akan mengabdi kepada raja Majapahit. Setelah berunding dengan Raden Patah dan Sunan Ampel, ia pun diijinkan pergi ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya. Pengabdiannya diterima dan berkat kecakapannya ia kemudian diangkat menjadi Adipati Terung.
Sementara itu Raden Patah menjadi murid yang rajin dan sangat disayangi oleh Sunan Ampel. Ia cerdas, giat, dan sopan santun dan bercita-cita besar. Oleh Sunan ia dinikahkan dengan seorang cucunya dan disuruh membuka setumpak hutan untuk dijadikan kampung. Kampung baru itu diberi nama Bintoro dan diberi sejumlah pasukan bersenjata. Sejak itu Raden Patah bergelar Adipati Bintoro. Ia pandai memerintah, adil dan bijaksana. Lama-lama prajurit Majapahit tertarik oleh ajaran Islam, tanpa dipaksa. Pengaruh agama baru itu makin meluas dan mendalam. Sang Adipati makin disegani dan dipatuhi, dan akhirnya diangkat menjadi Sultan oleh rakyatnya.
Suatu hari Adipati Terung datang mengunjungi Sultan Bintra untuk menyampaikan titah Sang Prabu, supaya segera menghadap ke Majapahit. Sultan Bintoro menolak dan sebaiknya menanyakan tentang perselisihan sang Prabu dengan Sunan Giri dan tentang para Adipati yang telah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Adipati Terung terkejut, lalu bertanya, “Apa yang sebenarnya kakanda maksud?”
“Aku ingin sang prabu diganti,” jawab Sultan Bintoro.
Sementara itu kedengaran suara gemuruh yang makin mendekat. Tak lama kemudian kelihatanlah tentara dari Giri, Gresik dan Tuban, amat banyaknya.
“Ah, kini aku mengerti,” kata adipati Terung.
“Ya, itulah jawabanku atas panggilan Sang Prabu,” kata Sultan Bintoro.
Ketika itu alun-alun telah penuh sesak oleh prajurit yang berangkat ke Majapahit. Mereka lagi menunggu perintah. Berita tentang ini telah sampai pula ke Majapahit. Ketika angkatan perang Bintoro memasuki ibukota Majapahit, Sang Prabu serta seisi kraton telah menyingkirkan diri. Angkatan perang Bintoro menduduki kraton tanpa perlawanan.
Sejak itu kekuasaan Majapahit pun lenyap sama sekali. Kraton dipindahkan ke Demak dan sultan Bintoro, yakni Raden Patah menjadi raja dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah.
Menurut babad, Raden Patah, yang nama kecil¬nya Pangeran Jimbun, adalah putra raja Majapahit, Kertabumi Brawijaya V (memerimtah 14(i8-147S). Ibunya, Putri Campa, seorang muslimah. Sebagai¬mana ibunya, Raden Patah menganut agama Islam. Pada masa mudanya Raden Patah memperoleh pendidikan yang berlatarbelakang kebangsawanan dan politik. Dua puluh tahun lamanya ia hidup di istana adipati Majapahit penguasa Palembang, Aria Damar. Sesudah dewasa ia kembali ke Maja¬pahit.
Raden Patah dilahirkan di saat Majapahit se¬dang mengalami situasi yang tidak menentu setelah Hayam Wuruk meninggal. Sejak itu terjadi pere¬butan kekuasaan antara Wikramawardhana, me¬nantu Hayam Wuruk yang memperoleh limpahan mahkota Majapahit, dan Wirabhumi, putra dari salah seorang selir Hayam Wuruk. Keadaan ter¬sebut terus berlangsung hingga masa pemerintahan Brawijaya V, yang kekuasaannya selalu diincar oleh Girindra Wardhana yang berkuasa di Keling.
Setelah berumur 20 tahun, Raden Patah dikirim kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk memperoleh pendidikan agama. Ia mendalami agama Islam bersama dengan pemuda-pemuda lainnya, seperti Raden Paku (Sunan Giri) dan putra Raden Rahmat, Maulana Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat).
4. Nyi Ageng Maloka
Setelah dianggap mampu oleh Raden Rahmat, Raden Patah dikawinkan dengan cucunya, Nyi Ageng Maloka. Selanjutnya ia dipercaya untuk menjadi mubalig dan membuat pemukiman masya¬rakat muslim di Bintoro, yang kemudian menjadi Demak, dengan diiringi oleh sultan Palemhang, Aryadila, beserta 200 tentaranya. Ia memusatkan kegiatannya di Bintaro karena daerah tersebut di¬rencanakan oleh Wali Songo sebagai pusat keraja¬an Islam di Jawa. Di daerah itu ia mendirikan pon¬dok pesantren. Penyiaran agama Islam di daerah itu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahu¬an. Perlahan-lahan daerah tersehut menjadi pusat keramaian dan perdagangan. Para wali bersepakat mengangkatnya sebagai sultan Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah. Kemudian ia me¬lepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Ia meme¬rintah sampai tahun 1518 dan Demak menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa sejak pemerin¬tahannya. Palembang menjadi kawah candradimuka bagi pendiri Kraton Demak.
Kasultanan Demak Bintoro yang didirikan dengan cara penuh kedamaian itu, tentu saja sesuai dengan visi-misi Jimly Asshiddiqie yang menghendaki adanya cita-cita supremasi hukum. Dalam masa pemerintahannya, Raden Patah te¬lah berhasil dalam berbagai bidang, di antaranya (1) perluasan dan pertahanan kerajaan, (2) pe¬ngembangan Islam dan pengamalannya, dan (3) sistem musyawarah dan kerja sama ulama dan umara.
Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan hisa dilihat ketika ia dapat menaklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahta Majapahit (tahun 1478) dan dapat mengam¬bil alih kekuasaan Majapahit. Selain itu ia juga mengadakan perlawanan terhadap Portugis, yang telah menduduki Malaka dan ingin mengganggu Demak. Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Adipati Muhammad Yunus atau Pati Unus (1511), tetapi gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang meng¬gantikan ayahnya pada tahun 1518.
Dalam bidang pengamalan Islam dan pengembangannya, Raden Patah telah mencoba secara perlahan-lahan dan bijaksana untuk menerapkan hukum Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Di samping itu, ia juga membangun keraton dan mendirikan masjid (1489) yang sampai sekarang ter¬kenal dengan Masjid Agung Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh para wali atas ban¬tuan daerah-daerah lainnya yang sudah lebih da¬hulu menganut Islam (seperti Jepara, Tuban, dan Gresik), Raden Patah, sebagai adipati Islam di De¬mak, secara terang-terangan memutuskan ikatan dengan Majapahit, yang pada masa itu sedang ber¬ada di ujung kemunduran. Ia mendirikan kerajaan Islam dengan Demak sebagai ibu kota.
Tome Pires, seorang pengelana Portugis pada masa itu, menggambarkan bahwa peralihan ke¬kuasaan politik ke tangan orang Islam telah terjadi sejak akhir abad ke-15, baik karena para bang¬sawan Jawa memeluk agama Islam secara sukarela maupun karena pengaruh orang-orang asing dari berbagai bangsa Islam, yang membuat pemukiman di bandar-bandar pantai utara Pulau Jawa, misal¬nya di Tuban, Demak, dan Jepara.
Babad pada masa sebelum munculnya raja Ma¬taram pertama dipenuhi dengan legenda yang menghubungkan munculnya Kerajaan Demak de¬ngan runtuhnya Majapahit pra-Islam dan dengan Raden Patah sebagai pahlawan besarnya. Ia memindahkan perangkat upacara kerajaan dan pu¬saka Majapahit ke Demak sebagai lambang tetap berlangsungnya kesatuan kerajaan besar yang tua tersebut, tetapi dalam bentuk baru, yaitu Kesul¬tanan Demak.
Menurut catatan-catatan Tome Pires maupun buku-buku sejarah Jawa Barat, Kesultanan Demak secara berturut-turut dikuasai tiga raja, yakni: Raden Patah sebagai raja pertama; Pati Unus atau Pati Yunus (dalam versi lain disebut Pate Rodin, Jr., Cucu Pangeran Palembang Anom, Prabu Anom, Arya Sumangsang, dan Pangeran Sabrang Lor) sebagai raja kedua, menggantikan ayahnya yang wafat pada tahun 1518; dan Sultan Trenggono (dalam versi lain disebut Ki Mas Palembang, Pate Rodin, Jr., dan Molana Trenggono), saudara Pati Unus, sebagai raja ketiga (1524-1546).
Di antara ketiga raja Demak lersebut, Sultan Trenggono dikatakan mengantar kesultanan ter¬sebut ke masa kejayaannya. Pada waktu itu daerah kekuasaan Demak meliputi seluruh Jawa serta bagian-bagian besar pulau-pulau lainnya. Peda¬gang Islam di Banten dengan bantuan Demak pada tahun 1527 berhasil meruntuhkan Kerajaan Pa¬jajaran di Jawa Barat. Dengan jatuhnya Pajajaran, kesultanan Islam tersebut dapat melakukan kontrol atas Selat Sunda. Lampung sebagai sumber lada di seberang selat tersebut dikuasai dan penduduknya diislamkan.
Menurut sebuah sumber, Sunan Bonang meng¬gerakkan hati raja ketiga tersebut untuk berkun¬jung kepada Sunan Gunungjati, seorang wali di Gunungjati. Sunan itulah yang menganugerahi Trenggono gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Se¬dang gelar entperador (maharaja) yang diberikan pada tahun 1546 oleh Mender Pinto, seorang pengarang Portugis, adalah cerminan betapa tinggi nilai gelar Islam tersebut.
Ada sumber yang menyebutkan bahwa gelar Islam seperti itu sebelumnya telah diberikan kepa¬da Raden Patah, yaitu ketika ia berhasil menga¬lahkan Majapahit yang diperintah oleh Brawijaya, ayahnya sendiri. Sebagai maharaja seluruh Jawa, Raden Patah memperoleh gelar Senapati Jimbun Ngabdur Rahman Panembahan Palembang Sayyi¬din Panata Gama.
Ada sejarawan yang menyimpulkan bahwa ta¬hun 1535 Majapahit sudah jatuh, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa kejatuhan itu terjadi pada tahun Jawa 1400 (1478), bahkan lebih dini dari itu. Yang pasti, pada tahun-tahun tersebut bangkit sebuah kerajaan Islam Demak, menggeser kejayaan Majapahit dalam sejarah.
Menurut sebuah laporan Portugis, di antara raja-raja yang telah memeluk Islam, raja Kesul¬tanan Demaklah yang paling gigih dan terus-me¬nerus memerangi orang Portugis, yang dipandang sebagai orang kafir.
Demak sebagai ibu kota kerajaan Islam men¬jadikan dirinya sebagai tonggak perjuangan untuk menyebarkan agama Islam pada dasawarsa-dasa¬warsa pertama abad ke-16. Untuk itu, Kesultanan Demak meluaskan pengaruhnya bukan hanya ke wilayah barat Pulau Jawa, melainkan juga ke wila¬yah timur pulau tersebut, bahkan juga ke daerah¬-daerah luar Jawa. Pada tahun 1527 tentara Demak menguasai Tuban, setahun kemudian menduduki Wirosari (Purwodadi, Jateng), tahun berikutnya menyerang Gagelang (Madiun sekarang); selanjut¬nya Mendangkungan (sekarang daerah Blora, 1530), Surabaya (1531), Pasuruan (153$), Lamong¬an (1542), wilayah Gunung Penanggungan (1543), Mamenang (nama kuno Kerajaan Kediri, 1544), dan Sengguruh (1545).
Pengaruh kesultanan ini sampai ke Kesultanan Banjar di Kalimantan. Sebuah sumber menyebut¬kan bahwa calon pengganti raja Banjar pernah me¬minta agar sultan Demak mengirimkan tentara guna menengahi masalah pergantian raja Banjar. Calon pewaris mahkota yang didukung oleh rakyat Jawa pun masuk Islam dan oleh seorang ulama bangsa Arab pewaris itu diberi nama Islam. Ter¬sebut pula bahwa selama masa Kesultanan Demak, raja Banjar setiap tahun mengirim upeti kepada sultan Demak. Tradisi ini berhenti ketika kekuasa¬an beralih kepada raja Pajang di Jawa Tengah.
Pengaruh Kesultanan Demak di Banjar mem¬buka peluang untuk pengembangan Islam di ka¬wasan tersebut. Para sultan setempat menjadi pelopor utama berkembang suburnya Islam di Ka¬limantan. Pada masa-masa selanjutnya Kerajaan Kotawaringin menjadi Islam (1620), demikian pula Kesultanan Kutai (1700); sejak itu sampai Indonesia merdeka Kesultanan Kutai diperintah oleh tujuh raja Islam bergelar sultan.
5. Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak sebagai lambang ke¬kuasaan Islam adalah sisi lain dari Kesultanan De¬mak, yang kaya dengan legenda. Para wali di Jawa konon berpusat di masjid itu, yang didirikan oleh Wali Songo dan dianggap keramat. Masjid itulah tempat mereka untuk bertukar pikiran tentang soal-soal keagamaan, khususnya tentang mistik. Su¬nan Kalijaga disebut sebagai yang berjasa mem¬betulkan dan menetapkan arah kiblat masjid ter¬sebut.
Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa. Menurut sebuah versi, masjid itu didirikan pada tahun 1388, tetapi menurut versi lainnya didirikan pada tahun-tahun sesudah tahun tersebut. Masjid tersebut telah mempengaruhi alam pi¬kiran orang Jawa selama berabad-abad, menjadi pusat kegiatan ibadat dan keagamaan, pusat ke¬rajaan Islam pertama di Jawa. Menurut riwayat, baju ontokusumo, yang sampai sekarang masih tersimpan di makam Sunan Ka¬lijaga di Kadilangu, Demak, adalah anugerah Nabi Besar Muhammad SAW yang dikirim secara gaib ke atas mimbar masjid tersebut sesudah para wali melakukan salat subuh sebagai tanda syukur atas selesainya masjid tersebut. Berdasarkan permin¬taan Sunan Kalijaga sebelum wafatnya, upacara pencucian baju tersebut dilakukan setiap bulan Be¬sar (tahun Jawa) atau 10 Zulhijah. Setiap tahun pada bulan tersebut masyarakat dari berbagai pen¬juru berbondong-bondong untuk menyaksikan upacara itu, yang kini dikenal dengan Grebeg Be¬sar. Penting dicatat ucapan Susuhunan Paku Bu¬wono I di Kartasura pada tahun 1708, bahwa Amangkurat III, pendahulunya yang dibuang kom¬peni ke Sri Lanka, membawa semua pusaka keraja¬an; tetapi Masjid Demak dan makam di Kadilangu merupakan "pusaka" dan tidak boleh hilang.
Setelah Sultan Trenggono mengantar Kesultan¬an Demak ke masa kejayaannya, keturunan keluar¬ga kesultanan tersebut silih berganti berkuasa hing¬ga munculnya Kesultanan Pajang, dengan raja pertama Adiwijoyo, yang lebih terkenal dengan na¬ma Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggono sen¬diri. Sebuah masjid ter¬tua di Indonesia; masjid agung kerajaan Islam per¬tama di Jawa; terletak di alun-alun kota Demak, 22 km di sebelah timur laut Semarang, Jawa Tengah. Menurut legenda, masjid ini didirikan oleh Wali Songo secara bersama-sama dalam Tempo satu malam. Babad Demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala "Lawang Trus Gunaningjanmi, “ sedang pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang ta¬hun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri tahun 1479.
Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini ber¬ukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi ber¬ukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, se¬belah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, se¬belah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut, yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Se¬rambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adi pati Yunus (Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521), pada tahun 1520. Dalam proses pembangunannya, Sunan Kalijaga memegang peranan yang amat penting. Wali inilah yang berjasa membetulkan arah kiblat. Menurut riwayat, Sunan Kalijaga juga memperoleh wasiat antakusuma, yaitu sebuah bungkusan yang berisi baju 'hadiah' dari Nabi Muhammad SAW, yang jatuh dari langit di hadapan para wali yang sedang bermusyawarah di dalam masjid itu.
Bangunan Masjid Agung Demak mempunyai unsur kebudayaan Hindu Jawa yang bentuk ba¬ngunannya cenderung mirip candi yang runcing ke atas, seperti nasi tumpeng. Motif-motif hiasan yang terdapat di dalamnya tampaknya punya hubungan dengan zaman Kerajaan Majapahit. Ciri lain yang kelihatan dari bangunan masjid ini ialah corak mas¬jid 'kuburan' yang diliputi oleh suasana mistik. Atapnya yang bersusun tiga tingkat, melambang¬kan Islam, iman, dan ihsan. Jumlah pintunya (lima) melambangkan kelima rukun Islam, sedang jen¬delanya yang berjumlah enam buah melambangkan keenam rukun iman.
6. Pusat Kegiatan Islam
Pada awalnya, Masjid Agung Demak menjadi pusat kegiatan kerajaan Islam pertama di Jawa Te¬ngah, bahkan di seluruh Pulau Jawa. Bangunan ini dijadikan markas para wali untuk bermusyawarah guna mengadakan sekaten. Pada upacara ini di¬bunyikanlah gamelan dan rebana di depan serambi, sehingga masyarakat berduyun-duyun mengeru¬muni dan memenuhi depan gapura. Para wali lalu mengadakan tablig, dan rakyat pun secara sukarela dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat. Cepatnya kota Demak menjadi pusat perda¬gangan dan lalu-lintas serta pusat kegiatan peng¬islaman tidak lepas dari andil Masjid Agung De¬mak. Dari sinilah para wali dan raja Kesultanan Demak mengadakan ekspansi yang dibarengi oleh kegiatan dakwah islamiah ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Dalam kerangka ini pula¬lah masjid tua di kota Demak ini merupakan lam¬bang kerajaan Islam.
Jemaah Masjid Agung Demak merupakan ge¬nerasi awal dalam proses Islamisasi di Jawa. Para raja memberikan kuasa kepada seorang imam untuk mengasuh dan membimbing masyarakat da¬lam beribadah, terutama salat. Kemudian, ke¬kuasaan rohani yang diberikan kepada imam itu meluas pula ke lapangan kehidupan kemasyara¬katan. Dari sinilah awal-mula pemakaian istilah "penghulu" di Jawa, yang menandakan bahwa ke¬kuasaan imam tidak lagi terbatas untuk kegiatan keagamaan semata-mata.
Menurut Hikayat Hasanuddin, Masjid Agung Demak pernah mempunyai lima orang imam yang amat berjasa dalam proses Islamisasi di Jawa. Imam pertama adalah Pangeran Bonang (Sunan Bonang), yang memangku jabatan itu atas permin¬taan Pangeran Ratu di Demak. Setelah meletakkan jabatan, imam ini melakukan perjalanan sambil berdakwah, antara lain ke Surabaya, Tuban, dan Ampel Denta.
Imam berikutnya ialah Ibrahim, seorang alim yang dikenal pula sebagai Pangeran Karang Ke¬muning. Menjelang akhir hayatnya ia melawat ke Surabaya. Pengganti Ibrahim ialah Makhdum Sampang, yang ayahnya berasal dari Majapahit. Pada mula¬nya ia tinggal di Undung (dekat Kudus sekarang), kemudian ke Surabaya, Tuban, serta terakhir men¬jadi imam di Demak. Ia memenuhi panggilan tugas sebagai imam atas permintaan Pangeran Ratu, di samping ia sendiri amat keberatan bekerja di ba¬wah kekuasaan adipati Majapahit yang masih kafir. Setelah wafat ia dimakamkan di sebelah barat mas¬jid itu.
Imam keempat ialah Penghulu Rahmatullah da¬ri Undung, yang menjadi imam atas permintaan Adipati Sabrang Lor (sultan kedua Demak). Imam ini gugur dalam salah satu pertempuran dan di¬makamkan di samping Masjid Agung Demak. Penghulu Rahmatullah digantikan oleh Pange¬ran Kudus yang dikenal pula dengan Pandita Rab¬bani. Imam inilah yang berhasil mendirikan kota Kudus (Quds, kota suci) sesudah melakukan tugas ketentaraan melawan Majapahit. Imam ini dikenal sebagai seorang yang memegang andil besar dalam merebut Majapahit.
Masjid Agung Demak pernah ditawarkan se¬bagai tempat untuk mengucapkan sumpah setia ra¬ja Mataram, Sunan Amangkurat II (Adipati Anom), dengan kompeni pada tahun 1688. Pada tahun 1710, bangunan masjid ini direhabilitasi atas perintah raja Mataram berikut, Paku Buwono I (Sunan Puger), dengan alasan bahwa tempat ini merupakan 'pusaka mutlak' yang tidak boleh hilang.
Di zaman Indonesia merdeka, Masjid Agung Demak telah beberapa kali dipugar. Tahun 1965 pemugarannya dimulai dengan memperhatikan ke¬indahan dari depan, sehingga bangunan lain yang ada di sana dipindahkan ke tempat lain. Tahun 1966 dibangun pagar depan dengan menggunakan ornamen batu; instalasi listrik dipasang, sedang Tratag rahmat (ruang pertemuan semacam pendo¬po) yang bukan merupakan bangunan asli dibong¬kar. Tahun berikutnya diperbarui tempat wudu sebelah kiri dan kanan. Pada tahun 1969 dibongkar bangunan bagian serambi serta dibangun kembali. Seterusnya tahun 1971, 1973, 1974, dan 1975 di¬adakan berbagai perbaikan. Tahun 1980-an, diada¬kan pula pemugaran dengan mempertahankan bentuk asli. Peresmian sesudah pemugaran dilaku¬kan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 21 Maret 1987. Negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) menetapkan Masjid Demak sebagai peninggalan sejarah Islam. Rahmah El-Yunusiyyah memang sangat giat dan bersemangat sekali untuk mengembangkan sekolah yang didirikannya ini. Pada tahun 1930, untuk meningkatkan kemampuan murid madrasah yang terdiri dari tujuh kelas itu, ia mendirikan tingkat menengah, dengan tujuan untuk memberikan pe¬lajaran dan pendidikan yang lebih tinggi kepada murid-murid, terutama supaya mereka mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam mengajar. Pada tahun 1937, sebuah sekolah guru untuk putri pun didirikan. Pada tahun-tahun 1930-an itu, perguru¬an ini mengalami peningkatan. Murid-muridnya te¬rus bertambah banyak. Mereka bcrasal dari Yogya¬karta, Lombok, Ternate, Halmahera, Sulawesi, dan Malaya, di samping berasal dari Sumatra sendiri. Pada tahun 1935, Diniyah Puteri mendirikan sebuah cabangnya di Jakarta yang membina tiga buah sekolah, yaitu di Gang Nangka Kwitang, di Kebon Kacang Tanah Abang, dan di Rawasari.
Dalam masa perjuangan mempertahankan ke¬merdekaan Republik Indonesia, proses pendidikan perguruan ini sempat terhenti. Setelah Belanda menduduki Padangpanjang pada agresi kedua, ge¬dung perguruan diniyah ini berfungsi sebagai Ru¬mah Sakit Umum khusus untuk pasien wanita. Gedung ini baru kembali berfungsi sebagai lem¬baga pendidikan setelah penyerahan kedaulatan. Sejak itu Madrasah Diniyah Puteri ini kembali ber¬usaha meneruskan cita-citanya.
Kemajuan-kemajuan yang dicapainya sebelum dan sesudah kemerdekaan mengundang banyak pemerhati pendidikan ke lembaga ini, seperti dari Malaysia, Singapura, dan negara-negara Timur Tengah, di samping dari dalam negeri sendiri. Pada tahun 1955, Rektor Universitas al-Azhar Cairo mengadakan kunjungan khusus ke perguruan ini. Syekh al-Azhar sangat kagum melihat usaha besar ini dan mengakui secara terus terang bahwa Mesir dengan al-Azharnya yang sudah berusia seribu tahun itu masih ketinggalan. Lembaga pendidikan khusus putri waktu itu belum ada di Mesir, apalagi di negeri-negeri Arab yang lain. Pada tahun 1957, Rahmah El-Yunusiyyah diundang ke al-Azhar dan mendapat gelar kehormatan keagamaan yang ter¬tinggi dari Rapat Senat Guru Besar a1-Azhar, yaitu Syaikhah, gelar yang belum pernah dianugerahkan sebelumnya. Karena keberhasilannya, Pemerintah Mesir memberikan beasiswa bagi lulusan madrasah ini untuk melanjut ke al-Azhar, yaitu pada tahun 1950, 1965, dan 1972. Pada tahun 1969, pemerintah Kuwait melakukan hal yang sama di salah satu lem¬baga pendidikan tinggi di Kuwait.
Dari dalam negeri sendiri, per6atian dan peng¬hargaan pemerintah juga besar. Pada tahun 1969, pemerintah melalui Departemen Agama RI me¬ngeluarkan surat keputusan yang mempersamakan ijazah Fakultas Tarbiyah dan Dakwah perguruan itu dengan ijazah IAIN. Meskipun demikian, apa yang dicita-citakan oleh pendiri perguruan ini be¬lum lagi tercapai, dan oleh karena itu, perkembang¬an perguruan ini masih terus berlanjut. Rahmah El-Yunusiyyah menginginkan agar perguruan ini juga mendirikan Universitas Islam khusus untuk wanita dengan lima fakultas, yaitu Adab, Dakwah, Syari'ah, Kesehatan, dan Perindustrian. Sepeninggal Rahmah EI-Yunusiyyah, pimpinan Diniyah Puteri dipegang oleh Dra. Hajjah Isnani¬yah Saleh. Pada tahun 1990, Diniyah Puteri beker¬jasama dengan Pondok Modem Gontor mem¬buka Diniyah Putera. Setelah Isnaniyah Saleh meninggal (8 Agustus 1990), lembaga ini dipimpin oleb H Husainah Nurdin oleh karena orang Palembang juga mempunyai rasa handarbeni atas Kesultanan Demak Bintara.
7. Putri Campa
Raden Patah merupakan raja pertama Kerajaan Demak. Menurut Babad Tanah Jawi Raden Patah adalah putra Brawijaya raja Majapahit yang terakhir dari istrinya yang berasal dari Cina yaitu Putri Campa. Pada saat istrinya sedang mengandung diserahkan kepada Arya Damar Adipati Palembang. Setelah dewasa kembali ke Jawa dan berguru kepada Sunan Ampel di Ngampel Denta yang kemudian diambil menjadi menantu. Raden Patah oleh Sunan Ampel diperintahkan membuka hutan Bintara di daerah Glagahwangi untuk dijadikan perkampungan dan menyebarkan agama Islam. Perkampungan tersebut akhirnya berkembang pesat menjadi kota. Oleh Raja Brawijaya Raden Patah diangkat menjadi Adipati di Demak.
Salah satu sebab runtuhnya kerajaan Majapahit menurut Babad yang ditandai dengan sengkalan “sirna ilang kertaning bhumi” yang diartikan sebagai tahun 1400 Saka atau tahun 1478 M, merupakan akibat serangan dari Demak yang dipimpin oleh Raden Patah. Setelah Majapahit runtuh, Sunan Ngampel Denta yang merupakan Sunan tertua di antara para wali menunjuk Raden Patah menjadi Raja Demak sebagai pengganti ayahnya. Akan tetapi untuk menghilangkan atau memusnahkan bekas kekafiran kerajaan Majapahit Sunan Giri ditunjuk untuk memegang pimpinan tertinggi selama 40 hari. Raden Patah dinobatkan menjadi raja Demak yang pertama dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdur Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata Gama.
Kerajaan Demak merupakan kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa yang tidak hanya menurunkan raja-raja Islam berikutnya, akan tetapi juga mendorong tumbuh dan berkembangnya ajaran agama Islam yang di sebarkan oleh para wali. Munculnya kerajaan Demak merupakan awal masuknya pengaruh agama Islam dalam bidang politik dan pemerintahan di Jawa. Pusat kerajaan Demak terletak di daerah Bintoro di muara sungai Demak, yaitu antara Bergota dan Jepara. Bergota merupakan sebuah pelabuhan yang pada masa Mataram Kuna pernah menjadi pelabuhan ekspor bagi Mataram Kuna. Sedangkan Jepara berkembang menjadi pelabuhan penting bagi kerajaan Demak.
8. Bukti-Bukti Arkeologis
Sumber-sumber historis menunjukkan bahwa Demak merupakan Kerajaan Islam yang cukup besar pengaruhnya di kawasan Nusantara. Oleh karena itu tentunya memiliki ibu kota kerajaan sebagai tempat tinggal raja dan para pejabat dalam rangka menjalankan roda pemerintahan. Akan tetapi sampai saat ini belum ditemukan bukti-bukti arkeologis yang bersifat artefaktul yang dapat menunjukkan letak bekas ibu kota kerajaan. Satu-satunya peninggalan bangunan yang dapat ditemukan kembali adalah Masjid Agung yang berdiri tegak di pusat korta Kabupaten Demak.
Menurut Babad Demak, Masjid Demak dibangun pada masa pemerintahan Raden Patah yaitu pada tahun 1399 Saka atau 1477 M (“Lawang Trus Gunaning Janma“). Setelah dua tahun sejak peletakan batu pertama Masjid Agung Demak selesai dibangun, yaitu pada tahun 1401 Saka atau 1479 M yang dilambangkan dengan sengkalan bergambar kura-kura yang terdapat di Mihrab Masjid Agung Demak. Selain itu, juga terdapat sengkalan memet dan prasasti yang mungkin juga berhubungan dengan tahun pendirian Masjid Agung Demak, yaitu Hiasan Lawang Bledhek yang terdapat pada pintu utama masjid yang ditafsirkan berbunyi “ naga mulat salira wani “ yang berarti tahun 1388 Saka atau 1466 M. Prasasti yang berhubungan dengan pendirian masjid terdapat di atas pintu masjid bagian dalam berhuruf dan berbahasa Jawa yang berbunyi “ handegipun masjid yasanipun para wali nalika dinten Kemis Kliwon malem Jumu’ah Legi tanggal 1 Dulkaidah tahun 1428 “ Prasasti ini ditafsirkan swebagai angka tahun peresmian Masjid Agung Demak yaitu tahun 1428 Saka atau 1506 M. Raden Patah meninggal pada tahun 1518 M dan dimakamkan di dekat Masjid Agung Demak. Pengganti Raden Patah adalah putranya yang bernama Pati Unus, akan tetapi 3 tahun kemudian diapun meningggal dan digantikan oleh adiknya yang bernama Pangeran Trenggono yang memerintah sampai tahun 1546 M.
Langganan:
Postingan (Atom)