Ahlan Wasahlan Sugeng Rawuh ....

"SELURUH DUNIA ADALAH PESANTRENKU" demikian fatwa Sunan Kalijaga, 600 tahun yang lalu. Sabda pangandika ini mengisyaratkan bahwa tugas dakwah adalah ke seluruh alam tanpa batas. Maka Pesantren Khusnul Khatimah, nyendikani dawuh ini dengan mengirim ratusan santri, kyai, ulama, ustadz ke seluruh penjuru dunia untuk terus mengabarkan ketauhidan Allah SWT.

Zakat Mal, Sumbangan, Infak dan Sedekah Anda
akan kami salurkan untuk membantu program dakwah ke pelosok-pelosok nusantara.

Sabtu, 22 Mei 2010

ZIARAH KWALIAN GIRI

M. HARIWIJAYA

1. Bertapa Di Gua
Sunan Giri adalah salah satu dari Wali Sanga, yang bertugas menyiarkan agama Islam di kawasan Jawa Timur, tepatnya di daerah Gresik. Beliau hidup antara tahun 1365 – 1428. Ayahnya bernama Maulana Ishaq, berasal dari Pasai. Ibunya bernama Sekardadu, putri raja Blambangan, Prabu Minaksembuyu.
Nama kecil Sunan Giri adalah Jaka Samudra. Masa kecilnya diasuh oleh janda kaya raya, Nyai Gedhe Pinatih. Menjelang dewasa Jaka Samudra berguru kepada Sunan Ampel. Jaka Samudra diberi gelar oleh Sunan Ampel dengan gelar Raden Paku (Graf dan Pigeaud, 1989).
Selama 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishaq, kembali terngiang: "Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik". Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya (Bakri dan Fitriyah, 2001).
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, "giri" berarti gunung (Rahimsah, 1002).
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukan kebesaran Pesantren Giri -- yang berkembang menjadi Kewalian Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter (Bakri dan Fitriyah, 2001).
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakan ajaran Islam di atas Al Qur’an dan sunah Rasul .

2. Bergelar Prabu Satmata
Ketika Sunan Ampel, ketua para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata. Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan .
Menurut H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makasar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri (Ricklefs, 1974).
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat .

3. Bertugas Sebagai Raja Peralihan
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh pada 1478, para wali merumuskan perlunya didirikan sebuah kerajaan yang bisa melindungi orang-orang Islam dan mendakwahkan ajaran Islam. Setelah musyawarah tuntas, maka diputuskan Bintoro sebagai pusatnya. Sunan Giri dipercaya untuk meletakan dasar-dasar kerajaan masa perintisan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya (Bakri dan Fitriyah, 2001).
Serat Centhini mengisahkan riwayat Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishaq tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam. Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishaq, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya (Kamajaya, 1992).
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus patih mencari pertapa sakti (Kamajaya, 1992).
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi “referensi” tentang Syekh Maulana Ishaq. Rupanya, Maulana Ishaq mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishaq pun dipenuhi (Bakri dan Fitriyah, 2001).
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewi Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishaq. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishaq berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishaq (Kamajaya, 1992).
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishaq akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu – yang sedang mengandung tujuh bulan – agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishaq dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti (Kamajaya, 1992).

4. Kisah Peti Sakti
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Jaka Samudra dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam (Bakri dan Fitriyah, 2001).
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar “Maulana Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun belajar, Jaka Samudra dan putranya, Raden Maulana Makdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishaq (Kamajaya, 1992).
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishaq membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya (Bakri dan Fitriyah, 2001).
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 M, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur (Bakri dan Fitriyah, 2001).




5. Kewibawaan Kewalian Giri Kedhaton
Di daerah Gresik dan sekitarnya, Kewalian Giri Kedhaton sangat dihormati dan ditaati. Bahkan untuk urusan politik pun diserahkan kepada Kewalian Giri Kedhaton, sehingga di sana juga berdiri sebuah komunitas yang mirip kerajaan. Pada masa Majapahit, Kewalian Giri Kedhaton ini merupakan oposisi yang cukup merisaukan para penguasa Majapahit. Kewalian Giri Kedhaton ini mendapat sokongan dari para pedagang-pedagang di sepanjang pantai utara Jawa. Tak urung, Majapahit melakukan penyerangan ke Kewalian Giri sebanyak dua kali. Namun kedua serangan itu kandas secara mistis (Kamajaya, 1992:4-9).
Peranan Kewalian Giri secara politik nantinya jatuh pada zaman Sunan Giri III oleh Panembahan Senapati Mataram, lewat peristiwa pemilihan “isi atau wadah” antara Pangeran Surabaya yang mewakili Giri dan Panembahan Senapati yang mewakili Mataram. Pada saat itu, Pangeran Surabaya yang disuruh memilih terlebih dahulu, ia memilih isi, dan Panembahan Senapati kebagian wadah. Isi, melambangkan esensi dan wadah melambangkan kekuatan politik kerajaan. Dengan demikian, Kewalian Giri termasuk Surabaya dan sekitarnya masuk ke dalam kekuasaan Mataram, walaupun secara esensi, ajaran Islam tetap mengalir dari Gresik, Surabaya ke barat (Kamajaya, 1992:14-15).
Bersama Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Paku pergi haji ke Mekah. Di sana Raden Paku berjumpa dengan ayahnya, Maulana Ishaq yang sudah bergelar Syekh Awalul Islam. Sepulang dari Mekah Raden Paku mendirikan pesantren di Giri, Gresik, sehingga orang menyebutnya sebagai Sunan Giri. Dakwah Islamnya menggunakan jalur politik dan budaya, Sunan Giri menciptakan :
a. Permainan jetungan
b. Jamuran
c. Gula ganti
d. Cublak-cublak suweng
e. Tembang Asmarandana
f. Tembang Pocung
Selain itu Sunan Giri juga sering berpesan kepada para santrinya yang ingin mencari ilmu ketuhanan :
a. Gusti iku dumunung ana atining manungsa kang becik, mula iku diarani Gusti iku bagusing ati.
b. Sing sapa nyumurupi dating Pangeran iku ateges nyumurupi awake dhewe. Dene kang durung mikani awake dhewe durung mikani dating Pangeran.
c. Kahanan donya ora langgeng, mula aja ngegungake kesugihan lan drajatira, awit samangsa ana wolak-waliking zaman ora ngisin-isini.
d. Kahanan kang ana iki ora suwe mesthi ngalami owah gingsir, mula aja lali marang sapadha-padhaning tumitah.


Terjemahan :

a. Tuhan itu berada dalam hati manusia yang suci, karenanya Tuhan disebut pula sebagai hati yang suci.
b. Mengetahui zat Tuhan berarti mengenal dirinya sendiri. Dan barang siapa belum mengenal dirinya sendiri, ia itu belum mengerti zat Tuhan.
c. Keadaan dunia ini tidak abadi, oleh karena itu jangan mengagung-agungkan kekayaan dan derajatmu, sebab bila sewaktu-waktu terjadi perubahan keaadan Anda tidak akan menderita aib.
d. Keadaan yang ada ini tidak lama pasti mengalami perubahan, oleh karena itu jangan melupakan sesama hidup.

6. Ulama Besar dari Gresik
Dulu kala Kadipaten Gresik merupakan kota pelabuhan yang kawentar karena letaknya terlindung di Selat Madura, dan membelakangi tanah yang subur: delta Bengawan Solo. Sungai besar itu pernah menjadi jalan penghubung yang krusial antara Pajang Hadiningrat, kemudian Kartasura dan Surakarta dengan tanah-tanah pesisir di timur laut. Gresik didirikan sebagai kota pela¬buhan pada paruh kedua abad ke-14 di sebidang tanah pesisir yang terlantar. kawula dalem pertama ialah pelaut dan buruh Cina. Pada abad ke-15 perkampungan baru itu mungkin menjadi gemah ripah loh jinawi, pada 1411 seorang pejabat Cina di situ mengirim utusan yang membawa surat-surat dan bulu bekti glondhong pengareng-areng, guru bakal guru dadi, peni-peniu raja peni, mas picis raja brana ke kraton Kaisar di Cina.
Pada 1387 Gresik sudah dikenal sebagai tlatah kekuasaan Narendra Agung Majapahit. Ini terbukti dari Piagam Karang Bogem, yang berisi ketetapan mengenai kawula, budak, atau orang tebusan di kraton yang berasal dari Gresik. Mungkin Narendra Agung Majapahit yang bersemayam di pelosok Jawa Timur beranggapan bahwa tlatah pesisir juga termasuk tlatahnya dan di situ kekuasaannya sebagai pejabat tlatah juga diakui.
Menurut Serat Centhini, Raja Brawijaya Majapahit dua kali melakukan penaklukan terhadap Kewalian Giri ini. Pertama pada masa Kanjeng Sunan Giri I dan kedua pada masa Kanjeng Sunan Giri Prapen. Kewalian Giri dianggap telah menjadi kekuatan tandingan yang hendak menyaingi wibawa dan kekuasaan istana Majapahit. Akan tetapi, serangan pertama ini gagal total karena keramatnya Kanjeng Sunan Giri. Kanjeng Sunan Giri yang waktu itu sedang menulis dengan kalam mencipta kalam atau penanya tadi menjadi Keris Kalamunyeng yang berputar-putar membunuh sebagian besar prajurit Majapahit.
Duk nalikaning Kanjeng Sunan Giri telah wafat, Majapahit mengulang serangan lagi dengan bala pasukan yang lebih banyak. Kali ini pada masa Kanjeng Sunan Giri Prapen. Kanjeng Sunan Giri Prapen hampir saja menderita kekalahan telak, karena memang Kewalian Giri tidak punya pasukan perang seperti Majapahit. Giri hanya memiliki santri-santri. Atas pertolongan Allah, Kewalian Giri selamat dan prajurit Majapahit lari tunggang-langgang, yakni dengan serangan jutaan tawon yang keluar dari peti Kanjeng Sunan Giri I. Atas dua prastawa yang mempermalukan Majapahit itu, Kewalian Giri semakin kokoh dan dianggap wingit atau keramat.
Adanya Kadipaten Gresik ini mengindikasikan bahwa wilayah pengislaman di Jawa terlebih dulu wilayah Jawa Timur. Wilayah itu antara lain Gresik, Tuban, Ampel, dan lingkungan Istana Majapahit. Adapun wilayah Jawa Tengah yang terlebih dulu menerima Islam adalah Demak Bintara, Jepara, Kudus dan tlatah alas Roban, Batang. Tlatah Kudus melalui tokoh Raden Rahmat, sedangkan alas Roban atau Batang melalui perjalanan Raden Patah. Hubungan antara raja lokal dan buruh asing yang tinggal di negara mereka yang ingin tetap berhubungan dengan tanah leluhurnya, lebih-lebih dari sudut kepentingan perdagangan, dapat diduga dengan adanya berita mengenai perutusan dari seberang lautan ke Cina. Seperti yang diberitakan pada permulaan abad ke-15 sehubungan dengan Gresik, perutusan yang menghadap Kaisar Tiongkok, mengambil peranan yang penting. Yang masih perlu disebut di sini ialah sebuah kisah Jawa, yang dicantumkan dalam Serat Kandha serangan terhadap Gresik oleh musuh dari seberang lautan atau bajak laut dari Wandhan Inggris. Serangan itu digagalkan oleh seorang prajurit Probolinggo, yang bernama Sapu Jagad atau Sapu Laga. Nama Probolinggo belum tua, namun nama lama ternpat itu, Banger, telah dicantumkan dalam Nagara Kertagama dari abad ke-14.
Kini pun nama itu masih dikenal. Dalam sejarah-sejarah di ujung timur Jawa mengenai rananggana antara Majapahit dan Blambangan, tlatah Probolinggo termasuk tlatah Menak Jingga dari Blambangan. Beberapa hal menunjukkan bahwa mungkin sudah sejak abad ke-14 ada hubungan lewat laut, sepanjang pesisir Selat Madura, antara Gresik dan Blambangan, dan kota-kota pela¬buhan di antara kedua tempat itu. Kisah-kisah Jawa mengenai permula¬an dakwah Islam di Jawa Timur. Di sana dikemukakan adanya makam-makam Islam yang sudah tua sekali, yang ditemukan di dekat Gresik maupun mengenai kedua saudara kakak beradik yang sejarahs, keduanya putra seorang Arab yang nikah dengan putri Cempa.
Yang sulung adalah perintis kelompok Islam di Gresik. Adiknya, yang bernama Raden Saleh, kelak kawentar sebagai Kanjeng Sunan Ngampel Denta dari Surabaya. Sukar untuk menemukan hubungan kisah rutur itu dengan dongeng mengenai asal usul Kanjeng Sunan Giri, Adipati Surabaya, maupun kedua ratu di Gresik pada sekitar 1500.
Dakwah Islam di Gresik ditinjau dari segi interaksinya dengan lingkungan sosial setempat ngrembaka dua tipe, yakni kompromis dan non-kompromis. Dua pendekatan ini memiliki keistimewaan dan kelemahan sendiri-sendiri. Dasar pendekatan non-kompromis di Gresik adalah pengembangan penalaran yang membedakan secara diametrik antara yang Islami dan tidak Islami. Pendekatan non-kompromis memiliki ciri khusus hanya dapat menerima unsur yang seirama dan bisa diintegrasikan dengan agama Islam. Jati diri atau kepribadian ajaran agama dijaga dan harus dominan tidak akan dikorbankan. Maka apabila para pendukung mempertahankan budaya lama, tidak toleran dan bersifat agresif biasanya memancing ketegangan dan menimbulkan konflik.

7. Gresik Kota Dagang Islam
Kadipaten Gresik sebagai kota per¬dagangan laut yang paling kaya dan paling penting di seluruh Jawa. Ia memberitakan adanya transaksi oleh kapal-kapal dari Gujarat, Calicut, Bangelan, Siam, Cina, dan Liu-Kiu dengan Gresik, dan per¬dagangan antara Gresik dan Maluku serta Banda.
Di Gresik ada dua pejabat yang saling memerangi. Tlatah mereka di kota itu dipisahkan oleh sungai kecil yang dangkal. Penulis Portugis itu menyebut nama Pati Yusuf dan Pati Zeinall. Pati Yusuf memerintah bagian kota yang paling besar dan paling penting, tempat perdagangan laut. Konon, ia masih kerabat wangsa raja di Malaka dan ia dianggap trah Melayu. pejabat yang lain, Pati Zainal, memerintah di bagian pelosok yang agraris, ia tidak berdagang dan tidak kaya.
Ia adalah pejabat Islam yang tertua di kota-kota pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan bersahabat de¬ngan Pati Rodim senior dan Pati Rodim yunior dari Demak Bintara. Pada kesempatan lain, dalam membicarakan asul usul trah para pe¬mimpin Islam di Demak Bintara, ayah Pati Rodim senior adalah “budak belian” dari Gresik. Kisah-kisah lain menunjukkan asal usulnya dari trah Cina dan Gresik sebagai tempat persinggahan raja-raja Islam di Demak Bintara.
Kisah tutur Jawa mengenai lahir dan ngrembakanya trah para kyai di Giri. Pada paruh kedua abad ke-16 dan abad ke-17 mereka mempunyai posisi krusial dalam sejarah Jawa.
Kisah Jawa mengenai asal trah para sunan di Giri ternyata panjang lebar. Kisah-kisah tersebut termasuk sastra pesisir timur, yang pada abad ke-17 dan ke-18 pusat kerohanian dan kemasyarakatannya terdapat di Giri-Gresik dan Surabaya. Tetapi, hubungan yang disebutkannya antara Gresik-Giri dengan Blambangan dan dengan tempat-tempat lain, mempunyai nilai sejarah yang penting. Tahun-tahun prastawa yang disebutkan di dalamnya tampaknya dapat dipercaya.
Seorang ahli agama berkebangsaan Arab berasal dari Jeddah, bernama Wali Lanang, telah memperistri seorang putri Adipati Blambangan, ia mendapat seorang anak laki-laki dari pernikahan itu. Wali Lanang meninggalkan Blambangan karena ia tidak berhasil mengislamkan rajanya. Bayi itu dimasukkan ke dalam peti dan dilemparkan ke laut dan kemudian diselamatkan oleh seorang nakhoda perahu milik Nyai Ageng Pinatih dari Gresik, janda Patih Samboja.
Anak itu diambil sebagai anak angkat, dan kemudian disuruh berguru kepada Kanjeng Sunan Ngampel Denta dari Surabaya, yang menamakannya Raden Paku. Raden Paku dari Gresik itu diasuh bersama anak Kanjeng Sunan Ngampel Denta, santri Bonang. Mereka berdua pergi ke Malaka dan menjadi murid Wali Lanang. Wali Lanang memberi mereka tugas mulia untuk imenyebarkan agama Islam di Jawa Timur. Sekembalinya di Gresik, beberapa waktu kemudian Raden Paku tinggal di Giri sebagai kiai besar. Ia memilih nama Prabu Setmata.
Kisah tutur Jawa menyebutkan tahun-tahun kejaidian sebagai berikut: 1477 meninggalnya Nyai Ageng Pinatih, ibu perugasuh Prabu Setmata, 1485 pembangunan kedaton, dan tiga tahun kemu kemudian pembuatan “kolam”, tahun 1506 meninggalnya Prabu Setmata.
Tampak jelas hubungan moyang trah Giri dengan dakwah Islam oleh para buruh luar negeri, pelayaran serta perdagangan di laut, serta dengan Blambangan, Surabaya, dan Malaka. Nyai Ageng Pinatih adalah seorang wanita Islam, jika tidak, tidak akan ia menyuruh anak angkatnya berguru pada wali di Surabaya. Menetapnya di Giri dapat dihubungkan dengan pembangunan kedaton, pada 1485. “Kolam” yang dibuat pada 1488 mungkin suatu “taman indah” dengan danau buatan, beserta pulau kecil di tengahnya, lengkap dengan balai kecil, yang biasanya disebut bale kambang. Bangunan taman sari demikian itu sejak dulu kala merupakan bagian dari kompleks istana raja di Jawa. Memiliki taman semacam itu tentu menambah wibawa dan kekuasaan kyai pertama di Giri.
Penanggalan yang agak tua dalam kisah Jawa, yakni pada perempat terakhir abad ke-15, kehidupan Prabu Setmata dari Giri, dan ibu angkamya yang sudah Muslim, Nyai Cede Pinatih dari Gresik, menguatkan pendapat bahwa Gresik dan Surabaya adalah kota-kota pelabuhan Jawa Timur yang pertama tempat terbentuknya umat Islam. Tindakan Prabu Setmata dari Giri itu dapat di¬anggap sebagai suatu upaya memantapkan dan menguatkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan ini bagi kepentingan para buruh Islam yang sering kurang semangat agamanya, biasanya mereka trah asing dan berasal dari kelompok menengah yang berada atau kurang berada, dan mungkin sudah sejak abad ke-14 bertempat tinggal di kota-kota kecil di Jawa. Dibangunnya kedaton dan dipa-kainya nama gelar Prabu Setmata boleh dianggap sebagai me-ningkarnya kesadaran harga diri pada wali dan pemimpin kelompok keagamaan Islam yang masih muda, lebih dari kelompok yang lebih tua, merasa dirinya anggota masyarakat Islam internasional.
Apabila Prabu Setmata pada 1485 memang telah membangun kediamannya di Giri, maka dialah orang pertama di antara ulama yang membangun tempat berkhalwat dan tempat berkubur di atas sebuah bukit: Tembayat, Prawata dekat Demak Bintara, dan Gunung Jati dekat Cirebon Darusalam, tetapi, tidak sama dengan Demak Bintara dan Cirebon Darusalam, sejak jaman kraton Majapahit Gresik sudah merupakan kota yang cukup berarti.
“Tempat keramat di atas gunung” tentu sudah dianggap krusial dalam kehidupan keagamaan sebelum jaman Islam di Jawa Timur. Menurut kisah tutur Jawa, “gunung keramat” Penanggungan pada 1543 diduduki oleh bregada Islam Kanjeng Sultan Demak Bintara. Dapat diduga, kelompok-kelompok yang memiliki satu atau beberapa “bukit keramat” sebagai pusat keagamaannya memberikan perlawanan bersenjata waktu para santri datang untuk menjadikan gunung keramat mereka menjadi tlatah Islam. Giri dekat Gresik sebagai pusat kehidupan Islam dan sebagai tempat penghayatan agama bagi orang Islam beriman didirikan sekadar mencontoh “gunung keramat” di Jawa Timur? Wali Lanang di Malaka memberikan tugas-tugas tidak sama tetapi senada kepada kedua muridnya: santri Bonang pada dasarnya harus menyebarkan agama Islam di Jawa Timur, namun Raden Paku harus tinggal di Giri. Makna Giri sebagai pusat keagamaan bagi umat Islam di Jawa Timur, dan selanjutnya juga di bagian timur Nusantara pada abad ke-16 dan 17.
Tentang Giri dan Prabu Setmata, pusat kehidupan Islam di bukit dekat Gresik belum menjadi pusat kekuasaan pemerintahan atau pusat ekonomi yang berarti. Pada permulaan abad ke-16 kekuasaan kraton Kraton Majapahit di pelosok Jawa Timur masih cukup besar. Boleh diduga bahwa sampai didudukinya kota kraton tua Majapahit itu oleh para santri pada 1527, para pejabat Islam di Gresik masih mengakui raja di Maja¬pahit sebagai pejabat tertinggi. Waktu itu raja-raja Islam di Demak Bintara, Jepara, dan Tuban juga masih berbuat serupa.
Pati Zeinal pada sekitar 1515 dapat dikatakan sama orangnya dengan ulama di Giri. Pati Zeinal sebagai pejabat yang gagah berani atas tlatah pertanian di pelosok. Ia masih kerabat yang lebih tua dan sahabat para pejabat Islam pertama di Sidayu, Jepara Kanjeng Adipati Yunus, dan Demak Bintara Pati Rodim. Ia tidak berkepentingan dalam perdagangan laut. Penggambaran Pati Zeinal demikian itu berlawanan dengan pribadi kyai di Giri, yang sebenarnya berasal dari kalangan pelaut dan buruh asing yang tinggal di kota pelabuhan Gresik. Kisah Jawa mengenai awal mula trah Giri tidak memberitakan apa-apa mengenai pemilikan tanah atau tlatah pertanian.
Tidak benar jika ulama yang pertama di Giri disamakan dengan Pati Yusuf pada sekitar 1515. Sungguh-sungguh kisah hidup Pati Yusuf dan ayahnya Pati Adam. Mereka orang Melayu, dan masih kerabat wangsa raja Malaka yang ditundung oleh bangsa Portu¬gis, mereka itu buruh di laut. Memang keluarga Melayu ini mempunyai kepentingan yang sama dengan trah Giri dalam hal perdagangan di laut dan hubungannya dengan Malaka, adanya hubungan Pati Yusuf dengan Blambangan, Surabaya, dan agama Islam. Seandainya ulama pertama di Giri termasuk trah Melayu terkemuka, seperti Pati Yusuf, maka boleh diharapkan bahwa kisah tutur Jawa memberitakan atau mengingatkan akan asal usul trah ra¬ja ini. Kenyataannya, yang dituturkan adalah asal usul yang sangat rendah dan menyerupai dongeng: anak pungut yang diasuh hanya karena rasa belas kasihan. Sebaliknya, seandainya Pati Yusuf telah mempunyai hubungan dengan Blambangan, karena ia memang berkisah agak panjang lebar mengenai raja di ujung timur Jawa.
Suatu keberatan krusial terhadap pandangan seolah-olah Pati Yusuf atau Pati Zeinal dari Gresik itu sama orangnya dengan pemuka agama pertama di Giri ialah pada permulaan abad ke-16 pusat keagamaan di Giri dan para ulamanya belum menduduki tempat krusial dalam pikiran buruh di Jawa Timur.
Para pejabat jagad raya di Gresik dan para ulama di Giri hidup berdampingan saja. Pada abad ke-16 kekuasaan pemerintahan di kota agaknya jatuh ke tangan para ula¬ma, namun sekali-sekali trah Adipati Surabaya juga berkuasa di sana. Meskipun letaknya sangat berdekatan dan dalam beberapa hal berhubungan, Gresik dan Giri.

8. Sunan Dalem
Menurut daftar-babad Jawa, pejabat yang kedua di Giri mulai memegang peranan pada 1506. Rupanya, ia hidup sezaman dengan Kanjeng Sultan Trenggana dari Demak Bintara dan mengalami pula pendudukan kota kraton Majapahit oleh pasukan Islam pada 1527. Dalam sejarah mengenai Giri terdapat kisah mengenai sejumlah serangan terhadap ulama Giri itu. Peme¬rintahan Sunan Setmata dan Sunan Dalem. Dapat diperkirakan bahwa sikap antara Majapahit dan Giri baru ngrembaka dan terwujud pada awal abad 16, waktu Raja mulai memandang pengislaman berbagai kota pela-buhan sebagai bahaya bagi kekuasaannya.
Bukan tanpa alasan jika pemimpin umat beragama di Giri didakwa berusaha merebut kedudukan di istana di kota pelabuhan tua Gresik. Ia memperlihatkan ketidaksenangannya untuk memberi penghormatan kepada Narendra Agung sebagai pejabat tertinggi. Penghormatan itu selalu dilakukan oleh para pejabat di Tuban, kota yang paling sedikit sama tuanya dengan Giri, sanajan mekaten mereka sudah Islam. Keyakinan beragama yang teguh pada trah Giri ini disebabkan ia trah seorang cendekiawan agama.
Algojo yang dikirim rupanya bersedia memeluk agama Islam. Malahan kemudian ia menjadi pengikut ulama itu. Sejak itulah ia memakai nama Mutalim Jagapati. Dalam dongeng-dongeng lain juga terdapat pelaku yang bernama Jagapati, teman seperjuangan Kanjeng Sunan Giri.
Serangan ini digagalkan tidak lain dan tidak bukan hanya karena daya ajaib keris Kala Munyeng yang, menurut kisah, berasal dari alat tulis wali itu. Dalam sejarah ini kiranya “kalam” disejajarkan dengan Kala Munyeng, suatu kekuasaan adikodrati atau jin, yang sudah disebut-sebut dalam berbagai naskah dari jaman sebelum lslam. Yang menarik dalam kisah ini ialah hubungan antara wali itu dan sebilah keris, yang telah ikut bertempur mela¬wan “alam ”.
Menurut kisah Jawa Tengah dari abad ke-17 atau 18 sunan di Giri juga ikut serta secara aktif dalam pendudukan kota kraton Majapahit pada 1527. Atas tunjukan Kanjeng Sunan Ngampel Denta bahkan ia memegang ke¬kuasaan tertinggi di kraton tua itu selama 40 hari. Maksudnya ialah untuk menghilangkan segala bekas yang ditinggalkan, sebelum Sultan Demak Bintara dilantik menjadi Narendra Agung.
Tempat terhormat historis merupakan upaya selanjutnya untuk lebih menonjolkan posisi Giri. Beberapa kisah Jawa Timur mengenai adanya hubungan antara Giri dan Sengguruh, tlatah Malang kini. pejabat di Gribik di tlatah Sengguruh beralih ke agama Islam berkat jasa seorang syekh di Manganti, paman Kanjeng Sunan Giri. Dari pawarta ini dapat disimpulkan bahwa di pelosok Jawa Timur pun pada sekitar 1500 sudah terbentuk kelompok-kelompok Islam berkat pengaruh santri dari tlatah pesisir utara. Dalam hal ini kiranya Gribik dapat dibandingkan dengan Singkal di tlatah Kediri, dengan Tembayat di tlatah Klaten, dan dengan Pasir di tanah Jawa bagian barat daya.
Sesudah runtuhnya kota kraton tua Majapahit pada 1527, di Sengguruh untuk beberapa lama masih berlaku kekuasaan kerurunan patih Majapahit, yang pada hari-hari terakhir kraton itu masih berkuasa. Kraton Jawa Timur “Gamda”, pada sekitar 1515 diperintah oleh anak laki-laki Gusti Pati, mungkin meliputi tlatah Sengguruh juga. Kraton itu masih akan disinggung lagi dalam pembicaraan mengenai sejarah ujung timur Jawa pada abad 16.
Pada 1535 pejabat Sengguruh menduduki pusat Islam, Giri. Sesudah sekelompok kecil orang Cina Islam, di bawah pimpinan Panji Laras dan Panji Liris, de¬kat Lamongan dikalahkan oleh orang-orang dari pelosok, Sunan Dalem memerintahkan kepala pasukannya Jaga Pati untuk menghentikan pabaratan. Sunan Dalem meninggalkan Giri untuk menyingkir ke Gumena, yang diperintah oleh Ki Dang Palih. Syekh Koja, paman Sunan, menyetujuinya. Orang dari selatan tadi membongkar makam Sunan Setmata, namun suatu kawanan lebah yang keluar dari dalam makam memaksa mereka meninggalkan Giri lagi, dan kembali ke Sengguruh. Sunan Dalem dapat kembali ke tempat posisinya. Di sebelah timur makam suci sunan pendulunya, ia membangun makam untuk Syekh Grigis, juru kunci yang diprajaya oleh para prajurit bandayuda. Di Gumena beliau mendirikan masjid dengan atap bertingkat tiga. Hal itu tentu untuk menyatakan rasa terima kasih atas bantuan yang telah diterimanya di tempat itu.
Dari kisah itu dapat disimpulkan bahwa delapan tahun sesu¬dah runtuhnya kota kraton tua Majapahit pada 1527, masih juga berusaha membendung meluasnya agama Islam ke timur. Memang demikianlah, menurut kronik Demak Bintara, pada 1531 Surabaya dimasukkan ke da¬lam tlatah kekuasaan Narendra Agung Islam di Demak Bintara, dan pada 1535, sama tahunnya dengan pabaratan di Giri, bregada Demak Bintara diceri-takan merebut Pasuruan. Pasuruan ini boleh jadi kota krusial dalam kraton “Gamda”, yang meliputi tlatah Sengguruh juga. Dapatlah diduga kekalahan Pasuruan telah memaksa bregada Sengguruh melepaskan kembali Giri yang baru saja diduduki itu Mereka khawatir hubungannya dengan markas besarnya di pelosok akan terputus.
Kadipaten Lamongan pada 1541 dan 1542 diduduki pasukan Demak Bintara, termasuk kota Wirasaba yang letaknya sedikit lebih ke selatan. Sejak itu Giri merasa aman dari serangan lewat darat dari sebelah selatan. Para ulama besar di Giri, sesudah runtuhnya kraton Majapahit pada 1527, merasa dirinya merdeka dan bebas, juga dari raja Islam baru di Demak Bintara. Dengan didudukinya Tuban pada 1527 dan Surabaya pada 1531, Kanjeng Sultan Trenggana mengambil langkah pertama ke arah penegakan kekuasaannya di tlatah-tlatah pesisir utara kraton dulu.
Gumena di bawah pemerintahan Ki Dang Palih dan Gresik yang mempunyai dua pejabat itu boleh dihubungkan satu dengan yang lain, Sunan Dalem di Giri itu pada 1535 mengambil keuntungan politik dari rasa takut yang ditimbulkan oleh kedatangan bregada dari Senggu¬ruh untuk memperkuat kekuasaannya sendiri di kota pelabuhan itu. Dapat diperkirakan, kedua pejabat di Gresik yang saling memerangi itu tidak akan mampu mengatur pertahanan kota terhadap prajurit bandayuda dari luar. Pembangunan masjid di Gu¬mena pada 1539 adalah suatu tanda pengukuhan kekuasaan para ulama Giri di Gresik.

8. Kanjeng Sunan Prapen
Sunan Dalem, yang pada 1506 mulai memerintah, wafat pada 1545 atau 1546. Ia digantikan anaknya yang dua tahun kemudian meninggal. Sunan ketiga dari Giri ini sesudah meninggal diberi nama anumerta Sunan Seda ing Margi, yang artinya sunan yang menemui ajal dalam perjalanan. Pada 1548 ia digantikan oleh kakaknya yang kawentar dengan nama anumerta Kanjeng Sunan Prapen. Kisah setempat yang berkenaan dengan tahun 1570 menceritakan bahwa pada waktu ma¬sih hidup ia memakai nama “Sunan Mas Ratu Pratikal”.
Kanjeng Sunan Prapen ialah kyai di Giri. Selama pemerintahannya yang panjang sekali ia banyak berjasa membentuk dan memperluas kekuasaan “negeri Islam”, baik di Jawa Timur dan Jawa Tengah maupun di sepanjang pesisir pulau-pulau Nusantara Timur. Paruh kedua abad ke-16 merupakan masa kejayaan Kadipaten Gresik sebagai pusat kebudayaan pesisir Islam dan pusat ngelar jajahan Jawa dalam bidang ekonomi dan politik di Indonesia Timur.
Pada 1549, satu tahun sesudah ia mulai berkuasa, Kanjeng Sunan Prapen membangun kraton. Konon kedaton yang didirikan oleh kakeknya, Prabu Setmata, pada 1488, dipandang tidak sesuai lagi dengan kejayaan dan kekuasaan yang telah dicapai oleh trah para kyai. Jatuhnya kekuasaan Kraton Demak Bintara sesudah meninggalnya Kanjeng Sultan Trenggana pada 1546 mungkin mempengaruhi Kanjeng Sunan Prapen.
Ia ingin mendirikan suatu bangunan besar sebagai tanda sudah merdeka. Masjid di Kudus, “kota suci” tidak jauh dari Demak Bintara, menurut prasasti pada 1549 juga rampung dibangun. Ada alasan untuk menduga bahwa para kyai di Kudus pada pertengahan abad ke-16 juga ingin berbuat seperti raja-raja merdeka. Tidak sama dengan raja-raja di tlatah yang letaknya lebih ke barat, seperti Tuban dan Jipang, yang berkerabat dengan wangsa Sultan Demak Bintara, Kanjeng Sunan Prapen dari Giri tidak mau mencampuri urusan politik pejabat di pelosok Jawa Tengah. Sebagai wakil Trah Demak Bintara, Kanjeng Ratu Kalinyamat dari Jepara yang hidup sezaman dengan Kanjeng Sunan Prapen masih tetap mempertahankan kekuasaannya atas tlatah-tlatah di sepanjang pesisir barat Laut Jawa sampai Banten Darusalam.
Ia juga berusaha mengusir orang Portugis dari Malaka. Pada paruh kedua abad 16, Kanjeng Sunan Prapen hanya memusatkan usahanya memperluas kekuasaan rohani dan jagad rayanya serta hubungan dagangnya lewat laut ke arah timur. Di tanah pelosok Jawa Timur, Kanjeng Sunan Prapen tidak banyak berusaha untuk berkuasa. Pada babad Jawa tahun 1548-1552, diberitakan adanya perjalanan raja Giri ke Kediri.
Berturut-turut terjadi pada 1551, Kediri dibakar, 1579: kemenangan terakhir kaum Islam, rajanya menghilang. Berdasarkan babad itu orang akan menduga bahwa Kraton Kediri dari 1548 sam¬pai pada akhir perempat ketiga abad ke-16 (1575). Kanjeng Sunan Giri pada pertengahan abad itu berusaha memasukkan agama Islam ke tlatah itu.
Raja-raja di tlatah lama yang dulu termasuk tlatah inti kraton Majapahit, pada waktu jatuhnya kekuasaan Narendra Agung Demak Bintara, tampaknya masing-masing tetap mempertahankan kekua¬saan yang sudah ada. Pada perempat ketiga abad 16, Adipati Surabaya, yang terkemuka di antara sesama, mewakili Adipati Jawa Timur. Dalam posisi itu ia mengakui Sultan Pajang Hadiningrat sebagai Narendra Agung. pejabat Giri dianggap pelopor para raja yang ikut serta mengambil keputusan politik ini.
Kekuasaan dalam bidang rohani Kanjeng Sunan Prapen dari Giri, lebih-lebih waktu ia sudah lanjut usia, juga diakui oleh raja-raja di pelosok Jawa Timur. Kisah Jawa Tengah mengenai tahun 1581, duk nalikaning Sultan Pajang Hadiningrat dilantik sebagai raja Islam utama dan sebagai sultan, dapat dipercaya. Upacara ini kiranya dilakukan di kraton Kanjeng Sunan Prapen dari Giri yang pada waktu itu sudah tua, Sultan Pajang Hadiningrat, Jaka Tingkir, yang pada 1549 mengalahkan Harya Jipang, rupanya juga sudah lanjut usianya. Pada pelantikan yang diberitakan dalam banyak naskah Jawa dan babad, hadir raja-raja dari Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madura, dan bahkan adipati tlatah pesisir Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati. Boleh dianggap upacara ini merupakan suatu kemenangan bagi Kanjeng Sunan Prapen sebagai negarawan. Ia boleh berharap bahwa, di bawah pimpinan rohaninya, ketertiban pemerintahan di Jawa Timur akan tertanam teguh.
Senopati Mataram Hadiningrat yang masih muda, yang baru pada 1584 mulai memerintah, selagi Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat masih hidup sudah mulai berusaha memperluas kekuasaannya di Jawa Tengah. Hal ini merugikan pihak yang berhak mewarisi. Pada 1588 ia berhasil menduduki kota kraton Pajang Hadiningrat, yang letaknya dekat dengan tlatahnya. Sejak itu para Manggala Yuda Mataram Hadiningrat sering mengadakan ekspedisi keprajuritan dan memaksa hampir semua pejabat tlatah di Jawa Tengah mengakui kekuasaan tertinggi Senopati Mataram Hadiningrat. Tetapi, Surabaya masih bertahun-tahun lamanya menjadi pusat perlawanan Adipati Jawa Timur.
Pada 1589 sudah terjadi pabaratan antara pasukan Mataram Hadiningrat dan pasukan Surabaya. Pada waktu itu Kanjeng Sunan Giri bertindak sebagai penengah dan pendamai. Pada waktu itu kyai itu memperlihatkan kurnia Ilahinya dengan meramalkan bahwa selanjutnya wangsa Narendra Mataram Hadiningrat akan menguasai seluruh Jawa. Tetapi, kisah mengenai ramalan mengenai kejayaan di masa datang Mataram Hadiningrat berasal dari angan-angan dan khayalan para pejabat Mataram Hadiningrat pada abad ke-17 dan 18. Sukar dipercaya bahwa Kanjeng Sunan Prapen yang sudah tua itu pada 1589 sengaja mengucapkan pernyataan yang menguntungkan seorang pejabat setempat yang masih muda, jauh di tanah pelosok Jawa Tengah dan merugikan sanak saudara Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat yang bersahabat dengan dia.
Kraton Giri sesudah 1589 menjadi tempat berlindung bagi raja-raja Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang tanahnya diduduki oleh bregada Mataram Hadiningrat. Anggota wangsa Sultan Pajang Hadiningrat dan Tuban, dan Pangeran Mas dari Aros-Baya di Madura diizinkan beberapa waktu tinggal di Giri. Hal itu membuktikan pemihakan Giri pada Mataram Hadiningrat.
Menjelang akhir hidupnya yang panjang itu, Kanjeng Sunan Prapen menyatakan keinginan menghormati kakeknya, Prabu Setmata, pendiri trah ulama suci di Giri. Ia memerintahkan membuat cungkup di atas makam kakeknya, konon pada 1590. Rupanya, ia menyadari bahwa kekuasaannya di Jawa Timur terletak di atas dasar rohani yang kukuh, yang telah diletakkan oleh seorang ulama, yakni kakeknya itu. Kyai keempat di Giri tersebut pasti telah lanjut sekali usianya. Raja tua itu berumur 120 tahun, ia wafat pada 1605.

9. Pengaruh Kanjeng Sunan Giri
Para pelaut dan buruh Gresik memperkenalkan nama Giri ke pesisir kepulauan di bagian timur Nusantara pada abad ke-16 dan 17. Sejak jaman Kanjeng Sunan Prapen kekuasaan para kyai dari Giri ternyata mendominasi Gresik.
Giri mempunyai posisi penting, Pangeran Prapen, anak Sunan Ratu di Giri, disebut dengan nama jelas. Dengan armadanya ia singgah lebih dulu di Pulau Sulat dan Sungian. Ia memaksa raja Teluk Lombok mengakui kekuasaan Islam. Kemudian, ia memasuki Tanah Sasak di barat daya, dan berlayar ke Sumbawa dan Bima. Dalam ekspedisi yang kedua, orang Jawa Islam menduduki kota Kraton Lombok, Selaparang. Rencana mereka merebut Bali Selatan dari sebelah ti¬mur, demi penyebaran kebudayaan untuk agama Islam.
Usaha pengislaman di Makassar dilaksanakan oleh kegiatan seseorang dari Minangkabau, yang bernama Dato ri Bandang. Dulu ia murid kyai di Giri, dan menurut Babad Lombok bahkan ia masih berkerabat dengan keluarga Giri. Jadi, pengaruh Giri juga sampai di Sulawesi Selatan.
Menurut kisah sejarah di Kutai, Dato ri Bandang - disebut juga Tuan di Bandang dan sama orangnya dengan yang giat bekerja di Makassar - berjuang juga di Kalimantan Timur untuk dakwah Islam. Di Kalimantan Selatan wangsa raja Banjarmasin beralih ke agama Islam berkat pengaruh Demak Bintara. Hal itu mungkin sudah terjadi pada paruh pertama abad ke-16, pada masa sebelum kekuasaan Giri ngrembaka.
Di Kalimantan Selatan memberitakan juga adanya pernikahan antara “pangeran-pangeran” Giri dengan putri-putri setempat. Karena Raja Matan dari Sukadana, yang mulai memerintah pada 1590, memakai nama Giri Kusuma, diduga ada pula pengaruh Giri di sana.
Berita-berita yang panjang lebar dan besar jumlahnya mengenai hubungan antara Giri dan Indonesia bagian timur terdapat dalam kisah-kisah dari kepulauan itu sendiri. Perlu dicatat di sini orang suci Islam dan pendiri “negeri” Tengah-Tengah, yang pasareyanipun di Kailolo kini masih dihormati, dipanggil Usman. Seorang Usman atau Ngusman juga disebut-sebut dalam Sujarah Dalem dalam bab mengenai trah wali di Surabaya, Kanjeng Sunan Ngampel Denta. Ngusman ini, anak seorang cendekiawan agama dari Gresik, nikah dengan anak perempuan Sunan Khatib di Ngampel Denta. Ia diberitakan tinggal di Maluku. Istrinya sekembalinya di Jawa, diberi sebutan Nyai Ageng Maloka.
Memang benar bahwa yang dimaksud dulu dengan nama Maluku (Pulo Maloka) bukan Tengah-Tengah dan Kailolo yang lebih selatan letaknya. Usman dari Kailolo dan Ngusman Jawa boleh dianggap sama orangnya. Mungkin Nyai Ageng Maloka di Jawa dalam Sujarah Dalem juga sama orangnya dengan Mahadum Ibu Kali Tuwa, seorang wanita terkemuka yang bersama “Perdana Pati” Tuban berlayar dari Hitu ke Jawa.
Orang-orang Hitu baru pada 1565 mengadakan perjanjian dengan "Raja Giri" atau "Raja Bukit" untuk mendapat perlindungan. Prajurit-prajurit Jawa selama kurang lebih tiga tahun tinggal di suatu tempat yang bertahun-tahun sesudah itu masih disebut “Kota Jawa”.
Raja Ternate, Zainul-Abidin, yang memerintah sejak 1486 sampai 1500, pernah menjadi pejabat di Giri duk nalikaning masih putra mahkota. mengenai pemuda Ternate ini dikisahkan bahwa ia dengan satu tetakan pedangnya membelah kepala seorang Jawa yang mengamuk dan mau ngrabaseng yuda Sri Kanjeng Sunan Giri. Pedangnya itu membelah sebuah batu karang, yang bertahun-tahun sesudah itu masih kelihatan bekasnya. Pada abad 17, hubungan Giri dengan Hitu dan tempat-tempat lain di Indonesia bagian timur sering diadakan.
Ketiga kraton terpenting yang diperintah oleh kyai, yang di Jawa berdiri berdampingan dalam paruh kedua abad 16, yakni Cirebon Darusalam, Kudus, dan Giri, masing-masing mempunyai ciri khas. Dari sejarah Jawa mengenai para wali dan kisah sejarah boleh disimpulkan bahwa di Cirebon Darusalam/Gunung Jati keimanan dan mistik Islam mempunyai posisi krusial dalam masyarakat serta di dalam kraton para wali dan anak cucunya. Kekayaan dan kekuasaan politik raja-raja Cirebon Darusalam tidak pernah sangat besar.
Tidak sama dengan kedua trah lainnya, trah Kudus tidak dapat memiliki tlatahnya lebih dari satu abad tanpa mengalami campur tangan Narendra Agung-mahaNarendra Mataram Hadiningrat, Kudus terlalu dekat dengan Kotanegara Jawa Tengah bagian selatan. Dalam pada itu, di “kota suci” tersebut umat Islam, yang “taat” masih menunjukkan semangat juangnya untuk bertempur demi agama Islam dan tekadnya untuk tetap bebas merdeka, juga sesudah trah pahlawan perkasa yang merebut Majapahit sudah lama tidak berkuasa lagi. Unsur-unsur teologi Islam, tetap mendapat perhatian orang di Kudus.
Dalam bidang ekonomi dan politik, para Kanjeng Sunan Giri mempunyai posisi yang jauh lebih krusial dari sunan-sunan di Cirebon Darusalam atau Kudus. Dengan kebijakan politiknya, dan bila perlu dengan keberanian pejuang, ternyata selama kira-kira dua abad, para sunan di Giri mampu mempertahankan kemerdekaan terhadap serangan raja-raja pelosok Majapahit dan Mataram Hadiningrat. Kraton di Giri sungguh besar sumbangannya untuk kemajuan kebudayaan Islam di pesisir, yang masih tetap melanjutkan tradisi kebudayaan. Para buruh dan pelaut dari Gresik memperkenalkan nama para kyai dari Giri sampai jauh di luar Jawa. Kelompok elite di kota pelabuhan ini agaknya lebih banyak berdarah campuran dibanding dengan kelompok elite di kota-kota pelabuhan lain di Jawa, trah Cina mempunyai posisi krusial dalam sejarah Gresik. Perdagangan antarpulau, kekayaan, dan pengaruh politik rupanya lebih diperhatikan oleh para sunan di Giri daripada hidup saleh secara Islam dan mempelajari ilmu agama.
Kanjeng Sunan Prapen dari Giri dan Kanjeng Sunan Gunung Jati dari Cirebon Darusalam hi¬dup sezaman. Keduanya meninggal dalam usia yang sangat lanjut. Sungguh menarik perhatian bahwa baik sejarah Jawa mengenai orang suci maupun kisah sejarah tidak memberitakan adanya hubungan di antara kedua “Pemimpin Gunung” di pesisir utara Jawa itu. Perbedaan sifat kedua sunan itu - yang seorang terbuka yang lain tertutup - mungkin memang mengakibatkan sedikitnya komunikasi di antara mereka. Kisah-kisah pun tidak menyebut-nyebut soal itu. Pada 1636, waktu Kanjeng Panembahan Kawis Guwa dari Giri dibawa ke Mataram Hadiningrat sebagai tawanan, di kraton Kanjeng Sultan Agung ia bertemu mu-ka dengan Kanjeng Panembahan Ratu dari Cirebon Darusalam. Dalam hubungan ini pantas sekali diperhatikan bahwa tempat permakaman Gunung Jati dekat Cirebon Darusalam berabad-abad lamanya dianggap sebagai tlatah suci. Makam sunan-sunan di Giri, meskipun dihias dengan kayu berukir yang mahal dan berlapis emas.

10. Nyi Gede Pinatih
Menurut Babad Gresik, Sunan Giri yang mempunyai nama kecil Raden Paku, merupakan putra Maulana Ishak dengan putri raja Blambangan. Saat Raden Paku masih kecil, Maulana Iskak pergi meninggalkan Blambangan karena ia beranggapan tidak berhasil mengislamkan Blambangan. Oleh putri raja Blambangan tersebut, Raden Paku dibuang ke sungai dan akhirnya ditemukan serta diangkat anak oleh Nyi Gede Pinatih dari Gresik. Setelah dewasa, ia dikirim untuk belajar agama kepada Sunan Ampel di Ampel Denta. Setelah menunaikan ibadah haji, Raden Paku kemudian mendirikan pesantren di daerah bukit Kedaton
Kebesaran nama Sunan Giri terlihat antara lain sebagai anggota Dewan Walisanga dan namanya yang disebut dalam tiga sumber sejarah yaitu Babad Tanah Djawi, Babad Gresik dan Babad Demak. Nama Sunan Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Ia merupakan seorang wali yang secara aktif ikut merencanakan berdirinya kerajaan Islam Demak serta terlibat dalam penyerangan ke Majapahit. Selain berupa ajaran agama, ajaran Sunan Giri yang lain berupa permainan anak-anak serta tembang-tembang yang bernafaskan keislaman. Salah satu tembang ciptaan Sunan Giri adalah Asmaradana dan Pucung.

Peninggalan Sunan Giri
Peninggalan Sunan Giri yang masih dapat ditemui sampai saat ini adalah masjid, makam dan toponim permukiman Giri.

Masjid
Masjid makam Sunan Giri terdiri dari dua bangunan, yaitu masjid kecil dan masjid besar. Pada pintu masuk ke halaman masjid terdapat gapura paduraksa dimana pada bagian atasnya dapat ditemukan suatu ornament berupa tulisan ayat-ayat suci Al-Quran. Bentuk atap dari kedua masjid ini adalah tumpang. Bentuk iatap tumpang merupakan salah satu ciri masjid-masjd Kuna di Indonesia.

Makam Sunan Giri
Untuk menuju ke makam, para pengunjung harus melewati tangga yang terbagi menjadi empat teras. Pada teras pertama terdapat sebuah gapura yang bebentuk candi bentar dan menghadap ke selatan. Pada gapura ini, terdapat hiasan patung naga, pahatan-pahatan kala, dan medallion. Gapura pada teras pertama terbuat dari batu bata dan balok kapur. Pada bagian akhir dari teras pertama ini, terdapat sebuah gapura paduraksa yang ukurannya lebih kecil dari pada gapura yang pertama tadi.

Kompleks makam Sunan Giri berada di sisi sebelah barat Masjid Giri. Halaman utama makam Sunan Giri berbentuk empat persegi panjang, yang dikelilingi oleh tembok bata dan tumpukan batu karang. Pada kompleks makam ini terdapat dua buah pintu masuk yang masing-masing berbentuk gapura paduraksa. Kedua gapura tersebut terletak di sebelah selatan dan timur. Pada halaman utama makam tersebut dapat ditemukan tiga buah bangunan kayu yaitu bangunan pendapa, cungkup makam Sunan Giri dan cungkup makan keturunan Sunan Giri. Bangunan cungkup makam Sunan Giri merupakan sebuah bangunan kayu yang dihiasi dengan pahatan yang menggambarkan kala makara yang distilir dengan motif tumbuh-tumbuhan.

Toponim di Sekitar Giri

Di sekitar pemukmian Giri dapat ditemukan 14 toponim, yaitu nama tempat yang menunjukkan bahwa dahulu di daerah tersebut terdapat suatu pemukiman yang berhubungan dengan sebuah kerajaan.

• Kedaton, dapat diartikan sebagai tempat tinggal raja. Toponim ini terletak di punggung bukit kapur Pada lokasi tersebut dapat ditemukan bekas-bekas teras dan masjid. Menurut cerita penduduk setempat, masjid tersebut merupakan yang pertama didirikan oleh Sunan Giri.
• Punggawan, diartikan sebagai pengawal. Hal tersebut menunjukkan bahwa tempat tersebut dulunya merupakan tempat bermukim para serdadu. Toponim ini terletak di sebelah selatan Kedaton.

• Tambak Baya, menunjukkan sebagai tempat pertahanan. Daerah ini terletak di sekitar 200 m di sebelah selatan situs Punggawan.

• Kajen, menunjukkan pemukiman dari orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Daerah ini berada di sebelah utara Kedaton.

• Jraganan, menunjukkan pemukiman bagi sekelompok pedagang. Daerah ini terletak di sebelah timur laut Kedaton dan berjarak sekitar 500 m.
• Dalem Wetan, diartikan sebagai rumah yang terletak di sebelah timur, atau daerah di sebelah timur istana. Daerah ini diperuntukkan bagi tempat tinggal putra Sunan Giri, yang memerintah dengan gelar Sunan Dalem Wetan.

• Kepandean, berarti tempat bermukim bagi sekelompok pandai besi. Daerah ini terletak di sebelah timur dalem wetan dengan jarak sekitar 200 meter.

• Pasar Gede, terletak di sebelah tenggara Kedaton dengan jarak sekitar 200 meter.

• Alun-alun, terletak di sebelah selatan pasar gede

• Kemodin, menunjukkan bahwa tempat tersebut merupakan tempat bermukim sekelompok orang yang bertugas dalam bidang keagamaan. Daerah ini terletak di sebelah tenggara alun-alun.

• Kebonan, menunjukkan bahwa daerah tersebut dulunya merupakan sebuah kebun, yang ditanami tumbuh-tumbuhan saja. Daerah ini terletak di sebelah barat laut Kedaton.

• Kebon dalem, berarti kebun milik raja, daerah ini sekarang tidak berpenghuni dan hanya ditumbuhi bambo duri saja. Daerah ini berada di sebelah utara Kebonan.

11. Pesantren Giri Prapen
Sunan Prapen adalah salah seorang penguasa Giri yang memerintah pada sekitar tahun 1548-1605. Pada awalnya, Giri merupakan suatu pesantren yang didirikan oleh Raden Paku yang kemudian bergelar Sunan Giri I. Setelah Sunan Giri I meninggal kekuasaan diteruskan oleh putranya yang bergelar Sunan Dalem.
Pemerintahan Sunan Dalem dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sunan Sedo Ing Margi. Pada waktu Sultan Trenggono mengadakan ekspansi wilayah ke Blambangan, Sunan Sedo Ing Margi yang sedang menbantunya meninggal dunia dan digantikan oleh Sunan Prapen yang merupakan saudaranya. Jadi Sunan Prapen merupakan cucu dari Sunan Giri I sebagai pendiri Pesantren Giri.
Giri mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Sunan Prapen sehingga Giri merupakan suatu daerah kota pusat pesantren dan penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Timur Utara. Giri diakui keberadaannya oleh penguasa Pajang sebagai suatu wilayah Politis-religius, hal ini tampak pada saat pelantikan Sultan Hadiwijaya yang dilakukan oleh Sunan Prapen. Pengakuan keberadaan Giri sebagai pusat penyebaran Agama Islam oleh Kerajaan Pajang dimanfaatkan oleh Sunan Prapen untuk lebih giat menyebarkan para santrinya ke seluruh wlayah di luar Giri sehingga para santri Giri berhasil mengislamkan daerah Jawa Timur, pesisir utara Jawa Tengah, Madura, Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, dan Makasar.
Kejayaan dan kebesaran Giri bukan hanya sebagai pusat penyebaran Agama Islam melainkan juga menjadikan Giri sebagai suatu daerah yang merdeka dan kuat selain itu para santri Giri menguasai perdagangan rempah-rempah di daerah Hitu dan Ternate. Bahkan beberapa daerah mengakui dan meminta bantuan dalam usahanya memerangi Mataram yang berusaha menguasai wilayahnya, seperti Pangeran Mas dari Arosbaya (Madura).
Giri sebagai pusat pesantren dan pusat penyebaran Agama Islam yang terkemuka juga diakui oleh bangsa Eropa terutama bangsa Belanda. Bahkan orang-orang Belanda menyebut penguasa Giri (Sunan Prapen) sebagai Raja Bouckit atau Ulama tertinggi, pemimpin para rohaniwan dan juga disebut sebagai “Paus Islam” dari Jawa. Sunan Prapen meninggal pada tahun 1605 dan digantikan oleh Panembahan Kawisguwo sebagai pemimpin Pesantren Giri. Pada masa pemerintahan Panembahan Kawisguwo ini Giri mengalami kemerosotan dari segi wilayah maupun kekuasaan dalam bidang niaga dengan direbutnya daerah Jortan (pusat pedagangan Giri) di Gresik oleh Adipati Surabaya.

Kompleks Makam Sunan Prapen
Setelah Sunan Prapen meninggal, beliau tidak dimakamkan di dalam Kompleks Makam Sunan Giri melainkan dimakamkan di Kompleks makam tersendiri yang berada kira-kira 200 meter di sebelah barat lautnya. Kompleks tersebut kemudian dikenal sebagai Kompleks Makam Sunan Prapen. Secara administratif Kompleks Makam Sunan Prapen terletak di Desa Klangonan, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Propinsi Jawa Timur. Pada kompleks tersebut dimakamkan Sunan Prapen beserta keturunannya yaitu Panembahan Kawisguwo dan Panembahan Agung.
Kompleks makam ini dibatasi oleh pagar keliling dari batu bata dan terletak di perbukian Giri dengan 8 teras alami di bawahnya. Pada sisi selatan halaman utama terdapat tangga naik dari bata yang dilepa, pada tangga terbawah terdapat batu andesit yang berbentuk segi empat yang disebut Watu anak. Di depan tangga terdapat gapura paduraksa, yang pada dindingnya terdapat angka 1952 yang merupakan tahun pembangunan kembali gapura tersebut.
Di dalam halaman utama terdapat 32 nisan makam dalam keadaan rusak dan 4 buah cungkup. Sebuah cungkup terletak di barat daya halaman dan sisanya berjajar di sisi utara halaman tersebut. Cungkup yang terletak di barat daya, dindingnya terbuat dari kayu dengan ukuran cungkup 4,2 meter x 2,3 meter. Atap cungkup berbentuk limasan dari seng. Di dalam cungkup tersebut terdapat sebuah nisan yang belum diketahui namanya. Ketiga cungkup yang lain berjajar dari barat ke timur yaitu: cungkup Panembahan Agung, cungkup Panembahan Kawisguwo dan cungkup Sunan Prapen.
Cungkup Sunan Prapen berada paling timur, terbagi menjadi dua bagian yaitu serambi dan bangunan inti. Serambi cungkup memiliki atap berbentuk limasan yang disangga oleh tiang sebanyak 12 buah. Langit-langit serambi terbuat dari anyaman bambu. Di dalam serambi ini terdapat 15 nisan makam para santri dan kerabat Sunan Prapen. Serambi ini sekarang memiliki fungsi sebagai tempat beristirahat bagi para peziarah yang hendak mengunjungi makam Sunan Prapen.
Bangunan Inti memiliki atap yang berbentuk tajug dengan kemuncak dari tembaga. Bangunan inti ini terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian luar dan bagian dalam yang merupakan bagian paling sakral dari cungkup ini. Lantai bangunan bagian luar lebih tinggi dari lantai serambi dengan dinding berupa gebyog yang dihias dengan ukiran flora dan fauna. Di dalam bangunan inti bagian luar ini terdapat nisan istri Sunan Prapen yang terbuat dari batu putih.
Bangunan inti bagian dalam memiliki lantai yang lebih tinggi dari bangunan inti bagian luar, berdinding gebyog polos. Di dalam bangunan inti bagian dalam terdapat dua nisan yang berjajar barat-timur. Nisan yang di sebelah barat merupakan nisan Sunan Prapen berada dalam krobogan dari kelambu. Nisan makam terbuat dari batu putih. Sedangkan nisan yang terletak di sebelahnya adalah nisan istri Sunan Prapen yang juga terbuat dari batu putih.
Cungkup Makam Panembahan Kawisguwo (tengah) terdiri dari dua bagian yaitu serambi dan bangunan inti. Di dalam serambi terdapat 3 makam yang kesemuanya terbuat dari batu putih dan hingga kini belum diketahui nama-namanya. Bangunan inti Cungkup makam Panembahan Kawisguwo mempunyai dinding dari batu putih dengan hiasan flora dan fauna yang distilir pada dinding timur dan barat, sedangkan dinding utara tidak dihias/polos. Pada dinding sisi selatan bangunan ini memiliki pintu masuk paduraksa dengan pintu dari kayu yang berbentuk kupu tarung.
Bangunan cungkup Panembahan Kawisguwo memiliki atap tajug dengan kemuncak berupa hiasan yang disangga oleh lima buah tiang, empat merupakan saka guru, sedangkan yang sebuahnya didirikan di depan pintu masuk. Di dalam bangunan inti ini terdapat 2 buah nisan makam, yaitu makam Panembahan Kawisguwo dan istrinya. Kedua nisan makam tersebut terbuat dari batu putih hanya berbeda ukurannya. Makam Panembahan Kawisguwo lebih besar ukuranhya daripada ukuran nisan makam istrinya.
Cungkup Panembahan Agung (paling barat) memiliki dinding pada keempat sisinya namun keadaannya sekarang sudah rusak. Cungkup ini terbagi menjadi dua bagian yaitu serambi dan bangunan inti. Pada serambi terdapat nisan makam dalam keadaan rusak. Di dalam bangunan inti terdapat 3 buah nisan makam yang terbuat dari batu putih yang disusun berjajar dari barat ke timur, yaitu: nisan makam istri Panembahan Agung, nisan makam Panembahan Agung, dan nisan makam yang tidak diketahui namanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar