Ahlan Wasahlan Sugeng Rawuh ....

"SELURUH DUNIA ADALAH PESANTRENKU" demikian fatwa Sunan Kalijaga, 600 tahun yang lalu. Sabda pangandika ini mengisyaratkan bahwa tugas dakwah adalah ke seluruh alam tanpa batas. Maka Pesantren Khusnul Khatimah, nyendikani dawuh ini dengan mengirim ratusan santri, kyai, ulama, ustadz ke seluruh penjuru dunia untuk terus mengabarkan ketauhidan Allah SWT.

Zakat Mal, Sumbangan, Infak dan Sedekah Anda
akan kami salurkan untuk membantu program dakwah ke pelosok-pelosok nusantara.

Sabtu, 22 Mei 2010

KANJENG SUNAN AMPEL

Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, sedangkan sebutan Sunan Ampel adalah gelar kewaliannya. Nama Ampel atau Ampel Denta, atau juga Ngampel Denta menurut Babad Tanah Jawi versi Meinsma, imerujuk pada tempat tinggal Raden Rahmat yaitu sebuah tempat yang saat ini masuk dalam wilayah Surabaya.
Dalam beberapa sumber sejarah Babad Tanah Jawa, Babad Gresik, Hikayat Hasanudin dan Carita Purwaka Caruban Nagari, dapat disimpulkan bahwa Sunan Ampel atau Raden Rahmat berasal dari keluarga raja negeri Campa. Tentang nama Campa ini, menurut Ensiklopedi Van Nederlandish Indie, adalah suatu negeri kecil yang terletak di Kamboja (Indocina) yang kemudian dikuasai oleh bangsa Khmer dari Vietnam.
Adapun Ayah raja Campa yang menurunkan Raden Rahmat menurut Babad Tanah Jawi versi Meinsma adalah Ibrahim Asmarakandi yang merupakan seorang keturunan Arab. Ia telah mempersunting putri raja Campa, sementara putrinya yang lain, yang bernama Andrawati (Putri Darawati) dianugerahkan kepada raja Majapahit di Jawa.

Selanjutnya dituturkan bahwa perkawinan putri Campa dengan Makdum Ibrahim Asmarakandi menghasilkan dua orang putra, yakni Raden Santri dan Raden Rahmat. Sebutan Asmarakandi merupakan perubahan pengucapan dari kata as-Samarkandy yang menunjukkan asal-usul Syek Ibrahim, yakni berasal dari Samarkand di Asia Tengah.

Peran dalam Penyebaran Islam
Raden Rahmat atau Sunan Ngampel sebelum datang ke Pulau Jawa, Ia singgah dulu di Palembang menemui Arya Damar dan berusaha untuk mengislamkannya. Kemudian melanjutkan perjalannya ke daerah Banten dan juga mengislamkan sekelompok penduduk di daerah tersebut. Setelah itu Raden Rahmat ke Majapahit dengan maksud menengok uaknya (bibinya), Putri Darawati. Selama setahun di Majapahit kemudian Raden Rahmat menikah dengan anak perempuan Tumenggung Wila Tikta, bernama Ni Gede Manila. Setelah itu ia menetap di Ampel Denta (Surabaya).

Menurut penuturan Babad Gresik, Raden Rahmat berhasil menjadikan daerahnya yang semula berair dan berlumpur menjadi daerah yang makmur. Kemudian Ia mendirikan pesantren, sehingga Ampel Denta menjadi pusat dakwah Islam. Ia adalah guru para wali dan di antara murid-muridnya adalah wali yang terkenal seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat yang juga merupakan putranya, Sunan Kalijaga, Raden Patah (pendiri Kerajaan Demak), Fatahillah dan Syarif hidayatullah Sunan Gunungjati dan beberapa penyebar agama Islam antara lain; Batara Katong, Ali Saksar dari Iran, Mbah Shanhaji.
Dakwah pokoknya ialah memberikan penjelasan mengenai makna dan tafsir dari istilah bismillah, alhamdulillah, astaghfirullah dan syahadat ain. Murid-muridnya tersebut akhirnya juga menjadi tokoh dan wali terkenal, yang meneruskan perjuangan Sunan Ampel. Salah satu di antara muridnya yaitu Raden Patah yang kemudian menjadi Sultan Demak, tidak lepas dari usaha Sunan Ampel dalam rangka pengislaman yang tertata dalam suatu hirarki kerajaan. Pendirian Masjid Agung Demak juga dibantu oleh Sunan Ampel . Salah satu soko guru masjid agung Demak konon merupakan sumbangan Sunan Ampel.
Ketika Sunan Ampel wafat, kematiannya sangat menyedihkan bagi umatnya dan ditangisi sepanjang upacara pemakamannya. Sayang, tanggal wafatnya kurang jelas. Menurut Serat Kanda, Brandes; Pararaton, dan dalam VBG XLVII, 1986, wafat Sunan Ampel dinyatakan dengan candrasengkala: “awak kalih guna iku” yang nilainya 1328 (dibaca dari belakang), jadi pada tahun 1328 Saka atau 1406 M. Meskipun demikian, ada yang berpendapat lain tentang tahun kewafatannya. Menurut Sidi Gazalba Sunan Ampel wafat 1481 M.(sumber)

Tinggalan Arkeologis

Makam Sunan Ampel
Lokasi makam Sunan Ampel terletak di dalam kompleks Masjid Jami Ampel. Di depan kompleks makam ada pintu gerbang besar bergaya Eropa. Makam Sunan Ampel tergolong sederhana, Makammya terpisah dari makam lainnya dan diberi pagar teralis dari besi setinggi 110 cm. Di arah kaki (bagian selatan) ada pintu yang dapat dibuka dan ditutup yang dilengkapi dengan kunci gembok. Jiratnya dibuat bersusun 4 tingkat dan pada sisi jirat bagian selatan dituliskan keterangan tentang diri Sunan Ampel dalam aksara latin. Nisannya berbentuk seperti daun teratai. Pemakaian motif teratai ini dapat disimbolkan sebagai makam tokoh yang sangat utama.

Penggunaan motif teratai ini berkaitan pula dengan pola pikir masyarakat pada masa transisi Hindu-Budha ke masa Islam. Dalam konteks agama Hindu dan Budha teratai merupakan atribut pokok yang menunjukkan sifat kedewaan pada tokoh yang diarcakan. Hal ini selain merupakan suatu kesinambungan budaya dapat juga ditafsirkan motif teratai pada nisan sunan Ampel merupakan tokoh utama yang diistimewakan, dalam hal ini, konteksnya Sunan Ampel sebagai tokoh agama Islam di Jawa (Wali).
Makam ini dilindungi oleh tembok keliling tanpa atap sesuai amanat dari Sunan Ampel kepada murid-muridnya untuk membuatkan makam tanpa atap pelindung, jadi selalu kepanasan di siang hari dan kehujanan bila musimnya tiba.


Gapura
Kekunaan makam ini ditunjukkan pula adanya gapura berbentuk paduraksa sebagai pintu gerbang kompleks makam Sunan Ampel sehingga terkesan bahwa letak makam dibedakan dari ruang yang profane ke ruang yang suci. Hiasan di atas gapura berupa motif bunga dan suluran. Hiasan yang ditempatkan di atas pintu masuk atau gapura mengingatkan kita pada pola kala-makara yang dapat ditemukan aslinya pada pintu-pintu candi di Jawa, meskipun pada masa Islam telah direduksi dan disesuaikan dengan budaya Islam. Sedangkan dinding gapura sisi dalam di jumpai hiasan medalion dan bintang segi delapan.


Masjid
Karakter Islam telah ditunjukkan oleh keberadaan masjidnya yang besar dan terus mengalami pemugaran. Hal ini engingat lokasinya yang dekat dengan pasar dan juga sebagai tempat aktivitas Ziarah. Tampilan bangunan masjid tampak megah dilengkapi pula dengan menara. Rancangan arsitektur tradisional masih terlihat yaitu beratap tumpang tiga dan ruang utamanya berdenah bujur sangkar yang dilengkapi dengan sokoguru. Kekunaan yang masih tampak ada pada mimbarnya yang dihiasi dengan motif burung garuda. Motif yang lain terdapat pada plengkung mimbar dihiasi pula medallion dan daun-daunan serta ‘matahari/sinar Majapahit”.
Ragam hias yang memenuhi bidang mimbar tersebut tidak hanya terkait dengan simbol-simbol keislaman tetapi estetikanya merefleksikan esensi local yang bersumber pada konsep kosmologis. Tema tentang burung banyak dijumpai pada syair-syair bernafaskan Islam terutama syair sufi dan juga cerita tentang nabi Sulaiman yang dapat memahami ucapan burung. Seringkali motif burung ini dihubungkan dengan ucapan burung yaitu pancaran atau bisikan halus dari Allah untuk nabi Muhammad. Pancaran dan bisikan halus Allah tersebut merupakan wahyu yang berisi pedoman hidup manusia agar memperoleh keselamatan. Pedoman hidup berisi aturan-aturan yang merupakan usaha manusia untuk melepaskan diri dari sifat dan nafsu dunia guna mencapai tujuan tertinggi, yaitu manusia sempurna. Pada masa Klasik, motif burung dalam penggambarannya kadang-kadang hanya berupa sayap dan banyak menghiasi candi. Dalam seni patung, sering dihubungkan dengan kendaraan Dewa Wisnu. Biasanya motif ini dihubungkan dengan konsep pelepasan.
Yang menarik dari mimbar ini adalah adanya motif matahari atau yang dikenal juga motif “surya Majapahit”. Dilihat dari fungsinya, hiasan motif ini mempunyai arti sesuai dengan penggunaannya. Yang pertama sebagai pengakuan atas regalia Majapahit, mengingat bahwa Sunan Ampel berada dalam satu kurun waktu dengan masa akhir Majapahit sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit masih terasa. Tetapi boleh jadi relief matahari ini merupakan lambang supranatural, kesaktian atau merupakan magico religious, karena terkait dengan tokoh sentral yang dimakamkan di sini yaitu Sunan Ampel merupakan orang yang diagungkan. Namun ada juga tafsir yang lain, bahwa hiasan surya Majapahit yang terdapat pada makam para wali, sudut-sudut yang merupakan puncak sinar pada hiasan itu berjumlah 8 buah, diduga melambangkan kosmogoni, tetapi juga merupakan lambang para wali itu sendiri yang merupakan penyebar agama ke delapan penjuru di Pulau Jawa dengan para wali itu sendiri sebagai pusatnya (8 penjuru angin + 1 wali sebagai pusatnya), jumlah walisongo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar