Ahlan Wasahlan Sugeng Rawuh ....

"SELURUH DUNIA ADALAH PESANTRENKU" demikian fatwa Sunan Kalijaga, 600 tahun yang lalu. Sabda pangandika ini mengisyaratkan bahwa tugas dakwah adalah ke seluruh alam tanpa batas. Maka Pesantren Khusnul Khatimah, nyendikani dawuh ini dengan mengirim ratusan santri, kyai, ulama, ustadz ke seluruh penjuru dunia untuk terus mengabarkan ketauhidan Allah SWT.

Zakat Mal, Sumbangan, Infak dan Sedekah Anda
akan kami salurkan untuk membantu program dakwah ke pelosok-pelosok nusantara.

Sabtu, 22 Mei 2010

SUNAN KUDUS JATININGRAT

M. HARIWIJAYA

1. Keturunan Sunan Ngudung
Di Kabupaten Kudus, Jawa tengah, juga berdiri sebuah padepokan keislaman yang cukup terkenal. Pendirinya adalah Sunan Kudus. Sunan Kudus atau Jafar Shodiq adalah ulama besar, yang bertugas melakukan syiar Islam di sekitar daerah Kudus, Jawa Tengah. Sunan Kudus adalah termasuk salah seorang wali dari kesembilan Wali Sanga.
Beliau lahir pada pertengahan abad 15 M atau 9 Hijrah. Ayahnya bernama Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan, Blora. Beliau masih mempunyai garis keturunan dengan Husein bin Ali. Kakek Sunan Kudus adalah saudara Sunan Ampel, sehingga masih ada hubungan pertalian darah (Ensiklopedi Islam, 1985).
Meski namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Demak, berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Jafar Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Ngudung dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel (Wiranto, dan Sawariyanto, 2001).

2. Menjadi Pertapa
Sejak kecil, Jafar Shodiq ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Jafar Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Jafar Shodiq di sana (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Pada waktu Jafar Shodiq menginjakan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kyai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam (Solichin, 1977).
Cerita ini menunjukan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Jafar Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Jafar Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Jafar Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Jafar Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Jafar Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Jafar Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Jafar Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Di dalam sejarah kerajaan Islam di Demak, terkenal pula nama : Pati Unus atau Dipati Unus, yang sesudah wafatnya Raden Patah, menggantikan kedudukan sebagai Sultan Demak II. Adipati Unus atau yang juga disebut Pangeran Sabrang Lor pada tahun 1511 M telah dapat menguasai Jepara, serta menjadikan Jepara sebagai pangkalan militer (Solichin, 1977).
Olehnya, Jepara diperkuat dan dikerahkan kapal kapal besar yang diberinya berlapis yang pada tahun 1513 M di bawah pimpinan Adipati Unus telah menyerang orang-orang Portugis di Malaka. Karena dengan Malaka oleh orang-orang Portugis dipandang oleh Demak adalah merupakan bahaya yang mengancam keselamatan Demak selanjutnya. Kerajaan Demak yang merupakan daerah agraris-maritim karenanya berusaha untuk menghalau orang-orang Portugis di Malaka. Penyerangan terhadap Malaka mempunyai segi-segi politis dan ekonomis. Sayang sekali serangan yang dilakukan Adipati Unus tersebut tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan (Solichin, 1977).
Nama Adipati Unus, kata Unus secara etimologis tidak ada dalam bahasa Arab. Kalau Yunus ada. Menurut pendapat Soecipto Wirjosuparto, nama Dipati Unus atau Adipati Unus itu adalah ucapan keliru dari orang-orang Portugis untuk menyebut Adipati Kudus. Jadi menurut pendapat Poerbatjaraka, nama Unus itu adalah sinonim dengan Kudus (Solichin, 1977).
Jikalau ini benar, maka tidaklah salah apabila Sunan Kudus itu dihormati serta disegani kawan dan lawan pada masa itu, karena di samping beliau memegang kekuasaan, juga menjadi Senapati dari pada kerajaan Islam di Demak, Sunan Kudus adalah panglima perang yang gagah berani. Sebutan Pangeran Sabrang Lor itu diberikan kepada Adipati Unus, mungkin sebagai penghargaan atas jasanya sewaktu menyerang orang-orang Portugis di Malaka, seperti diketahui letak Malaka dari pulau Jawa adalah disebelah utara.
Sunan Kudus dalam sejarah tampil sebagai seorang tokoh yang kuat, serta gagah berani. Karena keberaniannya yang luar biasa serta kedudukannya sebagai panglima perang, maka tidaklah keliru apabila dikatakan, bahwa Sunan Kudus itu adalah Senapatinya kerajaan Demak, yang setiap saat sedia berkorban untuk membela keselamatan Negara Demak. Rupanya memang Sunan Kudus berdarah militer pula, hal mana dapat diketahui dari kenyataan sejarah, bahwa beliau senantiasa menegakan disiplin, di samping itupun selalu taat kepada perintah atasan. Ketaatan dan keberaniannyalah yang menyebabkan beliau ditakuti dan disegani oleh bawahannya khususnya, dan oleh kawan atau lawan umumnya (Solichin, 1977).

3. Menara Masjid Kudus
Setelah jamaahnya makin banyak, Jafar Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Jafar Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Jafar Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriyah, sama dengan 1549 M. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa arab yang artinya, “…Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds…” Sangat jelas bahwa Jafar Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Jafar Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model tut wuri handayani. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit (Solichin, 1977).
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha memasukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu. Demikian juga Sunan Kudus membangun sebuah menara untuk azan dengan desain seperti bangunan Hindu yang saat ini dikenal dengan nama Menara Kudus (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Kata menara dari perkataan manara. Adapun kata manara berasal dari bahasa Arab nar yang berarti api atau nur yang berarti cahaya. Awalan kata ma menunjukan tempat. Jadi menara berarti tempat menaruh api atau cahaya di atas. Akan tetapi kemudian mempunyai manfaat yang lain, yakni untuk mengumandangkan azan guna menyeru orang melakukan sembahyang. Keunikan Menara Kudus adalah bentuknya yang lain dari menara masjid yang lain. Bentuk menara ini justru menunjukan corak dan gaya bangunan zaman pra-Islam.
Kapankah Menara Kudus didirikan? Hal tersebut belum diketahui dengan pasti. Hanya saja di tiang atap menara tersebut terdapat sengkalan yang berbunyi, Gapura rusak ewahing jagad yang berarti tahun 1606 Jawa atau 1685 M (gapura = 6, rusak = 0, ewah = 6, jagad = 1). Sengkalan tersebut hanya menunjukan bahwa ketika itu terjadi perbaikan atab yang mulai rusak. Jadi kapan tepatnya dibangun bangunannya berarti kira-kira beberapa puiluh tahun sebelum itu Menara Kudus bercorak bangunan Hindu, berbentuk mirip dengan Candi Jago, makam raja Wisnuwardhana yang didirikan tahun 1275-1300 M di dekat Malang (Solichin, 1977).
Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan seramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Banguhan lain di sekitar Masjid Kudus, tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu, misalnya gapura-gapura.
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengakan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Sunan Kudus menciptakan karya sastra dan budaya:
a. Tembang Maskumambang
b. Tembang Mijil
c. Masjid Menara Kudus

4. Legenda Sunan Kudus
Nama Sunan Kudus dikalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktiannya. Sunan Kudus dikatakannya sebagai seorang wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa (Solichin, 1977).
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim di sana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis (Jawa : gudigen), sehingga oleh kawan-kawan beliau Sunan Kudus dihina. Maka disebabkan karena kesaktiannya, timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit.
Segala daya upaya telah diusahakan untuk mengatasi bahaya tersebut namun kiranya semua itu sia-sia belaka. Akhirnya dimintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa-jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, amir dari Negeri Arab itu pun berkenan untuk memberikan hadiah kepada beliau sebagai pembalas jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang-kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus (Solichin, 1977).
Jauh sebelum masjid kuna yang kita kenal itu didirikan beliau, konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjidnya Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng diceriterakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, maka seorang tokoh terkemuka di sana ialah Kyai Telingsing. Karena beliau sudah mulai lanjut usianya, maka Kyai Telingsing ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya, tiba-tiba Sunan Kudus pun muncullah dari selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba-tiba muncul dengan sendirinya (bhs Jawa : mesjid tiban), berhubung dengan itu desa tersebut kemudian diberi nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali (Solichin, 1977).
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing-masing dibawa oleh beliau dengan dibungkus sapu tangan dari tanah Arab, sedangkan lawang kembar, katanya dipindahkan beliau dari Majapahit (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap kepada Sunan Kudus. Tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. Sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidaklah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktiannya dengan mengendarai tampah serta berputar-putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu itu menyombongkan kesaktiannya. Sesudah disabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember (Solichin, 1977).
Selain itu di dalam dongeng pun disebutkan, bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian sesudah tinggal kepala serta tulangnya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal kepala dan tulang itupun hidup (Solichin, 1977).
Di dalam Babad Tanah Jawi serta kepustakaan Jawa lainnya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Ngudung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga disebutkan, bahwa Sunan Kuduslah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga. Karena keduanya mengajarkan ilmu yang dipandang sangat membahayakan rakyat yang baru saja memeluk agama Islam. Sunan Kudus wafat tahun 1550 M atau 960 Hijrah dan dimakamkan di Kudus. Di pintu makam Sunan Kudus terukir kalimat asmaul husna yang berangka tahun 1895 Jawa atau 1296 Hijriyah atau 1878 M (Solichin, 1977).

5. Sejarah Kota Kudus
Sejarah Kadipaten Kudus Darusalam memang sudah seharusnya ditempatkan di sini, karena trah yang diberi julukan sesuai dengan nama kota kecil ini, selama beberapa waktu besar pengaruhnya terhadap jalan sejarah. Tetapi, tidak lama kemudian peranan mereka berakhir. Kekuasaan mereka berdasarkan pada wibawa sebagai pemimpin jemaah orang alim.
Pada satu segi, mereka dapat dibandingkan de¬ngan raja-raja Cirebon Darusalam dan Giri-Gresik, yang memulai kegiatan me¬reka sebagai kyai, yang kemudian membentuk trah dan berhasil meraih kekuasaan politik yang cukup besar. Pada segi lain, mereka dapat dibandingkan dengan para pejabat di Kajoran-Tembayat di pelosok, yang tidak memperoleh kesempatan mewujudkan kedudukan di istana mereka, akibat kebijakan politik raja-raja Mataram Hadiningrat yang sangat berdekatan letaknya itu.
Adanya daftar lima imam Masjid Agung yang dimuat dalam Hikayat Hasanuddin di Banten Darusalam. Imam yang kelima pada daftar itu adalah tokoh yang kemudian menjadi Kanjeng Sunan Kudus. Trah para khatib di Masjid Agung di Demak Bintara berasal dari Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta Surabaya dan anak perempuannya, Nyai Ageng Pancuran, anak laki-lakinya, Kanjeng Sunan Bonang, konon adalah imam pertama. Dapat diterima bahwa keluarga Ngampel semula berasal dari Cempa di Indocina.
Selain karena kealiman dan semangat menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah, keluarga Kudus ini berjasa karena salah se¬orang anggotanya menjadi pemuka yang mengorbankan hidupnya untuk berjihad. “Syahid” ini ialah imam keempat, ia diberi julukan Khatib Agung Rahmatullah di Undung atau Ngudung.
Sesudah meninggalnya wali yang tertua, Kanjeng Sunan Ngampel di Suraba¬ya, “para santri” memutuskan mengakhiri kekuasaan tertinggi raja Majapahit, sekalipun Kanjeng Sunan Kalijaga menentangnya. Menurut dia, tidak pernah Brawijaya menghalangi umat Islam. Raja Bintoro Demak Bintara juga belum menghentikan bulu bekti glondhong pengareng-areng, guru bakal guru dadi, peni-peniu raja peni, mas picis raja brana ke Majapahit yang diwajibkan itu, ia masih merasa wajib menyatakan ketaatannya. Berbondong-bondong para santri di bawah pimpinan Pangeran Ngudung, imam Masjid Agung Demak Bintara, dan kyai lainnya berusaha tawar-menawar dan mengambil alih kekuasaan. Bupati Terung konon menghindar dari tugas yang telah dibebankan oleh Narendra Agung kepadanya untuk memerangi kaum pemberontak.
Dalam Sujarah Banten prastawa di Jawa Timur ini dilukiskan sebagai prastawa yang bertepatan waktu dengan pernikahan se¬orang putri Demak Bintara dengan seorang anggota trah kyai yang baru muncul di Cirebon Darusalam. Penulis Banten Darusalam ini mengira bahwa pernikahan tadi berlangsung antara Hasanuddin, Kanjeng Sultan Banten Darusalam yang pertama putra raja Cirebon Darusalam pertama, dan putri Kanjeng Sultan Trenggana dari Demak Bintara. Tetapi pernikahan ini, baru terjadi pada 1552, bertahun-tahun sesudah jatuhnya Majapahit. Mungkin juga dalam berita Banten Darusalam itu pernikahan Hasanuddin dikelirukan dengan pernikahan ayahnya, Kanjeng Sunan Gunung Jati dari Cirebon Darusalam, dengan saudara perempuan Sultan Demak Bintara. Pernikahan ini dilangsungkan kira-kira pada 1524.
Imam keempat di Masjid Agung Demak Bintara yang gugur di medan laga diganti oleh anaknya yang ditetapkan dalam jabatannya oleh Syekh Nurullah, yang kelak kawentar sebagai Kanjeng Sunan Gunung Jati di Cirebon Darusalam. Ini tidak mustahil, apabila kita pahami bahwa Kanjeng Sunan Gunung Jati justru pada waktu yang sama telah menjadi ipar raja di Demak Bintara, hingga dalam posisi yang demikian ia dapat menyatakan pengaruhnya.
Khatib Agung muda di Demak Bintara inilah, yang akhirnya dapat merebut kota kraton tua. Ia mencapai hasil gemilang itu terutama karena kekuatan gaibnya. Kisah yang bukan-bukan dalam naskah kisah Jawa Tengah ini menimbulkan dugaan bahwa kemudian orang sudah tidak ingat lagi akan fakta pabaratan itu sendiri karena memperhatikan kemenangan saja.
Kisah tutur Jawa tersebut menampilkan banyak raja dari seluruh tlatah, bahkan dari Palembang, dan semua ulamaKanjeng Sunan Giri konon memainkan peranan istimewa dengan keris ajaibnya. Kisah itu boleh dianggap pancaran imajinasi generasi penerus. Kisah itu juga bertentangan urutan waktunya, para sunan, dari Giri misalnya, baru mendapat kekuasaan dan posisi tinggi pada paruh kedua abad ke-16. Mungkin raja Islam itu sesudah jatuhnya Kotanegara lama menanamkan kekuasaannya di bagian terbesar Jawa Timur dan Madura. Mungkin karena pengaruh Kanjeng Sunan Gunung Jati, iparnya, pada waktu itu juga ia memakai gelar sultan.
Sukses yang dicapainya dalam medan rananggana barangkali mengakibatkan kekuasaan Khatib Agung Demak Bintara, yang pada waktu itu agaknya masih muda menanjak drastis. Kisah-kisah Jawa mengenai kebesaran dan tindakan Kanjeng Sultan Kudus harus dianggap kisah mengenai dia sendiri. Namanya disebut dalam Sujarah Dalem, silsilah trah leluhur raja-raja Surakarta dari abad 19, ia dianggap layak dicantumkan dalam buku itu, karena seorang putri trahnya diperistri oleh Sinuwun Sunan Paku Buwana III di Surakarta (1749-1788). Kanjeng Sunan Kudus sendiri konon memperistri putri Kiai Gede Kali Podang, putri Bupati Terung yang sudah ditaklukkan dan telah masuk Islam, dan putri Adipati Kanduruwan, karena itulah ia mempunyai hubungan darah dengan kalangan ningrat pada zamannya.
Sementara itu ulama suci yang berderajat tinggi dan penuh semangat tempur itu, yang diberi nama Kanjeng Sunan Kudus dalam kisah tutur Jawa Tengah, sesudah menunaikan tugas kewadyabalaan mengambil alih Majapahit pada 1527, masih bertahun-tahun hidup di Demak Bintara sebagai Khatib Agung Masjid Agung, hingga akhirnya ia mendirikan Kota Kudus, kota suci, dan pindah ke kota itu.
Perselisihan dengan Sultan Demak Bintara, yang mengakibatkan tokoh yang kelak bernama Kanjeng Sunan Kudus itu terpaksa angkat kaki dari Demak Bintara, didorong oleh alasan yang lebih dalam daripada sekadar salah paham mengenai permulaan bulan puasa. Dapat diduga, ada iri hati antara yang kelak bernama Kanjeng Sunan Kudus dan Kanjeng Sunan Kalijaga yang dalam pemerintahan Pangeran Trenggana telah pindah ke Demak Bintara dari Cirebon Darusalam. Kanjeng Sunan Kalijaga adalah seorang dari trah tinggi, yang bertalian darah dengan para pejabat di kota pelabuhan tua, Tuban. Rupanya, ia disenangi baik oleh yang kelak bernama Sunan Cirebon Darusalam maupun oleh yang kelak disebut Kanjeng Sultan Trenggana di Demak Bintara. Kanjeng Sunan Kudus, seperti kerabatnya, Kanjeng Sunan Bonang, terutama adalah seorang ahli dan penyebar agama.
Kisah Jawa Tengah memuat kisah yang menunjukkan adanya persaingan antara Kanjeng Sunan Kudus dan Kanjeng Sunan Kalijaga. Pangeran Prawata, pengganti Kanjeng Sultan Trenggana di Demak Bintara, konon setelah mula-mula menjadi murid Kanjeng Sunan Kudus, kemudian mengakui Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai gurunya. Dalam babad yang kemudian bahkan dikisahkan bahwa Kanjeng Sunan Kudus menghasut, atau setidak-tidaknya memberi kuasa, muridnya yang paling dikasihi, Harya Penangsang di Jipang, untuk membunuh Pangeran Prawata yang pada waktu itu menjadi Sultan Demak Bintara, karena dianggap suatu dosa besar menjadi murid pada dua guru sekaligus. Kisah-kisah ini ternyata berasal dari lingkungan “masyarakat orang alim” atau masyarakat santri. Dapat dimengerti jika hal itu juga mencerminkan pandangan dan pendirian kelompok pengikut Kanjeng Sunan Kudus.
Akhirnya, ada kemungkinan juga Kanjeng Sunan Kudus meninggalkan Demak Bintara karena keinginan untuk hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk memperdalam ilmu ketuhanan dan melakukan karya-karya yang direstui Tuhan, di luar lingkungan kraton Demak Bintara. Sukar ditetapkan pada tahun berapa ia mengambil keputusan yang krusial itu. Itu terjadi beberapa tahun sebelum 1549, tahun yang sesuai dengan tahun 956 Hijriah yang tercantum di atas mihrab masjid raya di Kudus sebagai tahun pembangunannya. Dapat dimengerti jika pembangunan masjid ini memerlukan waktu beberapa tahun, dan masjid itu pun bukan rumah ibadat pertama yang dipakai oleh ulama tersebut. Sebuah kisah Jawa menyatakan, Kanjeng Sunan Kalijaga datang dari Cirebon Darusalam ke Demak Bintara pada 1543. Apabila dianggap benar bahwa Khatib Agung Demak Bintara tergerak pindah ke Kudus, maka 1543 dapat dianggap sebagai batas perhitungan paling awal. Tahun itu masih berada dalam periode pemerintahan Kanjeng Sultan Trenggana yang pada 1546 sudah wafat.
Kudus berasal dari kata Arab al Quds, yakni Baitul Mukadis ialah nama yang diberikan kepada tempat itu waktu dinyatakan sebagai “tempat suci” oleh Kanjeng Sunan Kudus pertama, yang sebelumnya di Demak Bintara menjadi imam jemaah. Nama yang lebih tua ialah Tajug. Ietaknya tidak begitu jauh di sebelah timur laut Demak Bintara, pada suatu jalan tua yang menuju ke timur. Tidak ada petunjuk bahwa pernah ada pelabuhan dagang di sana.
Mbah Kiai Telingsinglah yang mula-mula menggarap tempat yang kemudian menjadi Kota Kudus. Beberapa orang menyebut dia seorang Cina Islam, namanya semula The Ling Sing. Adanya kisah-kisah yang demikian menunjukkan bahwa tempat itu sudah agak berarti, sebelum dijadikan “kota suci” oleh Kanjeng Sunan Kudus.
Mengenai menetapnya Khatib Agung Demak Bintara yang menyingkir ke tengah-tengah kelompok kecil kawula dalem yang menghuni pedukuhan pada jalan lama menuju timur, dapat juga disimpulkan bahwa yang kelak menjadi sunan di Kudus itu mula-mula memperoleh penghasilan dari tanah-tanah ladang di sekitarnya, yang diolah para pengikutnya. Boleh jadi ia sebagai Manggala Yuda mempunyai kawula-kawula itu, yang semula milik para pejabat di tlatah Majapahit yang sudah ditaklukkannya. Juga dapat dimengerti jika sebagian barisan santri, yang telah bertempur di bawah pimpinannya dalam perang jihad melawan “orang ” di Jawa Timur, merasa tertarik oleh pusat kehidupan Islam baru di “kota suci” itu. Sedangkan para ulama Kadilangu, yang termasuk trah Kanjeng Sunan Kalijaga, sepanjang masa hidup dari hasil tanah perladangan, yang telah dihadiahkan kepada mereka oleh Kraton Demak Bintara.
Kota Suci Kudus sudah kawentar di Jawa dan bahkan di Nusantara sebagai pusat agama. Masjid rayanya diberi nama al-Manar atau al-Aqsa, seperti Masjid Agung di Baitulmukadis. Kawula dalem “kota suci”, Kanjeng Sunan Kudus dan “orang-orang santri”nya, ternyata tidak merasa perlu memusnahkan segala sesuatu yang mengingatkan pada kean jaman sebelum Islam, atau melupakannya sama sekali.

6. Khatib Agung Masjid Agung
Ulama Rahmatullahi dari Ngudung, Khatib Agung Masjid Agung Demak Bintara, beberapa kali disebut juga Kanjeng Sunan Kudus, atau dicampuradukkan dengan dia. Kanjeng Sunan Kudus pertama yang sebenarnya ialah anaknya. Sunan ini konon bernama Jafar Sidik. Pada mihrab masjid disebutkan “al-qadhi Jafar Shadiq” sebagai pendiri masjid.
Pada waktu Jafar Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kyai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah ngrembaka sebelum kedatangan Jafar Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Jafar Shodiq merupakan penghulu Demak Bintara yang menyingkir dari kraton. Di Tajug, Jafar Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Jafar Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak Bintara.
Mereka sekaligus para wadyabala yang ikut bersama-sama Jafar Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Jafar Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Jafar Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian.
Kanjeng Sunan Kudus itu dihormati serta disegani kawan dan lawan pada masa itu, karena di samping beliau memegang kekuasaan, juga menjadi Senapati dari pada kraton Islam di Demak Bintara, Kanjeng Sunan Kudus adalah Manggala Yuda perang yang gagah berani. Karena keberaniannya dan ketangguhannya, Kanjeng Sunan Kudus diangkat sebagai Manggala Yuda kraton Demak Bintara. Rupanya memang Kanjeng Sunan Kudus berdarah keprajuritan pula, hal mana dapat diketahui dari kenyataan sejarah, bahwa beliau senantiasa menegakan disiplin, di samping itupun selalu taat kepada perintah atasan. Ketaatan dan keberaniannyalah yang menyebabkan beliau ditakuti dan disegani oleh bawahannya khususnya, dan oleh kawan atau lawan umumnya.
Setelah jamaahnya makin banyak, Kanjeng Sunan Kudus kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Kanjeng Sunan Kudus adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Jafar Shodiq atau Kanjeng Sunan Kudus tercatat dalam inskripsi masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriyah, sama dengan 1549 M. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa arab yang artinya, “…Telah mendirikan masjid Aqsa ini di Negeri Quds…” Sangat jelas bahwa Jafar Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Jafar Shodiq sendiri lebih kawentar dengan sebutan Kanjeng Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Kanjeng Sunan Kudus mengikuti gaya Kanjeng Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model tut wuri handayani. Artinya, Kanjeng Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.
Duk nalikaning itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Kanjeng Sunan Kudus pun berusaha memasukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Kanjeng Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Kanjeng Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu. Demikian juga Kanjeng Sunan Kudus membangun sebuah menara untuk azan dengan desain seperti bangunan Hindu yang saat ini dikenal dengan nama Menara Kudus.
Kata menara dari perkataan manara. Adapun kata manara berasal dari bahasa Arab nar yang berarti api atau nur yang berarti cahaya. Awalan kata ma menunjukkan tempat. Jadi menara berarti tempat menaruh api atau cahaya di atas. Akan tetapi kemudian mempunyai manfaat yang lain, yakni untuk mengumandangkan azan guna menyeru orang melakukan sembahyang. Keunikan Menara Kudus adalah bentuknya yang lain dari menara masjid yang lain. Bentuk menara ini justru menunjukkan corak dan gaya bangunan jaman pra-Islam.
Kapankah Menara Kudus didirikan? Hal tersebut belum diketahui dengan pasti. Hanya saja di tiang atap menara tersebut terdapat sengkalan yang berbunyi, Gapura rusak ewahing jagad yang berarti tahun 1606 Jawa atau 1685 M (gapura = 6, rusak = 0, ewah = 6, jagad = 1). Sengkalan tersebut hanya menunjukkan bahwa duk nalikaning itu terjadi perbaikan atab yang mulai rusak. Jadi kapan tepatnya dibangun bangunannya berarti kira-kira beberapa puiluh tahun sebelum itu Menara Kudus bercorak bangunan Hindu, berbentuk mirip dengan Candi Jago, makam raja Wisnuwardhana yang didirikan tahun 1275-1300 M di dekat Malang.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Kanjeng Sunan Kudus. Surat Al Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Kanjeng Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Bangunan lain di sekitar Masjid Kudus, tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu, misalnya gapura-gapura. Kebiasaan unik lain Kanjeng Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Kanjeng Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Kanjeng Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para bakul musiman. Kanjeng Sunan Kudus menciptakan karya sastra dan budaya:
d. Tembang Maskumambang
e. Tembang Mijil
f. Masjid Menara Kudus

7. Peletak Dasar Kadipaten Kudus
Nama Kanjeng Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dikapitayankan sebagai seorang tokoh yang kawentar dengan seribu satu kesaktian. Kanjeng Sunan Kudus dikatakannya sebagai seorang wali yang sakti, yang dapat berbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat antara lain dikatakan, bahwa pada jaman dahulu pernah Kanjeng Sunan Kudus pergi haji serta bermukim di sana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis (Jawa : gudigen), sehingga oleh kawan-kawan beliau Kanjeng Sunan Kudus dihina. Maka disebabkan karena kesaktiannya, timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit.
Segala daya upaya telah diusahakan untuk mengatasi bahaya tersebut namun kiranya semua itu sia-sia belaka. Akhirnya dimintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa-jasa baiknya. Karena kesaktian beliau, wabah tersebut menjadi reda kembali. Atas jasa beliau tersebut, amir dari Negeri Arab itu pun berkenan untuk memberikan hadiah kepada beliau sebagai pembalas jasa. Akan tetapi Kanjeng Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apa pun juga. Beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang-kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuna yang kita kenal itu didirikan beliau, konon kabarnya masjid yang terletak di Desa Nganguk di Kudus itu adalah masjidnya Kanjeng Sunan Kudus yang pertama kali. Diceriterakan, bahwa jauh sebelum Kanjeng Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, maka seorang tokoh terkemuka di sana ialah Kyai Telingsing. Karena beliau sudah mulai lanjut usianya, maka Kyai Telingsing ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya, tiba-tiba Kanjeng Sunan Kudus pun muncullah dari selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba-tiba muncul dengan sendirinya atau mesjid tiban, berhubung dengan itu desa tersebut kemudian diberi nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali.
Di dalam Babad Tanah Jawi serta kepustakaan Jawa lainnya dikatakan, bahwa nama kecil Kanjeng Sunan Kudus ialah Raden Ngudung, beliau pernah memimpin wadyabala Demak Bintara melawan Majapahit. Selanjutnya juga disebutkan, bahwa Kanjeng Sunan Kuduslah yang membunuh Seh Siti Jenar dan Kebo Kenanga. Karena keduanya mengajarkan ilmu wahdatul wujud yang dipandang sangat membahayakan rakyat Jawa yang baru saja memeluk agama Islam.
Kanjeng Sunan Kudus wafat tahun 1550 M atau 960 Hijrah dan dimakamkan di Kudus. Di pintu makam Kanjeng Sunan Kudus terukir kalimat asmaul husna yang berangka tahun 1296 H atau 1878 M. Uraian mengenai hal ini berdasarkan kisah atau catatan dalam karya-karya tulis Jawa saja. Kanjeng Sunan Kudus sebagai penyebar agama yang ulung, yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Di samping kemenangan dalam Perang Majapahit, penaklukan Kebo Kenanga di Pengging, para Sinuwun di Tingkir, Ngerang, dan Butuh di Jawa Tengah sebelah selatan, Kanjeng Sunan Kudus juga melakukan tindakan kekerasan terhadap guru mistik bidah Syekh Lemah Abang, yang akhirnya oleh Majelis Wali Sanga dijatuhi hukuman mati. Yang dapat dibandingkan dengan prastawa ini ialah kisah tutur mengenai tindakannya yang penuh kekejaman terhadap Syekh Jangkung, yang sedianya akan dihukum mati, karena Syekh Jangkung berniat mendirikan masjid tanpa izin.
Berkat upaya pembelaan Kanjeng Sunan Kalijaga, jiwa Jangkung masih dapat tertolong, sebagai gantinya salah seorang pengikutnya terpaksa menjalani hukuman itu. Karena itulah maka Syekh Jangkung mengikrarkan dendam abadi antara trahnya dan trah Kanjeng Sunan Kudus. Seorang syekh lain, Syekh Kanjeng Maulana dari Krasak-Malang, murid Kanjeng Sunan Gunung Jati dari Cirebon Darusalam, karena telah berani memberi malu dia dalam regejegan mengenai kebenaran mistik, konon juga diprajaya atas perintah Kanjeng Sunan Kudus. Sebagai akibat kekuasaan Kanjeng Sunan Kudus yang luar biasa, Ki dan Ni Mulak, suami istri, muridnya sendiri yang telah menjengkelkannya, berubah menjadi anjing hitam di dalam makam mereka.
Bermacam-macam kisah mengenai Kanjeng Sunan Kudus itu, sanajan mekaten sedikit sekali yang dapat dipercaya, mengakibatkan orang berpendapat bahwa Kanjeng Sunan Kudus telah menimbulkan kesan pada orang sezaman dengan dia maupun yang hidup sesudahnya sebagai orang yang serba keras dan sebagai penyebar agama yang ulung. Tidak dapat dikatakan bahwa semua ulama besar memiliki sifat-sifat semacam itu.
Menurut kisah Jawa Tengah yang kemudian, Kanjeng Sunan Kudus sebagai ulama akrab dengan Harya Penangsang dari Jipang, namun bermusuhan dengan Sunan Prawata dari Demak Bintara. Sebelumnya telah disebut kisah bahwa Harya Penangsang diberi kuasa oleh Kanjeng Sunan Kudus untuk membunuh Sunan. Ia mau mendamaikan kembali Harya Penangsang dari Jipang dengan Jaka Tingkir yang kelak menjadi sultan Pajang Hadiningrat. Apa yang dituturkan sebagai contoh-contoh tindakan dalam kemajuan Kraton Demak Bintara adalah bukti bahwa ulama besar ini mempunyai kemauan dan perhatian terhadap masalah pemerintahan.
Di kotanya, Kudus, selain mendirikan masjid raya dari batu dengan menaranya, ia membangun pula sebuah tempat kediaman yang megah bagi dirinya dan keluarganya. Iebih dulu telah diberitakan bahwa kraton ini mempunyai masjid yang lebih kecil, yang kini bernama Masjid Suranata. Dapat diterima bahwa memiliki masjid sendiri dekat kraton pada abad ke-16 dan sesudahnya dipandang sebagai hak istimewa dan lambang kebesaran dan kewibawaan raja.
Dalam karya tulis Melayu dan Jawa terdapat beberapa ungkapan yang menunjukkan bahwa di luar Jawa pun Kudus masyhur sebagai pusat agama Islam. Meskipun Giri dalam hal ini, lebih-lebih di Indonesia bagian timur, dianggap jauh lebih penting, Kudus dan Giri masih sebanding.

8. Kejayaan Kadipaten Kudus
Kudus mencapai kejayaannya berkat jasa-jasa sunan pertama, penyebar agama Islam yang gagah berani, dan berkat jasa-jasa ayahnya, seorang yang alim. Sunan pertama meninggal pada 1550. Silsilah trah raja-raja Mataram Hadiningrat, menyebutkan tiga pejabat di Kudus, seorang sunan, seorang Kanjeng Panembahan, dan seorang pangeran. Gelar yang kurang tinggi bagi yang kedua dan ketiga itu merupakan bukti berkurangnya kekuasaan pemerintahan, sesudah meninggalnya sunan pertama. Kiranya dapat diperkirakan bahwa kemenangan Jaka Tingkir, Kanjeng Sultan Pajang Hadiningrat, atas Harya Penangsang dari Jipang, murid tersayang Kanjeng Sunan Kudus, pada 1549, sangat merugikan wibawa Kadipaten Kudus Darusalam di Jawa Tengah.
Seorang pejabat di Kudus telah memperistri putri dari Giri. Hubungan dengan trah sunan-sunan dari Giri-Gresik, yang pada paruh kedua abad ke-16 masa jayanya, mengandung kebenaran juga. Hal itu mewujudkan hubungan antara dua pusat keagamaan Islam yang penting di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bagi trah para pejabat di Ku¬dus, seperti bagi Sultan Demak Bintara terakhir yang setengah merdeka juga itu, ternyata 1588 merupakan tahun yang tidak menguntungkan. Kesultanan Pajang Hadiningrat, yang didirikan oleh Jaka Tingkir, sebelumnya seorang abdi Kraton Demak Bintara, tampaknya pada perempat ketiga abad ke-16 telah memperlihatkan sikap bersahabat terhadap “para ulama” di Demak Bintara dan Kudus. Pada 1588, karena meninggalnya Sultan, kekuasaan Pajang Hadiningrat jatuh, Kanjeng Kanjeng Panembahan Senopati dari Mataram Hadiningrat mulai memperluas tlatahnya. Raja-raja dari Mataram Hadiningrat, yang pada mulanya tidak mempunyai hubungan pernikahan atau apa pun dengan trah raja yang lebih tua di pesisir, agaknya bertindak sangat keras di pusat-pusat kebudayaan Islam yang lebih tua di pesisir.
Di bawah kekuasaan raja-raja Mataram Hadiningrat pada abad-abad ke-16, 17, dan 18 ada hubungan pemerintahan antara Demak Bintara dan Kudus. Keduanya berada di bawah kekuasaan para pejabat Mataram Hadiningrat.

9. Ja’far Shadiq
Nama asli Sunan Kudus adalah Ja’far Shadiq. Ia adalah putera dari R. Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung. Mengenai tanggal kelahirannya tidak tercatat dalam kitab sejarah. Dia mulai dikenal dalam percaturan politik ketika menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Senopati kerajaan Demak. Selain sebagai Senopati, Kadhi atau penghulu, serta imam masjid yang kelima, Sunan Kudus juga sebagai seorang penasehat pemerintahan di Kesultanan Demak.

Peran dalam Penyebaran Islam
Kiprah Sunan Kudus dalam upaya penyebaran agama Islam tidak lepas dari misi Kesultanan Demak dalam upaya memperluas pengaruh Islam ke berbagai daerah di Jawa dan Luar Jawa. Sebagian besar wilayah pulau Jawa menjadi Islam baik di wilayah pesisir maupun pedalaman, diperluas dan diperkuat lagi dengan robohnya Kerajaan Majapahit akibat serangan pasukan Demak yang dipimpin Sunan Kudus kira-kira tahun 1527. Pengislaman juga terjadi ke wilayah barat Demak yaitu Cirebon dan Banten, kemudian meluaskan pengaruhnya ke Lampung. Sementara itu, dalam hikayat Banjar disebutkan bahwa Raja Banjar yang bernama Raden Samudra telah ditahbiskan menjadi Sultan oleh Penghulu Demak yaitu Sunan Kudus.

Terbentuknya Kota Kudus
Setelah bertahun-tahun hidup di lingkungan keraton Demak, akhirnya Sunan Kudus mendirikan kota kudus dan pindah ke kota itu. Berpijak pada angka tahun 956 H seperti yang tertera pada batu bertulis di atas mihrab masjid Menara Kudus, Graaf memperkirakan kepindahannya ke kota itu dengan batas perhitungan paling awal terjadi pada tahun 1543 M. Adapun menurut Pigeaud, Sunan Kudus mendirikan kota kudus pada tahun 1540.
Bukti arkeologi tertua dan legenda yang menyebutkan nama Kudus terdapat pada:
1. Batu bertulis di atas mihrab masjid Menara. Inskripsi ini merupakan peringatan pendirian masjid Menara yang diberi nama masjid Al-Aqsha, dikota Al-Quds oleh Ja’far shadiq pada tahun 956 H atau tahun 1549 M. Kata dalam bahasa Arab Al-Quds inilah yang kemungkinan diucapkan menurut lidah Jawa menjadi Kudus yang berarti suci, yang menurut Poerbatjaraka adalah satu-satunya nama kota di Jawa yang menggunakan bahasa Arab.
2. Sengkalan yang terdapat pada Langgar Dalem, diperkirakan bangunan tersebut didirikan pada tahun 1480 M. Kalau perkiraan itu benar, berarti sengkalan tersebut sesuai dengan legenda setempat yang mengatakan bahwa sebelum mendirikan masjid Menara, Sunan Kudus telah mendirikan Langgar Dalem.
3. Nama lain yang lebih tua untuk kota Kudus adalah Tajug. Menurut Legenda setempat, sebelum Sunan Kudus mendirikan kota itu ternyata telah ada tokoh yang mendahuluinya, yaitu Kyai Telingsing. Cerita tersebut menunjukkan bahwa tempat itu sudah mempunyai arti sebelum dijadikan kota suci oleh Sunan Kudus.

Di kota kudus ini pun, ia berperan sebagai seorang ulama yang cukup bagus pendekatannya terhadap masyarakat yang masih menganut adat dan kepercayaan pra- Islam. Beliau merupakan seorang ahli agama, sastra, dan mantiq, sehingga mendapat gelar sebagai waliyul ilmi. Akan tetapi, mungkin juga ia merupakan seorang yang mampu berlaku keras, karena ia adalah seorang panglima perang kerajaan Demak.
Sunan Kudus juga sempat mendirikan bangunan masjid beserta menaranya, yang dikenal dengan sebutan menera Kudus. Di kota ini pun beliau kemungkinan mendirikan tempat kediaman bagi dirinya beserta keluarganya.

Tinggalan Arkeologi
Perjuangan dan pengorbanan Sunan Kudus masih berdengung sampai saat ini. Jejak-jejak tersebut masih dijumpai dan kita saksikan melalui toponim dan tinggalan arkeologinya. Toponim adalah istilah untuk menyebut nama suatu tempat. Nama tempat ini diciptakan untuk membedakan ruang kegiatan satu dari lainnya dan sekaligus dapat menunjukkan jenis kegiatan tersebut. Adanya toponim ini juga sebagai penanda ciri kota kuna. Di Kota Kudus terdapat toponim yang terkait dengan aktivitas kehidupan Sunan Kudus dan saat ini masih dapat ditelusuri bukti arkeologisnya, diantaranya:
1. Toponim Kauman
Toponim Kauman diartikan sebagai tempat ulama. Tempat ini dahulunya digunakan Sunan Kudus sebagai tempat endidikan dan menyebarkan agama Islam pada sekitar abad XVI.
2. Bukti Arkeologis
Bukti arkeologis pada toponim Kauman ini adalah Kompleks masjid menara Kudus yang didirikan oleh Sunan Kudus, bahkan kemudian Sunan Kudus dimakamkam di tempat tersebut, yang saat ini banyak dikunjungi dan diziarahi.

Pembagian halaman dan Komponen di Kompleks Masjid Menara Kudus.
Keseluruhan kompleks ini dikelilingi oleh tembok di sisi timur, sebagian tembok keliling sisi utara dan selatan tembok yang terbuat dari bata. Areal kompleks Masjid Menara Kudus cukup luas terbagi 11 halaman, dengan batas tiap halaman adalah pagar dan gapura dari bata, baik yang berbentuk candi bentar maupun paduraksa.

Halaman pertama terdapat bangunan masjid. Untuk dapat memasukinya di depan masjid terdapat gapura berbentuk candi bentar. Di dalam bangunan masjid saat ini yang telah mengalami beberapa kali perluasan, terdapat dua gapura berbentuk paduraksa atau sering disebut Kori Agung yang juga terkenal dengan sebutan gapura Lawang Kembar. Selain di depan pintu masjid, Gapura ini terdapat juga di halaman kedua (II) yaitu 2 gapura berbentuk paduraksa. Di halaman ketiga terdapat sebuah gapura (J) berbentuk bentar yang mempunyai daun pintu dari kayu. Halaman keempat (IV) mempunyai sebuah gapura (K) yang berbentuk paduraksa dan di halaman ini terdapat duah buah Bale Bubut dan satu buah Tajug serta tempat wudlu. Halaman kelima (V) terdapat sebuah gapura yang berbentuk paduraksa, serta dua buah cungkup yang berisi beberapa makam yang tidak dikenal. Halamam ketujuh (VII) mempunyai sebuah gapura (U) berbentuk paduraksa dengan daun pintu dari kayu dan duah buah cungkup. Pada halaman kedelapan (VIII) terdapat beberapabuah cungkup dan sebuah cungkup kecil. Di dalam salah satu cungkup besar tersebut terdapat makam Pangeran Palembang, makam para Bupati dan makam-makam lainnya dan makam utama serta yang terpenting, yaitu makam Sunan Kudus. Halaman kesembilan (IX) mempunyai dua cungkup dan sebuah gapura (Z). Pada halaman kesepuluh (X) terdapat sebuah cungkup yang berisi delapan buah makam, sedangkan halaman kesebelas (XI berisi makam-makam umum.
Mengenai pembagian halaman makam ini, tentunya terkait dengan simbol status orang yang dimakamkan. Melihat tokoh utama, Sunan Kudus ditempatkan pada bagian paling utara dari halaman ini, menunjukkan tempat yang paling terhormat. Sistem penguburan dalam Islam, mayat diletakkan membujur dengan muka menghadap kiblat berorientasi utara-selatan. Bagian utara merupakan bagian paling belakang yang merupakan tempat paling dihormati. Perlakuan penghormatan pada tokoh utama juga tampak pada makamnya yang ditinggikan dari makam-makam kerabat lainnya.

Tampilan Bangunan
Masjid Menara
Masjid menara sampai saat ini telah mengalami beberapa perubahan, baik berupa perbaikan, yaitu penggantian mustoko dan perluasan terutama bagian serambi depan untuk menampung jama’ah yang semakin melimpah. Di atas serambi itu pun dibangun kubah.
Pada masjid ini terdapat beberapa inskripsi. Inskripsi dalam bentuk batu bertulis yang terletak di atas mihrab menggunakan huruf dan bahasa Arab yag berisi tentang pendirian masjid Menara pada tahun 956 H atau 1549 H oleh Ja’far Shadiq. Inskripsi di ambang pintu di ruang utama masjid hanya berupa angka tahun yang menggunakan angka Arab atau 1683, yang kemungkinan adalah angka tahun Jawa atau sama dengan tahun 1761 M. Inskripsi yang lainnya terdapat pada salah satu bagian rangka atap menara masjid Menara yang berupa candra Sengkala yang berbunyi gapura rusak ewahing jagad, yang diartikan tahun 1609 Jawa atau bertepatan dengan tahun 1685 M.

Menara
Ciri khusus yang sangat menarik dari jejak aktivitas keagamaan Sunan Kudus adalah menara. Menara dalam konteksnya dengan masjid, pada umumnya digunakan untuk tempat mengumandangkan azan ketika waktu shalat telah tiba.
Bangunan menara menghadap ke barat dan bentuknya menyerupai bangunan candi yang terbagi atas tiga bagian, yaitu: bagian kaki, tubuh, dan puncak. Kaki menara mempunyai denah berbentuk bujursangkar yang setiap sisinya berukuran 9,5 meter. Di kaki menara ini terdapat ornamen-ornamen yang menghiasi kaki menara berupa panil-panil segi empat panjang tanpa hiasan. Badan menara berdenah bujur sangkar dengan ukuran setiap sisinya 6,30 meter. Pada badan menara terdapat panil-panil segi empat polos, lingkaran dan palang Yunani yang diisi piring-piring porselin. Adapun puncak menara berupa ruangan mirip pendapa yang berlantaikan papan. Di atas bangunan tersebut diberi atap tumpang bertingkat dua, yang terbuat dari sirap. Pada sisi barat terdapat penampil yang menjorok ke depan. Di kanan kiri penampil itu terdapat tembok yang merupakan sayap tangga. Tangga itu menghubungkan bagian dasar bangunan dengan kaki dan tubuh bangunan, sedangkan untuk menuju puncak menara harus melalui tangga lagi yang terbuat dari kayu.
GF Pijper dalam The Minaret in Java menghubungkan struktur bangunan Hindu Jawa pada menara tersebut, sebagaimana pernah diungkap sarjana JFG Brumun pada tahun 1868. Dikemukakan pula bahwa menara itu mengingatkan pada menara kul-kul di Bali. Menurut Pijper, Menara ini awalnya bukanlah asli milik masjid, melainkan bentuk bangunan candi di zaman Jawa Hindu yang digunakan dan disesuaikan kegunaannya sebagai tempat azan. Adanya kesamaan dengan menara kul-kul di Bali ini kembali ditegaskan AJ Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesian Art (1953).
Hampir semua peneliti dari dalam negeri juga sepakat bahwa menara ini jelas bercorak bangunan candi atau menara kul-kul Bali. Beberapa peneliti menghubungkan bentuk menara itu dengan candi Jago, terutama jika dilihat dari arsitektur dan kesamaan ragam hias tumpalnya. Ada pula yang menyamakan Menara Kudus ini dengan candi di Jawa Timur (Soekmono, 1973), Candi Singosari (Syafwandi 1985), kul-kul Bali (Parmono Atmadi, 1987).
Lain halnya ahli purbakala NJ Krom yang menyebutkan menara masjid Kudus bukanlah bangunan candi Jawa-Hindu. Menurutnya, bangunan itu memiliki corak candi, tetapi ia dibangun pada masa Islam dan sengaja diperuntukkan sebagai menara adzan. Mungkin saja menara itu dibangun para tukang dan ahli bangunan Hindu sehingga bentuk bangunannya dipengaruhi secara kuat corak arsitektur Hindu.
Pendapat Krom ini boleh jadi ada benarnya jika diamati detil ornamen bangunan menara yang hampir tidak ditemukan ragam hias berupa makhluk hidup. Artinya mungkin bangunan itu sudah disesuaikan dengan agama Islam yang cenderung menghindari adanya penggambaran makhluk hidup. Jika menara itu dibangun jauh sebelum masa Islam atau sebelum masjid itu dibangun, tentu lebih logis jika ragam hias makhluk hidup bisa dengan mudah ditemukan di bangunan Menara.
Menarik perhatian bahwa pada bagian salah satu rangka atap menara terdapat inskripsi yang dibaca oleh Sutjipto Wirjosoeparto sebagai sengakalan yang berbunyi gapura rusak ewahing jagad. Sengkalan ini dibaca sebagai angka tahun 1609 Jawa atau bertepatan dengan tahun 1685 M.

Gapura
Bentuk gapura ini ada yang berupa paduraksa dan bentar. Keseluruhan bahan gapura adalah bata. Fungsi gapura adalah penghubung antar ruang/halaman sesuai dengan sifat halaman, yaitu profane, semi sacral, dan sakral. Bentuk gapura semacam ini mempunyai kolrelasi dengan seni bangunan pada masa pra-islam. Makna simbolis gapura bentar adalah penolak bala dan simbol dari gunung retak yang siap menjepit segala sesuatu yang jahat yang melaluinya.

Makam Sunan Kudus dan makam kerabat
Makam Sunan Kudus diberi jirat dan nisan yang terbuat dari batu andesit. Jirat dan nisannya tampak masih asli dan tidak ada angka tahun yang menerangkannya. Pada keempat sudut jirat dan pada nisannya diukir dengan Hiasan tumbuh-tumbuhan yang telah distilir menjadi bentuk raut muka kala.
Makam Sunan Kudus diberi cungkup beratap tunggal bentuk limasan. Di dalam cungkup terdapat kamar atau bilik khusus yang terbuat dari batu kapur yang diberi hiasan untuk tempat makam Sunan Kudus. Hiasannya berupa ukiran dengan motif sulur-suluran, dan bentuk palang yang ditengahnya terdapat ukiran bunga yang sedang mekar. Beberapa hiasan membentuk lubang sempit yang dimaksudkan untuk system ventilasi Pada tiap sisi dinding bagian atas terdapat hiasan antefik berupa kala yang disamarkan dalam wujud sulur-suluran. Lantai di dalam cungkup makam Sunan Kudus terbuat dari tegel keramik warna hijau berkotak-kotak. Di sekitarnya terdapat makam kerabat.

Tempat Wudlu
Keberadaan tempat wudlu bagi sebuah bangunan masjid merupakan sesuatu yang sangat esensial, karena hal ini memiliki kaitan erat dengan salah satu syarat syahnya sholat yaitu bersih dari hadis besar dan kecil. Terkait dengan fungsi utama tempat wudlu, di kompleks masjid Menara Kudus terdaopat tempat wudlu kuna, di sebelah selatan masjid dan di sebelah barat laut bangunan Tajug. Menarik perhatian bahwa tempat wudlu di sebelah selatan masjid mempunyai hiasan pada lubang pancuran dengan ornament berbentuk kepala arca. Pancuran yang berjumlah delapan ini konon dikaitkan dengan falsafah Budha yaitu asta sangha marga yaitu delapan jalan utama yang terdiri dari pengetahuan, keputusan, perbuatan, cara hidup, daya, usaha, meditasi dan kompelementsi yang benar.
Ternyata jejak aktivitas Sunan Kudus tidak hanya terungkap di daerah Kauman saja, tetapi bukti di tempat lain yang masih dapat kita jumpai di Desa Langgar Dalem dan kampung Nganguk. Yang menarik di sini adalah toponimnya masih menyisakan kekunaan langgar dengan balutan cerita rakyat yang masih terdengar sampai saat ini.

Toponim Langgar Dalem
Toponim ini sekarang sudah menjadi Desa, yang disebut Desa Langgar Dalem, masuk wilayah Kecamatan kota, Kabupaten Kudus. Dengan dibantu dari cerita masyarakat setempat, kita dapat mengerti bahwa toponim ini dulunya sebagai tempat tinggal Sunan Kudus. Menurut cerita, Sunan Kudus membangun tempat tinggal di daerah ini, meskipun sisa-sisa bangunan tempat tinggalnya sudah tidak ada, hanya saja yang masih berdiri tegak sebuah langgar yang saat ini disebut langgar Dalem.

Berdasarkan cerita rakyat yang dipercaya masyarakat Kudus, terutama masyarakat di sekitar Langgar Dalem, bangunan Langgar Dalem dibuat oleh seniman-seniman dari Madura atas perintah Sunan kudus. Seniman-seniman tersebut adalah tawanan perang ketika tentara Demak menyerbu Majapahit, termasuk Madura yang merupakan wilayah Majapahit, yang kemudian dibawa oleh Sunan Kudus untuk membangun kota Kudus, termasuk Langgar Dalem. Menurut cerita, di sebelah selatan Langgar Dalem dahulu merupakan tempat tinggal Sunan Kudus beserta keluarganya.
Tentunya cerita rakyat tersebut dapat digabungkan dengan makna yang tersirat dari arti kata Langgar Dalem. Istilah Langgar mengacu kepada tempat ibadah umat Islam untuk shalat lima waktu sehari-hari dan mengajarkan Islam, sedangakan Dalem dapat diartikan dengan omah (bahasa Jawa) atau rumah (bahasa Indonesia). Kesesuaian antara cerita rakyat dan makna kata tersebut menjadikan toponim ini sebagai bukti jejak aktivitas Sunan Kudus.

Tampilan Bangunan Langgar Dalem

Kekunaan Langgar Dalem yang masih in-situ berupa pintu masuk ke ruang utama beserta tembok berhias di kanan kirinya. Demikian pula pondasi berbentuk denah bujur sangkar, dan saat sekarang membentuk denah ruang utama. Kekunaan pada masjid ini juga terdapat pada ragam hiasnya yang terdapat pada pintu masuk beserta tembok berhias berupa bentuk panil-panil hiasnya terbuat dari batu karang dengan motif hias roset.

Kampung Nganguk
Kampung Nganguk, Desa Kramat, Kecamatan Kota. Lokasi ini berada di wilayah Kudus Wetan, pada jarak kurang lebih 1,5 kilometer kearah timur dari Masjid Menara. Di kampong Nganguk ini terdapat Langgar Nganguk Wali.
Menurut cerita rakyat, Langgar Nganguk Wali merupakan langgar tertua di Kudus, yang didirikan oleh Sunan Kudus sebelum membangun masjid Menara Kudus. Pada waktu Kyai Telingsing telah merasa tua, ia ingin mencari tokoh pengganti dirinya. Ketika Kyai Telingsing menengok ke kanan kiri untuk mencari penggantinya, tiba-tiba muncul Sunan Kudus dari arah selatan, dan tiba-tiba pula telah berdiri sebuah langgar. Dari kejadian tersebut, Kyai Telingsing menengok ke kanan kiri atau dalam bahasa Jawa disebut ingak-inguk, terjadilah istilah Nganguk, sedangkan kata wali diambilkan dari pendiri langgar yaitu Sunan Kudus yang merupakan salah seorang wali di Jawa.

Tampilan Bangunan Langgar Nganguk wali
Langgar ini sudah banyak perubahan sehingga tampilanya menjadi masjid baru dengan model lengkung spanyolan dan pintu-pintu dari kaca. Kekunaan pada langgar ini yaitu ruang utama berdenah bujur sangkar dengan 16 buah tiang kayu. Empat buah tiang utama atau soko guru menopang atap kedua yang di puncaknya dipasang mustoko. Dua belas tiang yang lain mempunyai ukuran lebih kecil dan pendek, menopang atap yang pertama. Kelengkapan komponen yang masih kuna yaitu sumur dan bak air yang disebut jedhing jemblok. Sumur tersebut berbentuk persegi panjang dari bahan batu bata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar