Ahlan Wasahlan Sugeng Rawuh ....

"SELURUH DUNIA ADALAH PESANTRENKU" demikian fatwa Sunan Kalijaga, 600 tahun yang lalu. Sabda pangandika ini mengisyaratkan bahwa tugas dakwah adalah ke seluruh alam tanpa batas. Maka Pesantren Khusnul Khatimah, nyendikani dawuh ini dengan mengirim ratusan santri, kyai, ulama, ustadz ke seluruh penjuru dunia untuk terus mengabarkan ketauhidan Allah SWT.

Zakat Mal, Sumbangan, Infak dan Sedekah Anda
akan kami salurkan untuk membantu program dakwah ke pelosok-pelosok nusantara.

Sabtu, 22 Mei 2010

SUNAN MURIA WALI COLO


M. HARIWIJAYA

1. Kisah Kebo Anabrang
Deretan anggota Dewan Wali Sanga yang lain adalah Sunan Muria. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ibunya bernama Dewi Sarah. Istrinya bernama Dewi Sujinah, kakak kandung Sunan Kudus. Putranya bernama Pangeran Santri. Nama kecil Sunan Muria adalah Raden Umar Said, Raden Said dan Raden Prawata. Disebut Sunan Muria karena wilayah syiar Islamnya meliputi lingkungan Gunung Muria. Karya Sunan Muria di antaranya:
a. Tembang Sinom
b. Tembang Kinanti
Raden Umar Said sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang (Hidayat dan Kristiyanto, 2001).
Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer (Hidayat dan Kristiyanto, 2001).
Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kyai Ageng Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar Roro Pujiwati.
Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa turun langsung melerai pertengkaran itu. “Siapa yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah yang berhak”, kata Raden Umar. Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia pun melanjutkan perjalanan. Tapi, apa hendak dikata. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole, Desa Muktiharjo, yang berjarak lima kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan penduduk setempat (Hidayat dan Kristiyanto, 2001).
Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak lain adalah Sunan Muria. Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Toh, kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai kini belum ada telaah yang jelas mengenai asal usul Sunan Muria (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli sejarah A.M. Noertjahja dan Solihin Salam yakin dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishaq memperoleh tiga anak, yakni Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah .

2. Pustaka Darah Agung
Tulisan Darmowasito Pustaka Darah Agung, yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. Bahkan ada juga yang menyebutnya keturunan Tionghoa (Hidayat dan Kristiyanto, 2001).
Slamet Muljono, dalam bukunya yang berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (1968), menyebutkan ayah Sunan Muria, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang, Sunan Muria disebut berbaur dengan suku Jawa. Slamet mengacu pada naskah kuna yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang pada 1928. Pemerintah Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu (Hidayat dan Kristiyanto, 2001).
Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria, Antara Fakta dan Legenda (1983), bolehlah digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan Tionghoa. Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuna tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).

3. Tapa Ngeli
Tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Gayanya “moderat”, mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dina sampai nyewa, yang tak diharamkannya. Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau shalawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari (Hidayat dan Kristiyanto, 2001).
Sunan Muria sering berpesan demikian kepada para pengikutnya :
a. Owah gingsiring kahanan iku saka karsaning Pangeran Kang Murbeng Jagad.
b. Ora ana kasekten sing madhani papesthen, awit papesthen iku wis ora ana sing bisa murungake.
c. Bener kang asale saka Pangeran iku lamun ora darbe sipat angkara murka lan seneng gawe sangsaraning liyan.
d. Ing donya iki ana rong warna sing diarani bener, yakuwi bener mungguhing Pangeran lan bener saka kang lagi kuwasa.

Terjemahan :

a. Perubahan keadaan itu atas kehendak Tuhan.
b. Tiada kesaktian yang menyamai kepastian Tuhan, karena tidak ada yang dapat menggagalkan kepastian dari Tuhan.
c. Benar yang berasal dari Tuhan itu apabila tiada sifat angkara murka dan tidak suka menyengsarakan orang lain.
d. Di dunia ini ada dua macam kebenaran, yaitu benar di hadapan Tuhan dan benar di hadapan yang sedang berkuasa.

Lewat tembang-tembang itu ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara. Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah tapa ngeli. Yakni dengan “menghanyutkan diri” dalam masyarakat.
Pengaruh Sunan Muria hingga saat ini masih besar. Sampai kini, kompleks makam Sunan Muria, yang terletak di Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. Kurang lebih ada sekitar 15.000 peziarah tiap hari. Mereka berasal dari seluruh pelosok Nusantara. Bahkan ada yang datang dari luar negeri, terutama dari negara Islam (Hidayat dan Kristiyanto, 2001).

4. Ulama Besar dari Jepara
Di masa jaya Kesultanan Demak Bintara, Kadipaten Jepara juga menjadi tempat tinggal para buruh dan pelaut. Mungkin Jepara itu kota tua, lebih tua dari Demak Bintara. Sebagai kota pelabuhan, dengan teluk yang aman, Jepara selalu lebih disukai daripada Demak Bintara, tetapi yang lebih menguntungkan Demak Bintara ialah adanya hubungan yang lebih mudah dengan pedalaman Jawa Tengah. Dari pelosok harus didatangkan beras untuk dijual pada buruh dari seberang di kota-kota pelabuhan. Sukarnya hubungan dengan tanah pelosoklah yang menjadi salah satu sebab jatuhnya Jepara sebagai kota pelabuhan pada abad ke-17. Semarang menggantikannya.
Kekalahan melawan Malaka pada 1512-1513, yang mengakibatkan armada Kanjeng Adipati Yunus dari Kadipaten Jepara nyaris hancur sama sekali. Citra kekuasaan para pejabat Jepara, dengan demikian menjadi berkurang, namun perdagangan lautnya tidak sampai musnah. Karena kematian Kanjeng Sultan Trenggana dari Demak Bintara pada 1546 tiba-tiba berakhirlah kemakmuran “kekaisaran” Demak Bintara. Sesudah pabaratan berdarah antara para calon pengganti raja di Kotanegara Demak Bintara, para pejabat kraton yang terkemuka berkumpul di Jepara untuk memusyawarahkan hari depannya. Kecuali kisah-kisah yang bersifat sejarah pawarta mengenai Jepara dalam kisah-kisah Jawa dimulai dengan berita mengenai didirikannya Kalinyamat. Kota Kalinyamat kira-kira 18 km ke pelosok Jepara, di tepi jalan ke Kudus, pada abad ke-16 menjadi pusat pemerintahan kota pelabuhan itu. Menurut kisah, yang mendirikan tempat itu ialah orang Cina, nakhoda sebuah kapal dagang yang kandas di pantai. Sesampainya di Jepara (Jung Mara) dalam kondisi melarat, ia diislamkan oleh Kanjeng Sultan Kudus. Tidak lama kemudian ia mendiri¬kan pedukuhan di tepi jalan antara Kudus dan Jepara yang lama-kelamaan dapat dikembangkannya, sehingga maju. Ia suwita pada Kanjeng Sultan Trenggana dari Demak Bintara, dan mendapat salah seorang putri Kanjeng Sultan Trenggana sebagai istri. Pasti putri itulah yang pada silsilah trah Demak Bintara tercatat sebagai Ratu Harya Jepara atau Ratu Pakuwan Pajajaran. Dalam babad Jawa Tengah ia disebut Kanjeng Ratu Kalinyamat.
Ki Ageng Kalinyamat, seperti juga iparnya, Sunan Prawata dari Demak Bintara, diprajaya oleh Harya Penangsang dari Jipang yang ternyata bertekad membinasakan semua saingannya untuk menduduki takhta kraton almarhum Kanjeng Sultan Trenggana. Makam Ki Ageng Kalinyamat dan istrinya, Sang Ratu, yang sesudah kematian suaminya masih hidup puluhan tahun, ditemukan di pemakaman Mantingan, tidak jauh di sebelah selatan Jepara. Mungkin ia memerintahkan membangun makam itu duk nalikaning hidup menjanda sebagai ratu Jepara.
Kanjeng Ratu Kalinyamat lalu bertapa telanjang di Gunung Danaraja. Sebagai penutup tubuhnya hanyalah rambutnya yang digerai. Kanjeng Ratu Kalinyamat bersumpah, tidak mau memakai kain selama hidup, kalau Harya Jipang belum mati, dan janji siapa yang bisa membunuh Harya Jipang, Kanjeng Ratu Kalinyamat akan suwita kepadanya dan semua miliknya diserahkan semua. Alkisah, Kanjeng Sunan Kudus sedang bermusyawarah dengan Harya Penangsang. Kanjeng Sunan Kudus berkata, “Kakangmu Prawata dan Kalinyamat sekarang sudah mati dan istrinya menangis-nangis. Tapi belum lega hatiku, kalau kamu belum berdhampar kencana menjadi raja tanah Jawa. Dan kalau masih ada adikmu Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat, kukira kamu tidak bisa jadi raja, sebab itu yang menyulitkan.”
Arya Penangsang, setelah mendengar laporan kajineman (polisi rahasia), sangat susah hatinya. Ia lalu memberi tahu Kanjeng Sunan Kudus, kalau utusannya membunuh Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat tidak berhasil. “Kalau Kanjeng Sunan berkenan, sebaiknya Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat saja yang sebaiknya diperintah ke sini, dengan alasan, akan diajak bermusyawarah tentang ilmu. Kalau sudah sampai di sini, mudahlah itu.” Kanjeng Sunan Kudus menuruti permohonan Harya Penangsang. Ia lalu mengirim utusan untuk memanggil Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat. Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat gugup menerima perintah Kanjeng Sunan Kudus, karena artinya diperintah oleh guru. Beliau kemudian bersiap-siap.

5. Kasultanan Pajang
Pada suatu malam, Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat duduk berbincang-bincang dengan Ki Ageng Pemanahan serta Ki Ageng Panjawi. Ki Ageng Pemanahan berkata, “Saya mendengar kabar, setelah wafatnya Sunan Prawata dan kakangnya, Kangmbok Kanjeng Ratu Kalinyamat sangat prihatin, dan kemudian bertapa di Gunung Danaraja sambil telanjang. Sumpahnya, ia tidak mau berkain, kalau Harya Penangsang belum mati. Kalau Adimas berkenan, mari kita menjenguknya ke sana.” Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat sepakat dengan usulan Ki Ageng Pemanahan. Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat lalu pergi ke Gunung Danaraja pada waktu malam hari. Yang mengikuti adalah Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Panjawi, dan ketiga Raden Ngabehi Loring Pasar. Setibanya Gunung Danaraja, mereka terhenti di regol.
Para putri penjaga melaporkan kepada Kanjeng Ratu Kalinyamat, kalau Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat ingin bertemu. Kata Kanjeng Ratu Kalinyamat, “Segera panggillah kemari, akan tetapi beritahu terlebih dulu, kalau aku tidak bisa menemui langsung. Persilahkan duduk di luar gerbang saja.” Dayang yang diperintah tadi segera menyampikan pesan itu kepada Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat. Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat dan ketiga kawannya lalu masuk, duduk di luar gerbang.
Kanjeng Ratu Kalinyamat berkata, “Adimas Prabu, apa maksud kedatanganmu kemari?” Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat menjawab, “Mbakyu, saya ke sini karena saya mendengar berita, kalau Mbakyu meninggalkan negeri, bertapa di Gunung Danaraja serta tidak berkain. Apakah yang menjadi kesusahan hati Mbakyu? Adapun kematian Kakang Kalinyamat, orang sudah takdir Allah. Kalau boleh, hilangkanlah kesedihan Mbakyu yang berlebihan itu.” Kanjeng Ratu Kalinyamat berkata, “Aku mengucapkan terima kasih, Adimas, atas nasehatmu kepadaku. Akan tetapi sumpahku sudah terlanjur, bagaimana? Aku tidak memakai kain, kalau Si Harya Jipang belum mati. Meskipun aku sampai mati, kujalani. Malah kedatanganmu ke sini itu membuatku senang sekali. Karena aku perempuan, siapa yang akan kumintai tolong menghilangkan keprihatinanku. Kalau Adimas bisa membunuh membunuh Si Harya Penangsang, maka Kalinyamat dan Prawata, juga seluruh harta bendaku semua kuserahkan kepada Adimas, serta aku numpang hidup kepadamu.” Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat berkata, “Mbakyu, saya takut melawan Harya Jipang, sebab ia sangat sakti dan kuat.” Kanjeng Ratu Kalinyamat berkata, “Adimas, siapa yang bisa mendengar tangis Mbakyumu ini, kecuali kamu? Apakah kedatanganmu ke sini itu tak berguna.” Ki Ageng Pemanahan berbisik-bisik kepada Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat, “Kalau menurut saya, sebaiknya dipikir dahulu. Adimas Prabu sebaiknya sanggupi dulu, nanti malam kita bicarakan lagi. Besok pagi Adimas Kanjeng Sultan kemari lagi.” Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat menurut. Ia lalu berkata, “Baiklah Mbakyu. Akan aku pikirkan semalam ini.” Kanjeng Ratu Kalinyamat berkata, “Iya, Adimas, besuk kembalilah ke sini. Benar lho, aku tunggu-tunggu.” Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat lalu pamit kembali ke pesanggrahan.
Ki Ageng Pemanahan mengikuti Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat mundur. Akan tetapi kemudian ia kembali menemui Kanjeng Ratu Kalinyamat, lalu ditanyai, “Adimas Pemanahan, ada apa lagi, kok ke sini lagi?” Ki Ageng Pemanahan berkata, “Mbakyu, saya ada gagasan untuk Sampeyan, tentang cara minta tolong kepada Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat. Duk nalikaning tadi saya melihat dua dayang putri Sampeyan yang cantik-cantik itu, besok pagi suruhlah berdandan. Kalau Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat datang ke sini, suruhlah mereka dekat di gerbang ini. Karena, wataknya Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat, kalau melihat perempuan cantik, ia lalu timbul keberanian. Pasti lalu menyanggupi untuk membunuh Harya Jipang. Apalagi kalau putri tadi Sampeyan berikan. Hanya ini usul saya sehingga saya kembali ke sini.” Kanjeng Ratu Kalinyamat tersenyum sambil berkata, “Terima kasih, Adimas, atas gagasanmu serta akan aku turuti.” Ki Ageng Pemanahan lalu pamit kembali ke pesanggrahan.
Esoknya, Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat bermusyawarah dengan Ki Ageng Panjawi dan Pemanahan. Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat berkata, “Bagaimana menurutmu Kakang, tentang permintaan tolong kakang saya itu?” Ki Ageng Pemanahan menjawab, “Sebaiknya disanggupi, sebab yang berkewajiban menolong hanya Sampeyan. Sampeyan pasti tidak kekurangan akal. Abdi Sampeyan para bupati ditanyai, siapa yang bisa membunuh Harya Jipang, Sampeyan ganjar negeri dan raja brana. Mustahil, kalau tidak ada yang sanggup.” Mendengar gagasan Ki Ageng Pemanahan, Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat sangat lega hatinya. Ia lalu berkata, “Kakang, nanti malam kita kembali. Kasihan kakangmbok, agar berhenti kesusahannya.”
Setelah malam mulai jatuh, mereka kembali menuju Gunung Danaraja. Setibanya di situ, Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat kaget melihat dua putri cantik, duduk di kiri kanan gerbang. Kanjeng Sultan sangat terpesona hatinya. Ia lalu menoleh bertanya kepada Ki Ageng Pemanahan, “Kakang, dua orang itu istri siapa, kok cantik sekali. Saya belum pernah melihat.” Ki Ageng Pemanahan berkata, “Saya kira selirnya Kakang Kalinyamat dulu. Jangankan hanya putri, meskipun yang lain pasti diberikan, kalau Adimas Prabu bisa memenuhi permintaannya.”
Kanjeng Ratu Kalinyamat kemudian bertanya kepada Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat, “Bagaimana, Dimas, kedatanganmu kemari apakah sudah memikirkan apa permintaanku kemarin?” Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat berkata, “Mbakyu, Sampeyan jangan khawatir. Enakkan saja hati Sampeyan. Saya sanggup membunuh Harya Penangsang. Akan tetapi dua putri ini saya minta, itu lho yang duduk dekat gerbang.” Kanjeng Ratu Kalinyamat berkata, “Adimas, jangankan dua orang putri itu, negara Kalinyamat dan Prawata dan kekayaanku semua kuberikan. Asalkan kamu memenuhi permintaanku.”
Dua putri tadi lalu diberikan, disuruh duduk di dekat Sultan. Keduanya lalu maju, duduk menunduk. Sebenarnya, dua putri ini sudah bersuami. Yaitu kajineman di Prawata. Setelah menerima dua putri itu, lalu Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat berkata, “Mbakyu, jangan khawatir Sampeyan. Harya Jipang mesti mati oleh saya.” Kanjeng Ratu Kalinyamat berkata, “Baik, Adimas, siapa yang kupercaya lagi selain dirimu?”
Sultan pamit pulang ke pesanggrahan, membawa dua orang putri. Adapun kajineman yang punya istri tadi waktu malam hari berniat membunuh Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat, dengan membawa teman-teman kajineman empat orang kajineman. Waktu itu Kanjeng Sultan sedang tidur, lalu dihujani senjata oleh empat orang kajineman itu. Akan tetapi tidak mempan. Duk nalikaning Kanjeng Sultan bangun, empat kajineman itu bertobat. Kanjeng Sultan lalu mengampuni mereka, serta diizinkan pulang kembali. Mereka merelakan istrinya.
Danang Sutawijaya sebagai anak emas Kanjeng Sultan Hadiwijaya, beliau berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menunjukkan darma baktinya. Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat memerintahkan kepada semua pengikutnya, siapa yang berani membunuh Harya Jipang, Kanjeng Sultan akan memberi hadiah tlatah Pati dan Mataram Hadiningrat. Akan tetapi para bupati dan menteri tidak ada yang sanggup, sebab takut melawan Harya Penangsang. Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat kemudian mengatakan, semua orang di kota maupun desa, meskipun tukang rumput sekalipun, kalau bisa membunuh Harya Penangsang, akan dihadiahi negeri Pati dan Mataram Hadiningrat.
Ki Ageng Panjawi dan Ki Ageng Pemanahan, ketiga Ki Juru Martani dan keempat Raden Ngabehi Loring Pasar sedang berkumpul di rumah Ki Ageng Pemanahan. Ki Juru bertanya tentang kabar terakhir mengenai sayembara itu. Ki Ageng Pemanahan menjawab, “Kanjeng Sultan menyebarkan sayembara, siapa yang bisa membunuh Harya Penangsang, mesti dihadiahi negeri Pati dan Mataram Hadiningrat. Akan tetapi para bupati dan menteri takut semua, jadi belum ada orang yang mempunyai kesanggupan.”
Ki Juru berbicara lagi, “Menurut saya, sebaiknya dua orang, Sampeyan dan Ki Ageng Panjawi menyanggupi. Sebab negeri Pati dan Mataram Hadiningrat tadi sayang sekali, kalau sampai jatuh ke tangan orang lain.” “Ki Juru, mudah orang menerima hadiah demikian. Sebaliknya, membunuh Harya Penangsang bagaimana?” jawab Ki Ageng Pemanahan.
Ki Juru Martani berbicara lagi, “Umpamanya orang mengadu jago, kalau botohnya bisa, mesti jagonya menang. Demikian juga orang perang. Kalau bisa mengatur Senopatinya, mesti perangnya menang. Karena saya tahu watak Harya Penangsang, sangat berangasan dan mudah panas hati. Begini saja. Harya Penangsang itu kirimilah surat tantangan. Suruhlah ia datang sendiri, jangan membawa pasukan. Kalau sudah datang, lalu dikeroyok dengan saudara Sampeyan semua. Mesti mati. Kalau kamu setuju dengan usul saya ini. Besok pagi, ayo menghadap Sultan.” Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Panjawi menuruti usulan itu.
Esok paginya, empat orang itu lalu menghadap. Para bupati menteri lengkap. Kanjeng Sultan bertanya kepada para bupati, “Siapa yang sanggup menghadapi dan membunuh Harya Penangsang?”
Kata para bupati, tidak ada yang sanggup. Ki Ageng Pemanahan berkata, “Saya dan Adimas Penjawi sanggup membunuh Harya Jipang. Adimas Prabu saksikanlah dari kejauhan saja. Yang menghadapi perang saya sendiri dan saudara saya. Apabila Adimas Prabu kelihatan oleh Harya Penangsang, mesti hanya Adimas Prabu yang dikejar, tidak melayani orang banyak.” Mendengar kesanggupan itu, Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat sangat gembira dan berkata, “Syukur, kakang. Kakang sendiri yang sanggup membunuh Harya Jipang. Negeri Pati dan Mataram Hadiningrat untuk Kakang. Rencanamu bagaimana?” Ki Ageng Pemanahan berkata, “Besok pagi pasukan Pajang Hadiningrat semua bersiaplah. Akan tetapi di pesanggrahan saja. Saya dan saudara saya sendiri yang maju perang.” Kanjeng Sultan menuruti kata Ki Ageng Pemanahan.
Pagi harinya, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Panjawi, ketiga Ki Juru Martani, keempat Raden Ngabehi Loring Pasar serta sekeluarganya semua, kira-kira dua ratus, berangkat ke sebelah barat sungai, sambil bersikap waspada. Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Panjawi, dan Ki Juru lalu pergi tanpa pasukan, menuju tempat para pencari rumput, mencari tukang rumput. Ada seorang pekatik atau tukang rumput satu orang yang terpisah. Lalu ditanyai oleh Ki Ageng Pemanahan, “Kamu ini tukang rumputnya siapa?” Ki Pekatik menjawab, “Saya bekerja untuk Adipati Jipang. Sayalah yang mencarikan rumput untuk kudanya yang bernama Gagak Rimang.”
Setelah memastikan bahwa tukang rumput adalah abdi Harya Penangsang, Ki Ageng Panjawi lalu segera menangkapnya. Tukang rumput tak bisa berkutik. Ki Ageng Pemanahan berbicara sambil tersenyum, “Ki sanak, saya minta maklum kamu, telingamu itu aku minta satu.” “Aduh, paduka ini siapa, telinga kok diminta. Lebih baik Paduka ambil keranjang dan pisau sabit ini. Pasti saya berikan.”
“Kalau kamu tidak memberi, ya saya beli. Berapa harganya?” kata Ki Ageng Pemanahan. “Meskipun paduka beli, tidak saya berikan. Saya tidak kepengin uang. Seumur saya belum pernah melihat orang menjual telinga.” “Pilih mana, kusobek telingamu?” ancam Ki Ageng Pemanahan.
Pekatik tidak bisa mengelak. Ia lalu menyerahkan telinganya. Ia kemudian diberi uang lima belas real. Telinganya terpotong sebelah. Yang sebelah lagi digantungi surat tantangan, disuruh menyampaikan kepada Tuannya. Ki Pekatik kemudian lari pulang ke timur sungai. Setibanya di pesanggrahan, ia menyeruduk para punggawa Harya Penangsang yang sedang menghadap. Patih Jipang yang bernama Ki Mataun sangat kaget, melihat pekatik Sang Adipati mandi darah, telinganya terpotong sebelah serta dikalungi surat. Ia lari hendak menghadap Gustinya. Orang itu segera dipegang Ki Mataun, lantas ditanyai. Ki Pekatik meronta ingin segera masuk menghadap Gusti Harya Penangsang.

Waktu itu, Harya Penangsang sedang makan. Ia kaget mendengar ramai-ramai di luar. Ia menyuruh orang untuk memanggil Ki Mataun. Harya Penangsang berkata, “Mataun, ada apa ramai-ramai di luar itu?”
“Bendara, silahkan Paduka menyelesaikan makan dahulu. Nanti saja saya berkata, sebab berita tidak baik,” jawab Ki Mataun. Ki Mataun berkata demikian sebab tahu watak Gustinya, kalau sangat berangasan dan nekad. Kalau sudah tahu berita tadi, pasti ia kemudian berangkat, meninggalkan pengiring. Harya Jipang berkata, “Mataun, segera katakan kepadaku, jangan takut-takut.”
Ki Mataun belum mau berkata, diam saja. Tiba-tiba pekatik tadi lepas dari pegangan para prajurit, lalu nyelonong masuk, menghadap di depan Sang Adipati. Harya Jipang bertanya, “Kamu kenapa, kok berlumuran darah?” Ki Mataun berkata sambil menyembah, “Inilah yang menyebabkan keributan di luar tadi, tukang rumput Paduka, dipotong telinganya sebelah, dan dikalungi surat.”
Surat lalu diambil, diterima tangan kiri. Tangan kanan masih memegang nasi. Surat dibaca. Bunyinya, “Pahamilah suratku. Dari Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat kepada Harya Penangsang. Kalau kamu nyata-nyata jantan dan pemberani, ayo, perang satu lawan satu, jangan membawa prajurit. Seberangilah sungai. Aku di sebelah barat sungai sekarang. Aku tunggu kamu di situ.”
Sesudah membaca surat itu, Harya Penangsang sangat marah. Darahnya mendidih. Nasi sewakul dipukul sambil mengepal nasi. Meja panjang terbelah jadi dua. Harya Penangsang segera berdiri, memakai busana perang, serta menyuruh agar kudanya yang bernama Gagak Rimang diambil. Ia kemudian naik kuda sambil membawa tombak bernama Dandang Musuh. Ki Mataun berkata, “Bendara, tunggulah prajurit sebentar. Kalau buru-buru, Paduka bisa celaka.”
Arya Penangsang tidak mendengarkan kata Ki Mataun, malah, semakin marah saja. Seperti dikipasi. Kemudian ada saudara muda Harya Penangsang, bernama Harya Mataram Hadiningrat. Ia segera mendekati dan berkata, “Kakang, sabar dulu. Tunggulah prajurit.” Harya Penangsang berkata, “Sudah diam, jangan cerewet. Aku tidak takut. Sudah semestinya orang perang itu dikrubut orang banyak.” Adiknya berkata banyak-banyak. Harya Penangsang menghardik keras, “Pergi sana! Aku tidak mengajak kamu, sebab kamu saudaraku lain ibu, mesti tidak pemberani seperti aku.” Harya Penangsang melecut kudanya, lari sendirian. Harya Mataram Hadiningrat kembali dengan sakit hati. Ki Mataun mengejar, tapi tidak terkejar, sebab sudah tua dan punya sakit jantung. Perjalanan Harya Jipang sudah sampai sebelah timur Bengawan Sore.
Kapitayan orang jaman malam, kalau orang berhadap-hadapan hendak berperang, siapa yang menyeberang sungai pasti kalah perangnya. Adapun Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Ageng Panjawi, ketiga Ki Juru, dan keempat Raden Ngabehi Loring Pasar serta prajuritnya semua sudah menunggu di sebelah barat dekat sungai. Mereka melihat Harya Penangsang datang sendirian. Orang Sela suka hatinya. Harya Penangsang berteriak, “Hai, orang Pajang Hadiningrat, siapa yang membuat layang tantangan kepadaku? Cepat menyeberanglah ke timur. Keroyoklah aku! Itu kesukaanku, perang dikeroyok orang banyak.” Orang Sela menjawab, “Gusti kami Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat yang membuat surat kepadamu. Kalau kamu memang pemberani, cepat menyeberanglah ke barat! Aku tandingi satu lawan satu.”
Arya Penangsang mendengar sesumbar demikian, telinganya seperti disobek-sobek, darahnya mendidih. Kudanya segera digebrag serta dicemeti, disebrangkan sungai. Kuda lalu menyebrang sungai. Punggungnya tidak basah. Kuda Harya Penangsang sudah hampir sampai di tepi barat. Lalu dihujani senjata oleh orang Sela. Ada tombak, ada panah, akan tetapi tidak ada yang kena.
Kuda Harya Penangsang kemudian dicemeti, melompat dari air, sampai di tengah barisan orang Sela. Banyak yang roboh, diterjang oleh kuda Harya Penangsang. Kuda lalu menerjang dan mengiggit. Orang Sela banyak yang terluka dan mati. Harya Penangsang marah sambil berkata, “Si Karebet ada di mana, kalau berani lawan aku! Mana batang hidungnya tidak kelihatan?” Harya Penangsang marah-marah, berkitar-kitar mencari Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat.
Arya Penangsang kemudian dikeroyok orang banyak, dilempari tombak dari kiri, kanan, depan dan belakang. Harya Penangsang terluka lambung kanannya. Ususnya keluar, lalu disampirkan di hulu keris, serta semakin marah. Prajurit Sela semakin banyak yang terluka dan mati. Raden Ngabehi Loring Pasar segera maju menerjang Harya Penangsang dengan naik kuda yang masih muda, sambil memegang tombak Kyai Plered. Di kanannya Ki Ageng Pemanahan, sebelah kiri Ki Ageng Panjawi, Ki Juru menjaga di belakangnya. Mereka menyongsong Harya Penangsang. Ki Juru segera melepaskan kuda betina. Kuda itu lalu berlari-lari, menjingkat-jingkat, meloncat-loncat, dan menabrak-nabrak. Kuda yang dinaiki Raden Ngabehi malah lari menjauh. Raden Ngabehi hampir saja jatuh, lalu ditarik tali kekang kuda itu. Setelah kudanya berhenti, Raden Ngabehi segera turun sambil menuntun kuda. Raden Ngabehi berkata, “Besok seketurunanku, kalau perang, jangan ada yang naik kuda muda begini, sebab membahayakan diri.”
Kuda lalu diberikan kepada kawannya. Raden Ngabehi terus berjalan, serta sambil memegang Kyai Plered. Ia berhadapan dengan Harya Penangsang. Harya Penangsang berkata, “Siapa namamu, anak muda berani-beraninya maju di depanku? Lebih baik mundur saja, dari pada mati. Panggillah Si Pajang Hadiningrat, kalau berani, hadapi aku satu lawan satu.” Akan tetapi, kuda yang dinaiki Harya Penangsang tadi masih saja menjingkrak-jingkrak, jadi tidak bisa menyiapkan lemparan tombaknya. Keburu dada Harya Penangsang dilempar tombak oleh Raden Ngabehi, hingga tembus punggungnya. Ia tewas dan ambruk. Jenazahnya lalu dibawa oleh orang-orang Sela. Raden Ngabehi menarik tombaknya yang berlumuran darah. Tidak lama kemudian, Ki Mataun datang dan mengamuk. Tapi langsung dihadapi oleh orang-orang Sela hingga mati. Lehernya dipenggal, lalu kepalanya dipajang di pinggir sungai. Pada waktu itu tahun 1471.
Tak lama kemudian, Prajurit Jipang datang dengan senjata lengkap, sangat banyak. Namun mereka terhenti di pinggir sungai. Mereka mendengar kalau Gustinya serta Ki Mataun sudah tewas. Raden Ngabehi berteriak sambil tangannya menunjuk dari sebelah barat sungai, “Hai, orang Jipang, ketahuilah, bendaramu dan patihnya sudah pada tewas binasa. Lihatlah ini kepalanya. Yang akan kalian rebut apa? Lebih baik, menyerahlah kepadaku. Adapun Ki Mataun memang pantas kalau dia bela mati, karena selama hidupnya ikut mukti kepada Harya Jipang.”
Orang-orang Jipang mendengarkan hal tersebut kemudian menyerahkan diri. Senjata-senjata dikumpulkan, lalu menyeberang ke barat sungai, menyembah Raden Ngabehi. Mereka lalu dibawa ke pesanggrahan. Malam harinya, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Panjawi, dan Ki Juru, serta Raden Ngabehi, berembug tentang siapa yang membunuh Harya Penangsang. Ki Juru berbicara kepada Ki Ageng Pemanahan, “Bagaimana menurut kalian, karena yang membunuh Harya Penangsang adalah Raden Ngabehi, apakah akan dilaporkan terus terang kepada Kanjeng Sultan?”
Ki Ageng Pemanahan berkata, “Kakang, kalau saya akan melaporkan bagaimana kenyataan yang terjadi saja”. Ki Juru berbicara lagi, “Menurutku, sebaiknya kamu saja yang menganku telah membunuh Harya Penangsang, dan Ki Ageng Panjawi. Sebab, kalau dikatakan bahwa yang membunuh Harya Penangsang adalah Raden Ngabehi, pasti hanya diberi hadiah berupa pakaian-pakaian indah dan sebagainya. Pasti tidak akan dihadiahi negara, sebab Raden Ngabehi ini masih anak-anak, pasti suka pakaian yang bagus-bagus. Kedua, ia sudah diambil anak pertama oleh Kanjeng Sultan, maka pastilah Kanjeng Sultan hanya akan menghadiahi sekehendak hatinya saja. Lain kalau kamu yang mengangku serta Ki Ageng Panjawi, pasti jadi menerima hadiah negeri Pati dan Mataram Hadiningrat.”
Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Panjawi, setelah mendengar gagasan Ki Juru, sangat senang hatinya, serta menurut. Raden Ngabehi juga setuju dengan keputusan itu, serta diumumkan kepada prajuritnya semua, kalau yang membunuh Harya Penangsang adalah Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Panjawi. Pagi harinya, mereka segera berangkat, hendak menghadap kepada Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat serta membawa tawanan dari Jipang yang sudah menyerah. Kanjeng Sultan sangat suka. Ia lalu bertanya kepada menteri Jipang, “Menteri Jipang, Si Harya Penangsang dulu punya saudara muda, namanya Harya Mataram Hadiningrat. Sekarang ada di mana?”
Menteri Jipang menyembah, “Gusti, duk nalikaning Harya Penangsang hendak berangkat perang, Harya Mataram Hadiningrat memohon kepada kakangnya, agar menunggu pasukan, akan tetapi ia malah dimarahi. Harya Mataram Hadiningrat sakit hati, lalu pergi. Saya tidak tahu ke mana perginya.” Kanjeng Sultan berkata kepada Ki Ageng Pemanahan, “Kakang, terima kasihku kepada Kakang dan juga Kakang Penjawi. Adapun hadiahku adalah negara Pati dan Mataram Hadiningrat. Bagilah sendiri dengan Ki Ageng Panjawi. Karena Kakang yang lebih tua, saya sarankan agar memilih terlebih dahulu, mana yang Kakang senangi.”
Ki Ageng Pemanahan berkata, “Karena saya menjadi yang lebih tua, pantas mengalah saja. Saya memilih yang masih hutan saja. Adimas, saya di Mataram Hadiningrat saja, yang masih hutan belantara.” Kanjeng Sultan berkata lagi, “Kalau kakang sudah terima, Kakang Penjawi segera berangkatlah ke Pati sekarang juga. Negara Pati tatalah baik-baik. Adapun negara Mataram Hadiningrat besok, kalau saya sudah kembali ke Pajang Hadiningrat, akan saya berikan kepada Kakang Pemanahan. Dan lagi Kakang Pemanahan, Kakang jangan pulang bersama saya. Tolong Kakang ke Danaraja dulu, memberi tahu Kakang mbok, kalau Harya Penangsang sudah mati. Adapun pesanku, kakangmbok saya mohon sudahi tapanya. Segeralah memakai kain. Jangan lama-lama di sana, segeralah Kakang kembali.”

6. Dakwah di Daerah Pesisir
Ratu Jepara tersebut merupakan tokoh penting di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Barat sejak pertengahan abad ke-16. Pada waktu itu Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat, Jaka Tingkir, yang akrab dengannya, telah mengambil alih kekuasaan di pelosok Jawa Tengah dari Sultan Demak Bintara, Ratu itu tidak perlu khawatir lagi akan diserang dari pelosok. Selama memerintah Kadipaten Jepara, ratu tersebut selalu bertempat tinggal di Kalinyamat. Di pelabuhan ada juga sebuah kraton, ia bersemayam di sana, Kalinyamat mungkin dijadikan istana peristirahatan. Hal ini dapat dibandingkan dengan hubungan antara Pra¬wata dan Demak Bintara.
Kanjeng Ratu Kalinyamat sendiri tidak mempunyai anak. Tetapi, dari kisah-kisah tutur Jawa ternyata ia menjadi pusat keluarga Demak Bintara yang telah bercerai-berai sesudah meninggalnya Kanjeng Sultan Trenggana dan Sunan Prawata. Kemenakannya, Pangeran Kediri atau Kanjeng Pangeran Pangiri masih dapat berkuasa sekadarnya di Demak Bintara. Kanjeng Sunan Gunung Jati dari Cirebon Darusalam, yang nikah dengan saudara perempuan Kanjeng Sultan Trenggana, ialah pamannya. Putra Kanjeng Sunan Gunung Jati, Hasanuddin Raja Banten Darusalam, adalah iparnya. Kanjeng Ratu Kalinyamat ternyata mengasuh kemenakannya, putra Hasanuddin dari Banten Darusalam. Pemuda ini diberi nama Pangeran Harya dan kemudian Pangeran Jepara, di Jepara ia diperlakukan sebagai “putra mahkota”, dan setelah Kanjeng Ratu Kalinyamat meninggal, ia berkuasa di kota pelabuhan itu.
Dalam pemerintahan Ratu pada perempat ketiga abad 16, perdagangan Jepara dengan tlatah seberang menjadi ramai sekali. Kekalahan melawan Malaka pada 1512-1513 telah menghancurkan sebagian besar armada kota-kota pela¬buhan Jawa. Dapat diduga kerugian ini lama-kelamaan pulih kembali. Sudah pasti armada Jepara - bersatu dengan kapal-kapal Raja Melayu di Johor - pada 1551 melancarkan lagi serangan terhadap Malaka, yang juga gagal. Pada 1574 diadakan, untuk ketiga kalinya, serangan oleh armada Jepara yang kuat, dalam upaya merebut Malaka. Setelah pengepungan selama tiga bulan, pemimpin armada kali ini pun terpaksa kembali ke Jawa dengan tangan hampa.
Hubungan antara Ambon dan Jepara. Para pemimpin “Persekutuan Hitu” di Ambon ternyata beberapa kali minta bantuan Jepara guna melawan orang Portugis dan etnis lain yang masih seketurunan, yakni orang Hative. Periode para pelaut Jepara itu sangat berpengaruh dan bertindak keras di Ambon terbatas sampai perempat ketiga abad 16, yakni semasa pemerintahan Kanjeng Ratu Kalinyamat. Sesudah itu, orang Jawa yang menindak orang Portugis di Ambon adalah pengikut Kanjeng Sunan Giri. Ia dimakamkan dekat suami Cinanya di pemakaman Mantingan dekat Jepara, yang mungkin dibangun atas perintahnya sendiri, sesudah ia menjadi janda pada 1549, mungkin hampir 30 tahun sebelum ia meninggal.
Selama pemerintahannya atas Jepara yang cukup lama itu, agaknya Kanjeng Ratu Kalinyamat dihormati sebagai kepala keluarga Demak Bintara yang sebenarnya. Kedudukan di istana Sultan Demak Bintara yang terakhir, Pange¬ran Kediri, sangat kecil, dan kekuasaan raja-raja Cirebon Darusalam dan Banten Darusalam baru saja muncul. Mungkin saja kekuasaan Ratu di pesisir sebelah barat juga karena harta kekayaannya yang bersumber pada perdagangan yang sangat menguntungkan dengan tlatah seberang, di pelabuhan Jepara.
Pada 1579, Pakuwan Pakuwan Pajajaran ditaklukkan oleh wadyabala Islam Raja Banten Darusalam. Mengenai prastawa ini buku-buku sejarah Banten Darusalam, misalnya Sujarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, memuat informasi yang cukup. Pangeran Jepara, anak Hasanuddin dari Banten Darusalam, ternyata tidak ikut dalam ekspedisi melawan Pakuwan Pajajaran, dan Kanjeng Ratu Kalinyamat juga tidak disebut. Barangkali pada 1579 Ratu Jepara baru saja meninggal dan bahwa kemenakannya, sekaligus anak angkatnya, Pangeran Jepara, menggantikannya sebagai raja.
Pada 1580, Kanjeng Maulana Yusuf, Raja Banten Darusalam dan pahlawan yang merebut Pakuwan Pajajaran, mangkat. Ia meninggalkan hanya seorang anak laki-laki yang masih kecil. Menurut para penulis sejarah Banten Darusalam, Pange¬ran Jepara - saudara raja yang telah meninggal itu - menuntut haknya atas takhta Kraton Banten Darusalam. Ia bersama Demang Laksamana, Manggala Yuda armada, pergi dari Jepara ke Banten Darusalam. Tetapi di Banten Darusalam, Laksamana menemui ajalnya dalam perkelahian melawan perdana menteri Banten Darusalam, dan Pangeran Jepara terpaksa pulang. Dengan prastawa itu berakhirlah pengaruh pemerintahan Jepara di Jawa Barat. Sejak itu kraton Banten Darusalam dan Cirebon Darusalam menempuh jalan sejarahnya masing-masing.
Tahun 1588, yang membuka jalan bagi Senopati Mataram Hadiningrat untuk memperluas kekuasaannya di Jawa Tengah setelah meninggalnya Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat, mungkin merupakan tahun sial bagi raja-raja terakhir di Demak Bintara dan Kudus. Tetapi, agaknya masih beberapa tahun berlalu sebelum prajurit Mataram Hadiningrat dari pelosok Jawa Tengah muncul di Jepara. Mungkin mereka masih merasa gentar melihat benteng yang mengelilingi kota di Gunung Danaraja. Kebanyakan kota pelabuhan di Jawa dikelilingi tembok batu atau kayu, pada sisi yang menghadap tlatah pelosok.
Pada dasawarsa terakhir abad 16, kekuasaan Adipati Jepara di laut masih dihormati. Pada tahun 1593 ia memerintahkan menduduki Pulau Bawean di Laut Jawa dengan armadanya. Pada 1598 ia menimbulkan kesan pada orang Belanda seakan-akan memiliki sarana kekuasaan yang luar biasa. Ada kemungkinan, serangan bregada Mataram Hadiningrat yang sudah diperkirakan itu datang pada 1599, dan berakhirlah pemerintahan Pangeran Jepara. Dalam pe¬merintahan raja-raja Mataram Hadiningrat, kota pelabuhan itu - yang diperintah, oleh seorang bupati yang diangkat oleh raja - pada abad ke-17 masih agak lama berfungsi sebagai tempat pertemuan antara pihak Jawa dan pihak Belanda dari Batavia. Akhirnya peranan itu diambil alih oleh Semarang.

7. Cucu Maulana Ishak
Sunan Muria adalah anak Sunan Kalijaga dengan istrinya, Dewi Saroh, putri Maulana Ishak. Sunan Muria ketika lahir diberi nama RadenUmar Said atau Raden Said. Beliau menikah dengan Dewi Soedjinah, adik dari Sunan Ngudung dan mempuyai anak laki-laki yang diberi nama Pangeran Santri atau Sunan Kadilangu.
Beliau mengembangkan dan menyebarkan agama Islam di daerah pedesaan, terhadap kalangan rakyat jelata yang miskin dan masih belum terpelajar, terutama di lerreng Gunung Muria. Dalam menyiarkan agama Islam beliau menggunakan media kesenian, dan pelatihan. Media kesenian yang digunakan oleh beliau adalah karawitan atau gending, bahkan beliau menciptakan tembang berbahasa jawa Sinom dan kinanthi. Sehingga masyarakat merasa gembira dalam mempelajari ajaran agama dan kemudian tanpa berat hati mau memeluk agama Islam. Selain kegiatan penyebaran agama terhadap rakyat jelata beliau juga mendukung Kerajaan Islam Demak serta ikut serta mendirikan Masjid agung demak.


Tinggalan Sunan Muria
Semasa hidupnya Sunan Muria mengabdikan diri untuk menyiarkan ajaran dan agama Islam. Beliau meninggal dan dimakamkan di atas Gunung Muria, lokasi makam beliau tepatnya berada di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Pati dengan ketinggian 845.41m dpl. Gunung Muria tempat Sunan Muria dimakamkan berkontur terjal dan berada pada 11 37’ 46.30” BT dan 06 53’ 38.40” LS, oleh karena itu para peziarah harus berjalan kaki sejauh 750m melalui tangga dari beton untuk mencapai komplek makam tersebut.
Luas komplek makam +- 4.75 ha, makam Sunan Muria berupa sebuah komplek yang penuh dengan fasiloitas bangunan yang kurang terencana. Makan utama dilindungi oleh cungkup berupa bangunan sederhana dengan konstruksi kayu beratap joglo tumpang dua dengan atap sirap.

Makam Sunan Muria dikelilingi oleh dinding penyekat dari batu putih dengan hiasan berupa panel-panel geometris, bunga, dan sulur-suluran. Pintunya terdiri dari dua daun pintu yang dihias dengan ukiran bunga dan sulur-suluran. Jirat makam Sunan Muria berbentuk persegi panjang sederhana dari bahan teraso? Nisannya dari batu andesit dan terdapat tulisan berhuruf Arab yang berisi kutipan ayat-ayat Al Quran. Selain makam Sunan Muria, didalam cungkup juga terdapat makam istri, anak dan para kerabat beliau.
Di dalam Komplek makam tersebut juga terdapat masjid kuno yang kini hanya dapat dilihat mighrabnya saja. Mighrab masjid berbentuk lengkung kurawal pada bagian atasnya dan terdapat hiasan berupa tempelan seperti piring-piring keramik berwarna hijau dan kuning bermotif sulur-suluran dan bunga, serta sebuah piringan keramik bertulisan huruf Arab.
Selain mighrab, terdapat juga sembilan umpak batu andesit polos tanpa hiasan, umpak ini diduga merupakan umpak masjid makam Suanan Muria yang sekarang telah diganti dengan delapan batu umpak berelief tumbuhan.
Makna simbolik tumbuhan/sulur-suluran: di dalam kepercayaan Islam ada larangan menggunakan mahluk hidup (manusia, binatang) sebagai hiasan, oleh karena itu pada masjid maupun makam seringkali digunakan pola hias tumbuhan. Pola hias manusia atau binanatng kadang-kadang masih digunakan akan tetapi bentuknya disamarkan sehingga tidak terlihat dengan jelas dalam bentuk manusia/binatang, seperti hiasan yang terdapat pada komplek masjid dan makam mantingan.
Sunan Muria merupakan wali penyebar Islam yang sumbernya lebih banyak berasal dari cerita rakyat, hanya sebagian kecil berasal dari sumber babad. Bahkan legenda tentang beliau juga lebih dari satu versi, salah satunya adalah hubungan Sunan Muria dengan nama tempat seperti Jelawang, Towelo, dan Sigelap serta sebuah pintu gerbang Majapahit yang berada di Rondole, Pati.
Dikisahkan seorang anak muda bernama Kebo Anabrang datang menghadap Sunan Muria dan mengaku sebagai anaknya, sebagai syarat bahwa anak itu adalah benar anak Sunan Muria maka ia diharuskan mengambil pintu gerbang Majapahit dan membawanya ke Muria dalam waktu semalam. Kebo anabrang hampir berhasil, namun ia dicegat oleh Raden Ronggo yang juga mempunyai tugas yang sama, membaawa pintu gerbang majapahit sebagai syarat pernikahannya dengan Roro Pujiwati, anak Ki Ageng Ngerang. Ronggo berangkat namun apadaya pintu telah diangkut Kebo Anabrang yang sedang kebingungan mencari ganjal pintu yang jatuh entah dimana konon tempat jatuhnya ganjal pintu tersebut disebut Jelawang. Kedua pemuda tersebut berebut pintu, adu kesaktian secara cetho welo-welo (Jawa: terlihat jelas) yang disaksikan dan kemudian dipisahkan oleh Sunan Muria, tempat pertarungan tersebut sekarang disebut Towelo. Untuk memutuskan siapa yang berhak atas pintu tersebut, kedua pemuda diminta mengangkatnya, Raden Ronggo tidak kuat dan ia diberi palang pintunya saja, ketika dibawa untuk melamar Roro Pujiwati tentu saja syaratnya tidak terpenuhi, karena kecewa ia mengayunkan palang itu ke kepala Pujiwati seketika terdengar guntur (Jawa: gelap)dan Pujiwati lenyap, meka tempat itu disebut sigelap. Kebo Anabnrang juga gagal mengangkat pintu karena hari sudah pagi, oleh Sunan Muria ia ditugaskan menjaga pintu tersebut sampai akhir hayatnya.

Aktivitas Ziara
Komplek makam Sunan Muria sampai saat ini masih didatangi banyak orang yang bermaksud untuk melakukan ziarah. Dalam satu tahun rata-rata 120.000-an peziarah datang dari berbagai pelosok negeri untuk berdoa. Para peziarah yang datang banyak yang melakukan wudhu atau meminum air dari gentong keramat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar